Cirebonrayajeh.com – Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) adalah landasan utama dalam pemahaman Islam di Nahdlatul Ulama (NU). Tapi, apa sebenarnya makna Aswaja dalam NU? Bagaimana prinsip dan mazhab yang dianut? Dan yang lebih penting, bagaimana penerapannya dalam kehidupan sehari-hari?
Sejak didirikan pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926 M), NU berkomitmen menjaga Islam yang moderat, penuh hikmah, dan sesuai dengan tuntunan ulama salaf. Bukan sekadar konsep teoretis, Aswaja adalah manhaj (metode berpikir) yang menjadi panduan dalam menghadapi tantangan zaman.
Di artikel ini, kita akan mengupas tuntas prinsip Aswaja dalam NU, mazhab yang diikuti, serta implementasinya dalam membangun masyarakat yang harmonis dan beradab. Bacalah sampai akhir untuk memahami bagaimana Aswaja menjadi pijakan kuat NU dalam menjaga tradisi dan merespons perubahan dunia! 🚀
NU sebagai Organisasi Keagamaan (Jam’iyyah Diniyah)
Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang didirikan pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M. NU merupakan wadah bagi para ulama dan pengikutnya untuk menjaga serta mengembangkan ajaran Islam berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) dengan mengikuti salah satu dari empat mazhab fiqih: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
Sebagai Jam’iyyah Diniyah (organisasi keagamaan), NU berperan penting dalam membimbing umat, menjaga tradisi Islam yang moderat, serta memberikan solusi atas berbagai persoalan keagamaan dan sosial. NU juga memiliki akar yang kuat dalam tradisi kitab kuning, yang menjadi pedoman utama dalam pendidikan dan fatwa keagamaan.
1. Sejarah dan Latar Belakang Pendirian NU
Sejarah NU tidak dapat dilepaskan dari perkembangan Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) di dunia Islam. Aswaja adalah manhaj (jalan) dalam beragama yang berpegang pada ajaran Rasulullah SAW, sahabat, tabi’in, serta ulama salafush shalih.
Aswaja dalam Sejarah Islam
Dalam kitab Al-Farqu Bainal Firaq karya Imam Abdul Qahir al-Baghdadi, dijelaskan bahwa Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah kelompok yang mengikuti akidah yang diwariskan dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, serta menjauhi sikap ekstrem dalam beragama. Hal ini ditegaskan oleh hadits:
“Akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu.” Para sahabat bertanya, “Siapakah mereka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka adalah yang mengikuti aku dan sahabatku.” (HR. Tirmidzi)
Dalam konteks Indonesia, NU didirikan sebagai respons terhadap berbagai tantangan zaman:
- Kolonialisme – Pemerintah kolonial Belanda membatasi kebebasan umat Islam, termasuk dalam pendidikan dan hukum Islam.
- Gerakan purifikasi Islam – Munculnya gerakan yang menolak praktik keagamaan berbasis tradisi lokal, seperti tahlilan dan maulid.
- Modernisasi dan globalisasi – Perubahan sosial dan budaya yang menuntut adaptasi tanpa meninggalkan prinsip keislaman.
Atas dasar inilah, KH. Hasyim Asy’ari bersama para ulama mendirikan NU untuk melindungi Islam tradisional, memperkuat pendidikan Islam, serta memperjuangkan kesejahteraan umat.
2. Prinsip Keagamaan NU
NU berpegang pada prinsip Ahlussunnah Wal Jama’ah, yang menyeimbangkan antara dalil wahyu, akal (ijtihad), dan tradisi lokal. Konsep ini mengacu pada ajaran ulama terdahulu, seperti Imam Asy’ari dan Imam Maturidi dalam akidah, serta empat mazhab dalam fiqih.
Dalam kitab I’anah at-Thalibin, Syekh Abu Bakar bin Muhammad Syatha menjelaskan bahwa Aswaja adalah manhaj yang mencerminkan keseimbangan antara dalil naqli (wahyu) dan aqli (akal sehat).
Empat Prinsip Aswaja dalam NU:
Prinsip | Penjelasan |
Tawassuth (Moderat) | Tidak ekstrem kanan atau kiri dalam beragama, menjaga keseimbangan antara tekstualisme dan rasionalisme. |
Tawazun (Seimbang) | Mengakomodasi dalil wahyu dan realitas sosial dalam kehidupan umat Islam. |
Tasamuh (Toleran) | Menghormati perbedaan pandangan dalam Islam, baik antarmazhab maupun dengan agama lain. |
Amar Ma’ruf Nahi Munkar | Mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran dengan cara yang bijak dan santun. |
3. Peran NU sebagai Organisasi Keagamaan
Sebagai organisasi keagamaan, NU menjalankan berbagai peran strategis untuk memastikan Islam tetap relevan dalam kehidupan umat Muslim di Indonesia. Berikut beberapa peran utama NU:
1. Menjaga dan Mengembangkan Ajaran Islam
NU berkomitmen untuk memastikan ajaran Islam tetap sesuai dengan prinsip Aswaja. Hal ini dilakukan melalui:
- Kajian keislaman di pesantren, majelis taklim, dan lembaga pendidikan.
- Fatwa keagamaan oleh Lembaga Bahtsul Masail NU, yang membahas isu-isu kontemporer.
- Pembinaan umat melalui dakwah berbasis hikmah dan budaya lokal.
Pendekatan ini sesuai dengan hadits Nabi:
“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
2. Membina Pendidikan Keislaman
Pendidikan merupakan salah satu pilar utama NU dalam mencetak generasi Muslim yang berilmu dan berakhlak. Upaya yang dilakukan meliputi:
- Mendirikan pondok pesantren sebagai pusat pendidikan Islam tradisional.
- Mengelola sekolah dan perguruan tinggi berbasis Islam, seperti Ma’arif NU dan Universitas Nahdlatul Ulama (UNU).
- Menyusun kurikulum berbasis Aswaja untuk memastikan pendidikan tetap berakar pada nilai-nilai Islam.
3. Menyebarkan Dakwah yang Rahmatan lil ‘Alamin
NU mengusung dakwah yang mengedepankan kedamaian dan kasih sayang. Dakwah ini dilakukan melalui:
- Media digital, seperti website, televisi, dan media sosial.
- Ceramah dan pengajian di berbagai wilayah, terutama di pedesaan.
- Gerakan dakwah berbasis budaya, seperti wayang santri dan kesenian Islam.
4. Menjaga Keutuhan NKRI
NU memiliki komitmen kuat terhadap persatuan dan kebangsaan. Sebagai organisasi yang lahir sebelum kemerdekaan, NU berperan aktif dalam:
- Menegaskan Pancasila sebagai dasar negara yang final.
- Mencegah gerakan radikalisme dan separatisme yang mengancam keutuhan bangsa.
- Memperkuat toleransi antarumat beragama dengan pendekatan dialogis.
Kekuatan dan Kelemahan NU
Sebagai organisasi besar yang telah berdiri hampir satu abad, NU memiliki banyak keunggulan, tetapi juga tantangan yang perlu dihadapi.
Kekuatan | Kelemahan |
Basis massa yang besar dan kuat di seluruh Indonesia. | Struktur organisasi yang kompleks dan terkadang birokratis. |
Tradisi pesantren yang kokoh sebagai pusat pendidikan Islam. | Tantangan adaptasi dengan era digital dan modernisasi. |
Jaringan ulama yang luas dan berpengaruh dalam masyarakat. | Perbedaan pendapat internal yang kadang menghambat keputusan strategis. |
Sebagai Jam’iyyah Diniyah, NU memiliki peran vital dalam menjaga dan mengembangkan Islam Aswaja di Indonesia. Dengan prinsip-prinsip Aswaja yang kokoh, NU akan tetap menjadi pilar penting dalam Islam Indonesia yang moderat, toleran, dan berkeadilan.
Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai Manhaj: Landasan Islam yang Moderat
Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) bukan sekadar istilah dalam Islam, tetapi sebuah manhaj (metodologi) dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Aswaja berpegang teguh pada Al-Qur’an, Sunnah, serta pemahaman para ulama salaf (generasi awal Islam) dan khalaf (generasi setelahnya). Metode ini menyeimbangkan antara dalil naqli (wahyu) dan dalil aqli (akal) sehingga menghasilkan pendekatan yang moderat dan kontekstual dalam beragama.
Sejarah mencatat bahwa Aswaja lahir sebagai reaksi terhadap berbagai aliran yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni, baik yang terlalu tekstualis maupun yang terlalu rasionalis. Oleh karena itu, Aswaja berada di tengah sebagai manhaj yang menjaga keseimbangan antara wahyu dan akal.
1. Prinsip Dasar Ahlussunnah Wal Jama’ah
Sebagai metodologi, Aswaja memiliki landasan kuat yang menjadikannya relevan sepanjang zaman. Tiga prinsip utama yang menjadi dasar ajaran Aswaja adalah:
a. Aqidah: Keimanan yang Kokoh dan Rasional
Aqidah Aswaja berpegang pada pemikiran dua ulama besar, yaitu Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi. Kedua tokoh ini merumuskan ajaran tauhid yang mempertahankan kemurnian keimanan, namun tetap memberikan ruang bagi akal untuk memahami dalil-dalil syar’i.
- Imam Al-Asy’ari menengahi antara pendekatan tekstual (Salaf) dan pendekatan rasional (Mu’tazilah). Dalam kitab Al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah, beliau menegaskan pentingnya mengikuti Sunnah Rasul dan ijma’ sahabat.
- Imam Al-Maturidi dalam kitab Kitab at-Tauhid menjelaskan bagaimana keimanan harus selaras dengan dalil dan akal sehat.
Pendekatan ini didukung oleh ulama NU seperti KH. Hasyim Asy’ari, yang dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah menyatakan bahwa aqidah Aswaja adalah jalan tengah antara tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) dan ta’thil (meniadakan sifat Allah).
b. Fiqih: Fleksibilitas dalam Beribadah
Dalam bidang hukum Islam, Aswaja mengikuti salah satu dari empat mazhab fiqih yang diakui dalam Islam: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Fleksibilitas dalam pemilihan mazhab ini bertujuan agar umat Islam dapat menyesuaikan praktik ibadah dan hukum Islam sesuai dengan kebutuhan zaman dan lingkungan sosialnya.
- Mazhab Hanafi: Dikenal dengan fleksibilitasnya dalam menggunakan qiyas dan istihsan.
- Mazhab Maliki: Berpegang pada amal penduduk Madinah sebagai dasar hukum.
- Mazhab Syafi’i: Mengembangkan metodologi ushul fiqih yang sistematis dengan keseimbangan antara dalil naqli dan aqli. Imam Syafi’i dalam Ar-Risalah menekankan pentingnya sanad dalam istinbat hukum.
- Mazhab Hanbali: Berpegang teguh pada teks hadits yang sahih sebagai dasar hukum.
NU mayoritas mengikuti Mazhab Syafi’i, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fathul Mu’in karya Syaikh Zainuddin Al-Malibari yang menjadi rujukan pesantren-pesantren NU.
c. Tasawuf: Membangun Spiritualitas yang Seimbang
Tasawuf dalam Aswaja bukan sekadar ritual mistik, tetapi lebih kepada pendekatan untuk membentuk akhlak dan spiritualitas yang baik. Aswaja mengikuti ajaran Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid Al-Baghdadi dalam mengajarkan tasawuf yang seimbang antara syariat dan hakikat.
- Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menekankan bahwa tasawuf harus tetap berlandaskan syariat.
- Imam Junaid Al-Baghdadi mengajarkan tasawuf yang tidak menjauh dari kehidupan sosial, tetapi justru memperbaiki moral individu dan masyarakat.
Dalam konteks NU, KH. Ahmad Siddiq dalam Khittah NU menjelaskan bahwa tasawuf yang dianut NU adalah tasawuf akhlaki, yaitu tasawuf yang memperbaiki moral umat, bukan sekadar aspek ritualistik.
2. Keseimbangan dalam Aswaja
Keunggulan utama Aswaja adalah kemampuannya dalam menjaga keseimbangan antara teks agama dan realitas sosial. Aswaja memiliki empat karakter utama yang membuatnya dapat diterima oleh berbagai kalangan:
- Tawassuth (Moderat): Tidak ekstrem dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam.
- Tasamuh (Toleran): Menghormati perbedaan pendapat dalam aspek agama dan sosial.
- Tawazun (Seimbang): Mengharmonikan antara teks agama dengan realitas sosial.
- Amar Ma’ruf Nahi Munkar: Aktif dalam mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran dengan hikmah.
Dalil yang mendukung prinsip ini adalah hadits Rasulullah:
“Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan.” (HR. Al-Baihaqi)
Dengan keseimbangan ini, Aswaja mampu bertahan dalam berbagai tantangan zaman tanpa kehilangan esensi ajarannya.
3. Kekuatan dan Kelemahan Manhaj Aswaja
Seperti halnya metodologi lainnya, Aswaja memiliki keunggulan dan tantangan yang perlu dipahami. Berikut adalah beberapa aspek kekuatan dan kelemahan Aswaja:
Aspek | Kekuatan | Kelemahan |
Aqidah | Berpegang pada tauhid murni dan rasionalitas | Rentan disalahpahami sebagai terlalu terbuka |
Fiqih | Fleksibel dalam ijtihad sesuai zaman | Tidak semua umat memahami metodologi fiqih dengan baik |
Tasawuf | Menguatkan akhlak dan spiritualitas | Berpotensi disalahgunakan oleh kelompok yang ekstrem |
Sosial | Mampu menjaga harmoni dalam masyarakat multikultural | Tantangan dalam menghadapi radikalisme dan sekularisme |
Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai manhaj adalah model pemikiran Islam yang inklusif, moderat, dan kontekstual. Dengan tetap berpegang pada warisan ulama salaf dan mengakomodasi tantangan zaman, Aswaja menjadi solusi bagi umat Islam dalam menjaga keseimbangan antara agama dan kehidupan modern.
Sebagai pengikut Aswaja, kita harus terus mendalami ilmu, memperkuat akidah, dan mengamalkan nilai-nilai Islam dengan bijaksana agar dapat menghadapi tantangan zaman dengan tetap berpegang teguh pada ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Mazhab Empat dalam Fiqih Islam: Sejarah, Metodologi, dan Perbandingan
Dalam Islam, fiqih berperan sebagai panduan dalam menjalani kehidupan sehari-hari, mulai dari ibadah hingga muamalah (interaksi sosial). Namun, hukum Islam tidak serta-merta diturunkan dalam bentuk aturan baku, melainkan melalui pemahaman dan ijtihad para ulama. Dari proses ini, lahirlah empat mazhab utama yang hingga kini menjadi pegangan umat Islam dalam beribadah dan berinteraksi.
Keempat mazhab ini merupakan bagian dari Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja), yaitu golongan yang mengikuti ajaran Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya dalam memahami Islam. Dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Imam Nawawi menyebutkan:
“Dan wajib bagi setiap orang awam mengikuti salah satu dari empat mazhab, karena kebenaran tidak keluar dari mereka.” (al-Majmu’, Juz 1, hal. 93)
1. Sejarah Ahlussunnah Wal Jama’ah dan Munculnya Mazhab Empat
Apa Itu Ahlussunnah Wal Jama’ah? Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) adalah golongan yang mengikuti ajaran Rasulullah ﷺ dan para sahabat dalam memahami Islam. Istilah ini mulai populer pada masa tabi’in dan tabi’ut tabi’in untuk membedakan antara kaum Sunni dengan kelompok yang menyimpang seperti Khawarij, Mu’tazilah, dan Syiah.
Hadis yang menjadi dasar konsep Aswaja adalah:
“Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu.” Para sahabat bertanya, ‘Siapakah mereka, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘(Yang mengikuti) Aku dan sahabatku’.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Mazhab empat lahir dari kalangan ulama Sunni yang berusaha memahami Islam sesuai dengan metode Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya.
2. Mengenal Empat Mazhab Fiqih
Empat mazhab ini tidak bersaing satu sama lain, melainkan saling melengkapi dalam memahami syariat Islam berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ (kesepakatan ulama), dan Qiyas (analogi hukum). Berikut adalah empat mazhab utama dalam Islam:
a. Mazhab Hanafi – Fiqih yang Rasional dan Fleksibel
Mazhab Hanafi adalah mazhab fiqih tertua dalam Islam yang didirikan oleh Imam Abu Hanifah (699-767 M). Mazhab ini terkenal sebagai mazhab yang paling rasional dan fleksibel karena banyak menggunakan qiyas (analogi) dan istihsan (penetapan hukum berdasarkan kebaikan umum).
Ciri Khas Mazhab Hanafi
- Berpikir kritis dalam menggali hukum Islam.
- Lebih mengutamakan akal dalam situasi di mana dalil eksplisit tidak ditemukan.
- Memiliki metode istihsan, yaitu menetapkan hukum berdasarkan kemaslahatan.
Kelebihan dan Kekurangan Mazhab Hanafi
Kelebihan | Kekurangan |
Fleksibel dalam ijtihad, mudah diterapkan dalam berbagai situasi modern. | Kurang mengandalkan hadits dibandingkan mazhab lain, karena lebih mengutamakan qiyas. |
Mengembangkan metodologi hukum Islam yang sistematis dan rasional. | Bisa dianggap terlalu rasional oleh mazhab yang lebih tekstualis. |
Penganut Mazhab Hanafi: Mazhab Hanafi banyak dianut di Turki, India, Pakistan, Bangladesh, Afghanistan, dan sebagian Timur Tengah.
b. Mazhab Maliki – Menjaga Tradisi Madinah sebagai Sumber Hukum
Mazhab Maliki didirikan oleh Imam Malik bin Anas (711-795 M) yang hidup di Madinah. Uniknya, mazhab ini menganggap amalan penduduk Madinah sebagai sumber hukum Islam karena mereka adalah generasi penerus langsung dari sahabat Nabi.
Ciri Khas Mazhab Maliki
- Menggunakan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas, dan tradisi penduduk Madinah sebagai sumber hukum.
- Sangat mementingkan istishlah (kemaslahatan umum) dalam menetapkan hukum.
- Cenderung mempertahankan praktik Islam yang berkembang di Madinah.
Kelebihan dan Kekurangan Mazhab Maliki
Kelebihan | Kekurangan |
Menggunakan praktik asli masyarakat Islam pertama (Madinah) sebagai sumber hukum. | Cenderung konservatif dalam beberapa aspek, karena mempertahankan tradisi klasik. |
Mementingkan kemaslahatan umum dalam menetapkan hukum. | Tidak terlalu fleksibel dalam menghadapi perubahan zaman dibandingkan Hanafi. |
Penganut Mazhab Maliki: Mazhab Maliki banyak dianut di Afrika Utara (Maroko, Aljazair, Tunisia), Sudan, dan sebagian Timur Tengah.
c. Mazhab Syafi’i – Fiqih yang Seimbang dan Sistematis
Mazhab Syafi’i didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (767-820 M), seorang ulama yang dikenal sebagai peletak dasar metodologi fiqih yang sistematis. Mazhab ini menggabungkan pendekatan tekstualis dan rasionalis secara seimbang.
Ciri Khas Mazhab Syafi’i
- Berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits, namun tetap menggunakan Qiyas.
- Menolak istihsan karena dianggap membuka celah subjektivitas.
- Memiliki sistem hukum yang jelas dan tertata rapi.
Kelebihan dan Kekurangan Mazhab Syafi’i
Kelebihan | Kekurangan |
Metodologi hukum yang sistematis dan terstruktur. | Kadang dianggap kurang fleksibel dibandingkan mazhab Hanafi. |
Seimbang antara dalil naqli dan akal. | Tidak menerima istihsan, sehingga dalam beberapa kasus bisa lebih ketat. |
Penganut Mazhab Syafi’i: Mazhab Syafi’i dianut oleh mayoritas umat Islam di Indonesia, Malaysia, Brunei, Yaman, dan sebagian Mesir.
d. Mazhab Hanbali – Berpegang Teguh pada Dalil Hadits
Mazhab Hanbali didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (780-855 M) yang terkenal sangat ketat dalam berpegang pada hadits sahih. Mazhab ini dikenal sebagai mazhab yang paling tekstualis dan cenderung konservatif.
Ciri Khas Mazhab Hanbali
- Berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits, serta fatwa sahabat.
- Tidak terlalu banyak menggunakan qiyas atau akal dalam menggali hukum.
- Cenderung ketat dalam mengamalkan sunnah Nabi.
Kelebihan dan Kekurangan Mazhab Hanbali
Kelebihan | Kekurangan |
Sangat teguh dalam mempertahankan ajaran Islam berdasarkan hadits sahih. | Kurang fleksibel dalam menghadapi perkembangan zaman. |
Menghindari subjektivitas dalam ijtihad dengan berpegang pada teks dalil. | Tidak banyak menggunakan rasionalisasi hukum, sehingga bisa terasa ketat. |
Penganut Mazhab Hanbali: Mazhab Hanbali banyak dianut di Arab Saudi, Qatar, dan sebagian wilayah Timur Tengah.
Mazhab | Pendiri | Asal | Metode Fiqih |
Hanafi | Imam Abu Hanifah (699-767 M) | Kufah, Irak | Rasionalis, banyak menggunakan qiyas dan istihsan |
Maliki | Imam Malik bin Anas (711-795 M) | Madinah, Hijaz | Berpegang pada amalan penduduk Madinah dan maslahah |
Syafi’i Imam | Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (767-820 M) | Gaza, Palestina | Sistematis, menggabungkan dalil naqli dan qiyas |
Hanbali | Imam Ahmad bin Hanbal (780-855 M) | Baghdad, Irak | Tekstualis, berpegang pada hadits sahih dan fatwa sahabat |
3. Perbandingan Kelebihan dan Kekurangan Mazhab Empat
Setiap mazhab memiliki metodologi yang unik. Berikut adalah kelebihan dan kekurangannya:
Mazhab | Kelebihan | Kekurangan |
Hanafi |
|
Kurang mengandalkan hadits dibandingkan mazhab lain |
Maliki |
|
Cenderung konservatif dalam beberapa aspek |
Syafi’i |
|
Tidak menerima istihsan, sehingga lebih ketat dalam beberapa kasus |
Hanbali |
|
Kurang fleksibel dalam menghadapi perubahan sosial |
4. Pendapat Ulama NU tentang Mazhab Empat
Di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) berpegang pada Mazhab Syafi’i, sebagaimana ditegaskan dalam Qanun Asasi NU tahun 1926:
“NU berdiri untuk menjaga Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah berdasarkan salah satu dari mazhab empat.”
KH. Hasyim Asy’ari dalam al-Durar al-Muntatsirah menegaskan bahwa mengikuti salah satu dari mazhab empat adalah keharusan, karena umat Islam tidak mungkin memahami hukum syariat tanpa bimbingan ulama. Beberapa hadis yang menguatkan pentingnya mengikuti ulama dalam memahami agama adalah:
- “Para ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
- “Barang siapa mengikuti sunnahku di saat umatku telah rusak, baginya pahala 100 syahid.” (HR. Baihaqi)
Mazhab Mana yang Terbaik? Semua mazhab memiliki dasar yang kuat dan tidak ada yang lebih benar dari yang lain. Perbedaan ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang fleksibel dan dapat diterapkan dalam berbagai kondisi sosial dan geografis.
- Jika ingin mazhab yang fleksibel, Hanafi adalah pilihan terbaik.
- Jika ingin mengikuti tradisi Islam awal, pilih Maliki.
- Jika ingin mazhab yang sistematis dan moderat, Syafi’i adalah opsi terbaik.
- Jika lebih suka mazhab yang ketat dalam hadits, maka Hanbali cocok untuk Anda.
Pada akhirnya, kita semua berada dalam satu barisan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Perbedaan mazhab bukan alasan untuk berpecah, melainkan kekayaan intelektual Islam yang harus dijaga.
Jadi, mazhab mana yang paling cocok untuk Anda? 🚀
Tujuan NU: Menjaga Islam dan Masyarakat
Nahdlatul Ulama (NU) bukan sekadar organisasi Islam, tetapi juga penjaga ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) dan pilar utama dalam membangun peradaban Islam yang damai. Sejak didirikan pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926 M), NU berkomitmen untuk:
✅ Memelihara ajaran Islam yang lurus sesuai Aswaja
✅ Menjaga harmoni sosial dan menciptakan maslahat umat
✅ Mengembangkan pendidikan dan memberdayakan ekonomi
✅ Memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bangsa
Sejarah mencatat bahwa Aswaja bukan sekadar mazhab, tetapi juga manhaj (metodologi berpikir) dalam memahami Islam secara seimbang. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan:
“As-Sawad al-A’zham (kelompok mayoritas) itulah yang berada dalam kebenaran. Mereka adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang mengikuti jejak para ulama salaf.”
NU hadir untuk memastikan bahwa Islam tetap berada di jalur yang benar, sebagaimana yang diajarkan oleh para ulama terdahulu.
1. Memelihara Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah
Islam yang dibawa NU adalah Islam Aswaja, yaitu Islam yang mengikuti jejak Rasulullah ﷺ, para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Manhaj ini menekankan keseimbangan antara dalil naqli (Al-Qur’an dan Hadis) serta dalil aqli (akal sehat dan ijtihad ulama).
Dalam Fathul Mu’in, Syekh Zainuddin Al-Malibari menyebutkan:
“Setiap perkara agama harus dikembalikan kepada dalil, tetapi pemahamannya tetap merujuk kepada ulama yang kompeten.”
Ciri Khas Islam Aswaja di NU
Aspek | Acuan NU |
Aqidah | Mengikuti Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi, yang menjaga keseimbangan antara wahyu dan rasionalitas. |
Fiqih | Bermazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali), dengan mayoritas mengikuti Syafi’i, yang menekankan metodologi fiqih yang sistematis. |
Tasawuf | Berlandaskan ajaran Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid Al-Baghdadi, yang mengajarkan keseimbangan antara syariat dan hakikat. |
Dakwah | Menggunakan pendekatan santun, fleksibel, dan berbasis kearifan lokal. |
Sebagai organisasi Islam yang moderat, NU menjaga Islam dari paham ekstrem, baik yang terlalu keras (radikal) maupun yang terlalu longgar (liberal).
Hadis Pendukung
Rasulullah ﷺ bersabda dalam Shahih Bukhari:
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya.”
NU memahami hadis ini sebagai prinsip menjaga Islam sesuai dengan generasi terbaik (salafus shalih), bukan dengan tafsir sempit yang kaku atau liberalisasi ajaran agama.
2. Menjaga Harmoni dan Kemaslahatan Umat
NU tidak hanya berdakwah, tetapi juga berperan dalam menciptakan stabilitas sosial. Islam bukan hanya ibadah individual, tetapi juga mengatur hubungan antar manusia.
Empat Prinsip NU dalam Menjaga Harmoni
- Tawassuth (Moderat): Tidak ekstrem kanan (radikal) maupun ekstrem kiri (liberal).
- Tasamuh (Toleran): Menghormati perbedaan, baik dalam Islam maupun antaragama.
- Tawazun (Seimbang): Tidak berat sebelah dalam menyikapi persoalan agama dan sosial.
- I’tidal (Adil): Menjunjung tinggi keadilan dan tidak memihak yang zalim.
Implementasi prinsip ini terlihat dalam berbagai bentuk:
- NU aktif membangun dialog antaragama untuk memperkuat persatuan bangsa.
- NU menolak segala bentuk kekerasan dan intoleransi, baik yang dilakukan oleh kelompok radikal maupun yang ingin mencabut nilai-nilai Islam dari kehidupan publik.
- NU membantu korban bencana alam dan sosial melalui NU Peduli, tanpa memandang suku, agama, atau golongan.
Pendapat Ulama NU
KH. Hasyim Asy’ari dalam Muqaddimah Qanun Asasi menyatakan:
“Islam harus dijaga dengan ilmu dan akhlak. Tanpa ilmu, agama menjadi kaku. Tanpa akhlak, agama menjadi keras.”
NU menjaga Islam dengan ilmu dan akhlak, sehingga selalu berada di tengah masyarakat dengan peran yang menyejukkan.
Contoh Nyata Peran NU dalam Harmoni Sosial
- NU Peduli: Menolong korban bencana tanpa membedakan agama.
- Dialog antaragama: Membangun kedamaian di tengah pluralitas Indonesia.
- Menolak radikalisme: Menghadang kelompok ekstrem yang ingin merusak tatanan sosial.
3. Meningkatkan Pendidikan dan Ekonomi Umat
NU memahami bahwa Islam tidak hanya soal ibadah, tetapi juga ilmu dan ekonomi. Jika umat Islam tertinggal dalam pendidikan dan ekonomi, maka mereka akan lemah dalam menghadapi tantangan zaman.
Peran NU dalam Pendidikan
Sejak awal berdiri, NU telah membangun berbagai institusi pendidikan untuk mencetak generasi Islam yang berilmu dan berakhlak:
- Pesantren: Ribuan pesantren NU tersebar di seluruh Indonesia, menjadi pusat pembelajaran Islam yang tetap relevan dengan perkembangan zaman.
- Madrasah dan sekolah umum: Selain pesantren, NU juga mendirikan madrasah dan sekolah berbasis Islam untuk mencetak generasi yang berdaya saing.
- Universitas: NU memiliki berbagai perguruan tinggi yang mengajarkan ilmu agama sekaligus ilmu pengetahuan modern.
Peran NU dalam Ekonomi
Dalam bidang ekonomi, NU mengembangkan berbagai strategi untuk meningkatkan kesejahteraan umat, seperti:
- Mendirikan koperasi NU dan BMT (Baitul Maal wa Tamwil) untuk membantu akses permodalan bagi usaha kecil.
- Membangun jaringan ekonomi berbasis pesantren, sehingga pesantren tidak hanya menjadi pusat pendidikan tetapi juga pusat pemberdayaan ekonomi.
- Mengembangkan ekosistem bisnis halal sebagai bagian dari upaya meningkatkan daya saing umat Islam dalam ekonomi global.
Dengan fokus pada pendidikan dan ekonomi, NU tidak hanya melahirkan santri yang alim, tetapi juga santri yang mampu bersaing di dunia kerja dan bisnis.
Kutipan Hadis
Rasulullah ﷺ bersabda dalam Sunan Ibnu Majah:
“Kefakiran itu dekat dengan kekufuran.”
Oleh karena itu, NU tidak hanya mengajarkan ibadah, tetapi juga ekonomi yang kuat agar umat Islam tidak terjerumus dalam kemiskinan.
4. Memperjuangkan Keadilan dan Kesejahteraan Bangsa
Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU memiliki tanggung jawab dalam menjaga keadilan dan kesejahteraan bangsa.
Peran NU dalam Kehidupan Bernegara
Beberapa peran strategis NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara antara lain:
- Mengawal kebijakan pemerintah agar tetap berpihak pada rakyat kecil dan tidak merugikan umat Islam.
- Mendukung demokrasi dan kebhinekaan dengan menolak segala bentuk upaya pemecah-belah bangsa.
- Memerangi korupsi dan ketimpangan sosial dengan aktif dalam gerakan anti-korupsi dan pengentasan kemiskinan.
NU berusaha agar Islam tetap menjadi kekuatan moral dan intelektual dalam kehidupan bangsa, bukan hanya simbol yang dijadikan alat politik sesaat.
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah berkata:
“NU bukan hanya soal agama, tetapi juga kemanusiaan dan kebangsaan.”
NU berusaha agar Islam tetap menjadi kekuatan moral dalam kehidupan berbangsa, bukan sekadar simbol yang digunakan untuk kepentingan politik sempit.
NU memiliki peran strategis dalam menjaga Islam dan membangun masyarakat. Dengan landasan Aswaja, pendidikan, ekonomi, dan kebangsaan, NU tetap relevan dalam menghadapi tantangan zaman.
Sebagai organisasi besar, NU memiliki kelebihan dan tantangan tersendiri:
Aspek | Kekuatan NU | Kelemahan NU |
Basis Keagamaan | Berpegang teguh pada Aswaja yang moderat, menjaga stabilitas Islam di Indonesia. | Tantangan dalam menghadapi pemikiran Islam modern yang lebih liberal dan individualis. |
Jaringan Sosial | Memiliki jutaan anggota dan ribuan pesantren yang menjadi pusat pendidikan Islam. | Koordinasi dan konsolidasi antar wilayah masih menjadi tantangan. |
Peran Sosial | Aktif dalam pendidikan, ekonomi, dan advokasi masyarakat. | Terkadang terjebak dalam politik praktis yang dapat mengurangi independensi organisasi. |
Dakwah | Metode dakwah santun dan berbasis kearifan lokal, diterima oleh masyarakat luas. | Kurang agresif dalam dakwah digital sehingga tertinggal dari kelompok lain yang lebih aktif di media sosial. |
🚀 NU bukan hanya organisasi, tetapi gerakan peradaban!
Peran Ulama dalam NU: Pilar Keilmuan dan Kebangsaan
Ulama dalam Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peran yang sangat strategis dalam menjaga, mengembangkan, dan mengamalkan ajaran Islam berbasis Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja). Sejak berdirinya NU pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926 M), ulama berperan dalam membimbing umat dalam kehidupan keagamaan, sosial, pendidikan, serta menjaga persatuan bangsa.
Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam NU merujuk pada ajaran Islam yang mengikuti metode (manhaj) para ulama salaf, khususnya dalam bidang aqidah yang mengikuti Asy’ariyah dan Maturidiyah, fiqih berdasarkan mazhab empat (Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali), serta tasawuf yang mengikuti Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi. Artikel ini akan membahas secara rinci peran ulama NU berdasarkan referensi kitab kuning, pendapat ulama NU, sejarah Aswaja, serta kutipan hadis.
1. Ulama sebagai Penjaga Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja)
Ulama NU berperan sebagai penjaga ajaran Aswaja dari berbagai tantangan zaman, baik yang datang dari dalam maupun luar Islam. Mereka memastikan bahwa pemahaman agama tetap dalam jalur moderat dan sesuai dengan ajaran para ulama terdahulu.
Referensi:
- Kitab Kuning: Ihya’ Ulum al-Din karya Imam Al-Ghazali dan Al-Tafsir al-Kabir karya Fakhruddin Al-Razi membahas pentingnya jalan tengah dalam memahami Islam.
- Pendapat Ulama NU: KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Al-Tibyan menegaskan bahwa Aswaja adalah jalan keselamatan yang menghindarkan umat dari ekstremisme.
- Sejarah Aswaja: Konsep Aswaja pertama kali berkembang di era sahabat dan tabi’in, dan kemudian diformalkan oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Hadis:
“Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, hanya satu yang selamat.” (HR. Tirmidzi).
2. Ulama sebagai Pemimpin Spiritual dan Sosial
Ulama NU tidak hanya berperan dalam memberikan fatwa, tetapi juga sebagai pemimpin moral dan sosial dalam masyarakat. Mereka menjadi rujukan dalam berbagai persoalan umat, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam dinamika kebangsaan.
Referensi:
- Kitab Kuning: Al-Ahkam al-Sultaniyyah karya Al-Mawardi menegaskan pentingnya peran ulama dalam mengatur masyarakat.
- Pendapat Ulama NU: KH. Abdul Wahab Hasbullah menyatakan bahwa ulama harus menjadi garda terdepan dalam membela kepentingan rakyat.
Hadis:
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Abu Dawud).
3. Ulama sebagai Pendidik dan Pengembang Ilmu
NU dikenal dengan jaringan pesantrennya yang luas. Peran ulama dalam mendidik generasi penerus sangat vital, terutama dalam membentuk karakter dan keilmuan yang kuat.
Referensi:
- Kitab Kuning: Ta’lim al-Muta’allim karya Imam Al-Zarnuji mengajarkan metode pendidikan efektif dalam Islam.
- Pendapat Ulama NU: KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) menekankan bahwa pendidikan Islam harus mengajarkan toleransi dan kasih sayang.
Hadis:
“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah).
4. Ulama sebagai Jembatan antara Tradisi dan Modernitas
Ulama NU memiliki tugas untuk menghubungkan ajaran Islam klasik dengan tantangan zaman modern, termasuk dalam bidang ekonomi, teknologi, dan sosial.
Referensi:
- Kitab Kuning: Ihya’ Ulum al-Din karya Imam Al-Ghazali membahas pentingnya ijtihad dalam menghadapi perubahan zaman.
- Pendapat Ulama NU: KH. Wahid Hasyim menekankan pentingnya pendidikan modern di samping pendidikan agama.
Hadis:
“Agama ini mudah, janganlah mempersulitnya.” (HR. Bukhari).
5. Ulama sebagai Penjaga Persatuan dan Kebangsaan
NU memiliki peran besar dalam menjaga keutuhan bangsa. Ulama NU aktif dalam menjaga persatuan dan mencegah perpecahan umat.
Referensi:
- Kitab Kuning: Al-Muwafaqat karya Imam Asy-Syatibi membahas prinsip-prinsip kemaslahatan dalam kehidupan berbangsa.
- Pendapat Ulama NU: Gus Dur selalu menekankan bahwa Islam dan nasionalisme tidak bertentangan.
Hadis:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara.” (QS. Al-Hujurat: 10).
Kekuatan dan Kelemahan Ulama dalam NU
Aspek | Kekuatan | Kelemahan |
Keilmuan | Memiliki sanad keilmuan yang jelas dan terpercaya | Tantangan dalam adaptasi terhadap perkembangan ilmu baru |
Kepemimpinan | Dihormati dan memiliki pengaruh besar di masyarakat | Tidak semua ulama memiliki keterampilan kepemimpinan modern |
Pendidikan | Mampu menjaga sistem pendidikan pesantren yang khas | Kurangnya akses ke teknologi dan metode pendidikan mutakhir |
Sosial & Politik | Berperan dalam menjaga stabilitas dan persatuan bangsa | Rentan terhadap politisasi oleh kelompok tertentu |
Ijtihad | Mampu beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa meninggalkan tradisi | Kadang ada perbedaan pandangan yang sulit disatukan |
Peran ulama dalam NU sangat vital dalam menjaga Islam Aswaja dan kehidupan bermasyarakat. Mereka adalah garda terdepan dalam pendidikan, kepemimpinan, serta pemersatu bangsa.
Penutup
Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) bukan sekadar identitas, tapi manhaj berpikir dan bertindak yang menjadi pijakan Nahdlatul Ulama (NU) dalam menjaga ajaran Islam yang moderat, toleran, dan berlandaskan tradisi ulama. Dengan mengikuti salah satu dari empat mazhab besar dan berpegang pada prinsip keseimbangan antara dalil naqli, aqli, serta maslahah, NU terus berperan dalam membimbing umat di tengah dinamika zaman.
Lebih dari sekadar wacana, Aswaja dalam NU hidup dalam praktik keseharian—dari tradisi keagamaan, penguatan pendidikan pesantren, hingga kontribusi nyata dalam sosial kemasyarakatan. Inilah yang menjadikan NU bukan hanya organisasi keagamaan, tetapi juga penjaga nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin yang tetap relevan dari generasi ke generasi.
Maka, memahami Aswaja dalam NU bukan hanya soal sejarah atau teori, tapi juga bagaimana kita menerapkannya dalam kehidupan untuk membangun umat yang beradab, harmonis, dan maju. 🚀✨
Leave a Reply
View Comments