Emosi Massa dalam Demo: Propaganda atau Perjuangan?

Mengungkap sisi psikologi sosial di balik agitasi politik dan manipulasi emosi dalam kerumunan massa

Asrama Al Barri Ponpes Gedongan Cirebon
Asrama Al Barri Ponpes Gedongan Cirebon

[Cirebonrayajeh.com, Teori Konspirasi] Demo, unjuk rasa, atau aksi massa selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika sosial-politik. Dari jalan-jalan kota besar hingga alun-alun kecil, teriakan massa sering kali menjadi simbol perlawanan. Namun, di balik lautan manusia yang bersatu, ada satu kekuatan tak kasat mata yang menggerakkan: emosi kolektif.

Emosi dalam kerumunan bukan sekadar perasaan individu yang digandakan, melainkan energi bersama yang dapat menyatukan orang asing dalam satu tujuan, entah itu perjuangan idealis atau sekadar mengikuti arus. Di titik inilah pertanyaan kritis muncul: apakah emosi dalam demo benar-benar murni perjuangan, atau hanya hasil propaganda emosional yang sengaja digerakkan oleh pihak tertentu?

Psikologi sosial sejak era Gustave Le Bon (The Crowd: A Study of the Popular Mind, 1895) sudah mengingatkan bahwa kerumunan punya cara berpikir berbeda dengan individu. Orang cerdas sekalipun bisa kehilangan kendali saat larut dalam massa. Maka, memahami emosi demo bukan hanya penting bagi aktivis atau penguasa, tapi juga bagi akademisi, pendidik, dan masyarakat luas.

Masalah Utama – Emosi Demo yang Mudah Dimanipulasi

Propaganda Emosional: Senjata Lama yang Masih Relevan

Propaganda emosional bukanlah barang baru. Dari zaman Romawi, pidato yang menggugah sudah digunakan untuk membakar semangat perang. Pada Perang Dunia II, propaganda Nazi memanfaatkan simbol, musik, dan retorika untuk memobilisasi jutaan orang. Kini, di era digital, bentuknya berubah menjadi poster viral, meme, atau video singkat yang disebarkan di media sosial.

Menurut Ellul (1965) dalam bukunya Propaganda: The Formation of Men’s Attitudes, propaganda bekerja bukan dengan menyajikan fakta, melainkan dengan memanipulasi perasaan. Propaganda memicu rasa takut, marah, bangga, atau bahkan harapan untuk menggerakkan massa. Dalam konteks demo, teriakan seorang orator bisa menjadi “pemantik” yang membuat ribuan orang percaya bahwa perjuangan mereka sah, meskipun tanpa bukti konkret.

Baca Juga  Beasiswa Global: Alat Elit Mengatur Arah Pendidikan

Analogi sederhana: bayangkan api unggun. Kayu bakarnya adalah ketidakpuasan sosial, dan bensinnya adalah propaganda emosional. Sekali tersulut, api bisa memberi kehangatan (perjuangan damai) atau membakar habis (kerusuhan).

Manipulasi Emosi Massa dalam Aksi Kolektif

Manipulasi emosi massa kerap dilakukan dengan teknik tertentu. Orator menggunakan intonasi suara, simbol (bendera, spanduk), atau bahkan lagu perjuangan untuk membangun rasa kebersamaan. Media sosial memperkuatnya dengan algoritma yang menampilkan konten emosional berulang kali sehingga meneguhkan keyakinan kelompok.

Penelitian Kramer et al. (2014) di Proceedings of the National Academy of Sciences membuktikan bahwa emosi bisa menular secara digital melalui media sosial—disebut emotional contagion. Jika ratusan ribu orang membaca unggahan yang menekan tombol emosinya, tidak heran massa di jalan menjadi lebih mudah meledak.

Hubungannya dengan agitasi politik sangat jelas. Agitasi biasanya dilakukan untuk memperbesar rasa marah atau ketidakadilan, sehingga individu merasa terdorong ikut aksi. Dalam kondisi ini, manipulasi psikologi massa terjadi secara halus: individu merasa bertindak bebas, padahal sebenarnya sedang diarahkan.

Psikologi Massa – Mengapa Orang Rasional Bisa Ikut Rusuh?

Pertanyaan penting: mengapa orang yang sehari-hari tenang bisa ikut melempar batu atau membakar ban saat demo? Jawabannya ada pada teori deindividuasi. Menurut Zimbardo (1969), individu dalam kerumunan cenderung kehilangan identitas personalnya, merasa anonim, dan berani melakukan hal-hal yang biasanya tidak akan ia lakukan.

Selain itu, ada konsep social identity theory dari Tajfel & Turner (1979). Dalam demo, individu merasa menjadi bagian dari kelompok yang lebih besar, sehingga keputusan diambil bukan atas dasar logika personal, melainkan identitas kelompok. Jika kelompok marah, maka ia juga ikut marah.

Studi kasus nyata terlihat dalam demonstrasi besar di berbagai negara, termasuk Indonesia. Banyak mahasiswa atau pekerja yang turun dengan niat damai, namun akhirnya terseret dalam arus rusuh. Mereka bukan kriminal, hanya individu yang larut dalam “arus psikologi massa”.

Baca Juga  EdTech dan MOOC: Senjata Baru Geopolitik Pendidikan Elite

Solusi & Perspektif Positif – Mengelola Emosi Kolektif

Kesadaran Psikologis – Mengenali Pola Manipulasi

Langkah pertama adalah kesadaran psikologis. Masyarakat perlu menyadari bahwa emosi mereka bisa dimanipulasi. Propaganda emosional biasanya memiliki tanda:

  • Menggunakan bahasa yang hiperbolis (“hancurkan!”, “selamatkan bangsa!”).
  • Mengabaikan data, lebih banyak bermain pada simbol atau narasi penderitaan.
  • Menghadirkan musuh bersama (pemerintah, elit, atau kelompok tertentu).

Menurut pakar komunikasi politik, Nimmo (2001), kunci menghadapi propaganda adalah critical thinking. Latihan sederhana: saat mendengar seruan dalam demo, berhenti sejenak, tarik napas, dan tanyakan pada diri sendiri: “Apakah ini fakta, atau hanya emosi yang dipompa?”

Dengan begitu, individu tetap bisa ikut berjuang tanpa terjebak manipulasi.

Strategi Pendidikan – Literasi Emosi untuk Masyarakat

Solusi jangka panjang adalah pendidikan. Literasi emosi dan psikologi massa harus dikenalkan di ruang kelas, terutama di perguruan tinggi. Mahasiswa filsafat, psikologi, dan ilmu sosial perlu memahami bagaimana emosi kolektif bekerja.

Dosen dan pendidik bisa mengadakan diskusi kritis, misalnya menganalisis pidato politik dari perspektif retorika dan psikologi. Simulasi debat dengan peran “propagandis” vs “pemikir kritis” juga bisa menjadi cara efektif untuk melatih mahasiswa mengenali trik manipulasi.

Menurut Paulo Freire (Pedagogy of the Oppressed, 1970), pendidikan harus membebaskan, bukan sekadar transfer pengetahuan. Literasi emosi bagian dari proses pembebasan ini—membuat individu tidak mudah diperbudak propaganda.

Tips Praktis bagi Peserta Aksi

Bagi yang turun ke jalan, ada langkah sederhana agar tidak hanyut dalam arus emosi demo:

  • Kenali tujuan pribadi: tanyakan pada diri sendiri, “Mengapa saya ikut demo ini?”
  • Jangan mudah percaya teriakan: bedakan antara fakta dan retorika.
  • Cari penyeimbang: pergi bersama teman yang kritis, agar bisa saling mengingatkan.
  • Gunakan logika sebelum aksi spontan: tanyakan, “Apakah tindakan ini membantu tujuan atau malah merusak citra?”
  • Ingat perubahan butuh strategi: revolusi emosional tanpa arah sering berakhir sia-sia.
Baca Juga  Demo, Hak Sipil, dan Konspirasi: Antara Kebebasan dan Kerusakan Negara

Tips ini bukan untuk melemahkan semangat perjuangan, melainkan menjaga agar energi massa tidak dimanfaatkan oleh pihak yang hanya ingin memancing kerusuhan.

Penutup – Emosi: Propaganda atau Perjuangan Tergantung Cara Kita Mengelola

Emosi dalam demo adalah pedang bermata dua. Ia bisa menjadi kekuatan luar biasa yang mendorong perubahan sosial, namun juga bisa menjadi alat manipulasi yang berujung pada kerusuhan. Propaganda emosional dan agitasi politik selalu ada di setiap pergerakan massa, tinggal bagaimana individu menyikapinya.

Seperti dikatakan Le Bon lebih dari seabad lalu, massa bisa menjadi bijak sekaligus brutal. Tantangan kita adalah memastikan bahwa energi massa dikelola dengan kesadaran, bukan manipulasi.

Pesan akhirnya sederhana: “Demo tanpa kesadaran hanyalah keramaian, demo dengan kesadaran bisa jadi sejarah.”

FAQ – Emosi Massa dalam Demo

1. Apa yang dimaksud dengan emosi demo?

Emosi demo adalah perasaan kolektif yang muncul dalam kerumunan saat aksi massa berlangsung, biasanya berupa kemarahan, semangat perjuangan, atau solidaritas yang menular antarindividu.

2. Bagaimana propaganda emosional bekerja dalam demo?

Propaganda emosional bekerja dengan memanfaatkan simbol, orasi, dan narasi emosional untuk menggerakkan massa, seringkali tanpa data atau fakta yang kuat.

3. Mengapa orang rasional bisa ikut rusuh dalam demo?

Hal ini dijelaskan oleh teori deindividuasi (Zimbardo, 1969), yaitu hilangnya identitas personal dalam kerumunan sehingga orang berani melakukan hal-hal yang biasanya tidak akan mereka lakukan.

4. Apa hubungan agitasi politik dengan emosi massa?

Agitasi politik memperbesar perasaan ketidakadilan atau kemarahan, sehingga emosi massa lebih mudah diarahkan untuk mendukung agenda tertentu.

5. Bagaimana cara agar tidak mudah terprovokasi dalam demo?

Beberapa cara antara lain: mengenali tujuan pribadi, tidak mudah percaya pada seruan tanpa fakta, membawa teman kritis, dan berpikir logis sebelum bertindak.

6. Apakah semua emosi dalam demo buruk?

Tidak. Emosi bisa menjadi energi positif jika dikelola dengan kesadaran. Emosi kolektif dapat memperkuat solidaritas dan mendorong perubahan sosial yang damai.

Leave a Reply