Akreditasi Kampus: Formalitas atau Penjamin Mutu Pendidikan?

Mengupas dampak akreditasi kampus terhadap mahasiswa, kualitas lulusan, dan masa depan mutu pendidikan tinggi di Indonesia.

Pendidikan22 Views

[Cirebonrayajeh.com – Pendidikan] Sejak diberlakukannya sistem akreditasi oleh BAN-PT pada tahun 1994, perguruan tinggi di Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk memenuhi standar mutu yang ditetapkan negara. Proses ini diharapkan mampu menjamin mutu pendidikan tinggi, memberikan perlindungan bagi mahasiswa, sekaligus meningkatkan daya saing bangsa di kancah global. Namun, pertanyaan yang terus bergulir adalah: apakah akreditasi kampus benar-benar menjadi penjamin mutu, atau hanya sekadar formalitas administratif?

Dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU), khususnya sejak Khittah 1926, pendidikan selalu dimaknai sebagai jalan pengabdian (khidmah) kepada umat, bangsa, dan agama. NU tidak memandang pendidikan sebagai instrumen kekuasaan atau komoditas pasar, melainkan sebagai amanah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka, ketika berbicara tentang akreditasi kampus, kita tidak bisa berhenti pada ukuran administratif semata; kita perlu kembali kepada nilai-nilai dasar NU: kejujuran ilmiah, kemaslahatan umum (mashlahah ‘ammah), kemandirian, serta tanggung jawab moral.

Artikel ini akan mengulas akreditasi kampus dengan pendekatan policy review, dipadukan dengan bingkai Khittah NU 1926, sehingga menghasilkan analisis yang tidak hanya akademis tetapi juga etis, filosofis, dan humanis.

Akreditasi Kampus di Indonesia: Regulasi dan Standar BAN-PT

Akreditasi kampus adalah bentuk quality assurance eksternal yang wajib dijalani seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Tujuannya adalah memastikan bahwa layanan pendidikan tinggi berjalan sesuai standar mutu yang ditetapkan.

Landasan Hukum dan Peran BAN-PT

BAN-PT berdiri berdasarkan Keputusan Mendikbud Nomor 0326/O/1994. Fungsi utamanya adalah mengevaluasi dan menilai mutu pendidikan tinggi berdasarkan instrumen tertentu. Namun, jika ditinjau dari Khittah NU 1926, fungsi ini tidak boleh berhenti pada administrasi. BAN-PT semestinya menjadi instrumen untuk mengawal keadilan pendidikan agar semua anak bangsa—baik dari kota besar maupun pelosok—mendapat layanan pendidikan tinggi yang bermutu.

Baca Juga  Apa Itu Psikologi? Rahasia di Balik Pikiran dan Perilaku Manusia!

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menegaskan bahwa pendidikan adalah “jalan peradaban, bukan sekadar mesin pencetak ijazah.” Dengan demikian, BAN-PT tidak hanya bertugas memberi peringkat, tetapi juga mendorong kampus agar benar-benar menumbuhkan manusia berilmu, berakhlak, dan bermanfaat.

Mekanisme Penilaian Akreditasi

Saat ini, BAN-PT menggunakan instrumen yang mencakup tujuh standar: visi-misi, tata pamong, mahasiswa, dosen, kurikulum, pembiayaan, serta sarana-prasarana. Namun, dalam bingkai NU, indikator mutu pendidikan tidak boleh lepas dari nilai akhlakul karimah dan khidmah sosial. Artinya, mutu kampus tidak hanya diukur dari gedung megah dan dokumen lengkap, tetapi juga dari kontribusinya terhadap masyarakat sekitar.

Masalah yang Muncul dalam Praktik Akreditasi Kampus

Meski idealnya menjamin mutu, dalam praktiknya akreditasi seringkali terjebak pada formalitas.

Akreditasi sebagai Formalitas Administratif

Banyak kampus menyiapkan akreditasi layaknya “ritual lima tahunan” dengan menumpuk dokumen, tetapi tidak memperbaiki proses pembelajaran. Menurut Prof. Suyanto (UNY, 2020), “akreditasi kita masih lebih sibuk pada berkas daripada kualitas.”

Dalam perspektif Khittah NU 1926, hal ini berbahaya. NU mengajarkan bahwa pendidikan harus berlandaskan keikhlasan dan kejujuran ilmiah. Jika akreditasi dijadikan tujuan akhir (ghoyah), maka ia kehilangan ruhnya. Akreditasi seharusnya hanyalah wasilah untuk membentuk generasi unggul dan berakhlak.

Kesenjangan Mutu Pendidikan Tinggi

Kampus besar dengan dana melimpah lebih mudah memperoleh akreditasi unggul, sementara kampus kecil kesulitan. Hasilnya, lulusan dari kampus kecil sering dianggap kurang berkualitas. Dari kacamata NU, hal ini bertentangan dengan prinsip al-maslahah al-‘ammah. Pendidikan tinggi seharusnya menjadi jalan pemerataan, bukan memperlebar jurang sosial.

Dampak Akreditasi terhadap Mahasiswa

Mahasiswa adalah pihak yang paling merasakan dampak akreditasi.

Dampak Positif

Lulusan dari kampus berakreditasi unggul lebih mudah mendapat pekerjaan, beasiswa, dan akses studi lanjut. Data QS Graduate Employability Rankings 2022 menunjukkan bahwa lulusan dari kampus berakreditasi tinggi di Indonesia memiliki tingkat employability 25% lebih tinggi.

Baca Juga  Apa Itu OBE? Penjelasan Paling Mudah dan Komprehensif

Dalam bingkai NU, ini menunjukkan bahwa akreditasi bisa berfungsi sebagai sarana membuka jalan kemaslahatan. Ia memudahkan mahasiswa untuk menunaikan peran sosialnya.

Dampak Negatif

Namun, mahasiswa dari kampus berakreditasi rendah sering menghadapi diskriminasi. Mereka kesulitan bersaing di dunia kerja, bahkan terhambat mengakses beasiswa. Dalam khittah NU, diskriminasi semacam ini tidak adil dan tidak maslahat. Gus Dur pernah menekankan, “Pendidikan harus membebaskan, bukan membelenggu.” Maka, akreditasi harus didesain agar tidak menutup kesempatan, melainkan membuka akses lebih luas bagi semua mahasiswa.

Menuju Akreditasi yang Lebih Substansial

Agar akreditasi tidak berhenti pada formalitas, diperlukan reformasi yang substansial.

Reformasi Sistem Akreditasi

Model akreditasi sebaiknya berbasis outcomes based education (OBE): menilai capaian pembelajaran, bukan sekadar input administratif. Evaluasi juga harus berkelanjutan, bukan snapshot lima tahunan. Prinsip istiqamah yang ditekankan NU bisa menjadi inspirasi: mutu pendidikan harus dijaga secara konsisten, bukan sesaat.

Solusi Praktis bagi Kampus dan Mahasiswa

  • Untuk kampus: meningkatkan mutu dosen, riset, kurikulum adaptif, dan menanamkan nilai khidmah sosial. Seperti pesan KH. Hasyim Asy’ari dalam Adabul ‘Alim wal Muta’allim: pendidikan harus mencetak orang berilmu yang berakhlak.
  • Untuk mahasiswa: aktif memberikan feedback, ikut dalam pengabdian masyarakat, dan menjadikan status akreditasi bukan sebagai kebanggaan semu, melainkan sarana untuk memperkuat khidmah pada bangsa.

Penutup

Jika dipandang melalui bingkai Khittah NU 1926, akreditasi kampus adalah sarana (wasilah), bukan tujuan akhir. Akreditasi yang hanya berorientasi pada dokumen akan kehilangan ruhnya. Tetapi jika diarahkan pada kemaslahatan, akreditasi bisa menjadi instrumen yang memastikan lahirnya generasi unggul: cerdas, berakhlak, dan siap berkontribusi bagi bangsa.

Dengan menanamkan nilai kejujuran ilmiah, khidmah sosial, dan istiqamah mutu, akreditasi tidak lagi menjadi formalitas, melainkan benar-benar menjadi penjamin mutu pendidikan tinggi yang berakar pada budaya Indonesia dan nilai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah.

Leave a Reply