[Cirebonrayajeh.com – Parliament House Singapura] Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, dan Perdana Menteri Singapura, Lawrence Wong, menyampaikan komitmen bersama untuk mendorong penyelesaian damai terhadap berbagai konflik internasional yang tengah berlangsung. Hal ini disampaikan dalam konferensi pers resmi usai pertemuan tahunan Leaders’ Retreat yang berlangsung di Parliament House, Singapura.
Dalam pernyataannya, Presiden Prabowo menekankan bahwa Indonesia dan Singapura memiliki keprihatinan mendalam terhadap eskalasi konflik di Timur Tengah, khususnya di wilayah Gaza, serta meningkatnya ketegangan antara Iran dan Israel. “Kami membahas masalah regional dan global. Kami menyatakan keprihatinan mendalam atas situasi di Gaza dan eskalasi konflik Israel–Iran. Kami menekankan pentingnya solusi damai, negosiasi, dan menyerukan gencatan senjata segera,” ujar Presiden Prabowo di hadapan media internasional.
Tak hanya itu, kedua pemimpin juga menyuarakan kepedulian atas krisis yang terus berlarut di Myanmar sejak kudeta militer pada 2021. Presiden Prabowo menyampaikan bahwa Indonesia dan Singapura mendukung keterlibatan konstruktif demi tercapainya solusi damai di Myanmar. “Kami sepakat bahwa penting untuk berkonsentrasi pada keterlibatan dan hasil yang damai di Myanmar,” ungkapnya.
Sementara itu, Perdana Menteri Lawrence Wong menegaskan bahwa Singapura tetap berkomitmen memperkuat kerja sama kawasan bersama negara-negara ASEAN. “Sebagai anggota pendiri ASEAN, kami akan terus bekerja sama dengan sesama negara anggota untuk memperkuat kawasan dan menegakkan sistem multilateral yang berbasis aturan,” katanya.
Pertemuan tersebut mencerminkan semangat multilateralisme dan kolaborasi regional dalam menghadapi tantangan geopolitik. Dalam pernyataan bersama, kedua pemimpin menegaskan bahwa Indonesia dan Singapura memiliki peran strategis dalam menjaga stabilitas kawasan dan tatanan internasional berbasis hukum (rule-based international order).
Langkah diplomatik ini menjadi salah satu agenda penting Presiden Prabowo dalam debut hubungan luar negerinya sejak resmi menjabat pada Oktober 2024. Singapura sebagai negara tetangga yang memiliki hubungan ekonomi dan politik erat dengan Indonesia menjadi lokasi strategis bagi Prabowo untuk menyampaikan pesan global pertamanya sebagai kepala negara.
Dari sisi substansi, pernyataan ini memperlihatkan kehati-hatian diplomatik Indonesia dan Singapura. Tidak ada kecaman langsung terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, melainkan penekanan pada perdamaian, diplomasi, dan gencatan senjata. Pendekatan ini konsisten dengan posisi ASEAN yang cenderung menghindari konfrontasi langsung, namun tetap menjaga posisi moral dalam isu-isu kemanusiaan global.
Pertemuan ini juga mempertegas bahwa ASEAN—melalui Indonesia dan Singapura—masih berusaha memainkan peran aktif dalam konflik di Myanmar, meskipun tekanan internasional terhadap junta militer masih berlangsung. Pernyataan tentang keterlibatan konstruktif menunjukkan upaya menjaga keseimbangan antara prinsip non-intervensi dan tanggung jawab kolektif ASEAN dalam menyelesaikan krisis internal anggotanya.

Kritis-Konstruktif: Diplomasi Damai atau Reposisi Politik Regional?
Pertemuan antara Presiden Prabowo dan PM Wong bukan sekadar rutinitas diplomatik tahunan. Ini merupakan upaya strategis bagi Indonesia untuk memperkuat posisi geopolitiknya di awal masa kepemimpinan Prabowo. Sikap netral dan ajakan damai yang dikedepankan menunjukkan bahwa Prabowo ingin membangun legacy sebagai pemimpin yang membawa suara damai di tengah konflik global.
Namun demikian, tantangan utamanya terletak pada konsistensi dan konkretisasi sikap tersebut. Mendorong gencatan senjata di Gaza atau menyerukan keterlibatan damai di Myanmar tidak cukup tanpa langkah nyata, baik berupa inisiatif ASEAN yang lebih kuat, mediasi langsung, atau pengiriman misi kemanusiaan.
Dari sisi politik domestik, ini adalah langkah cerdas untuk memperkuat legitimasi Prabowo sebagai pemimpin yang tidak hanya kuat secara militer, tetapi juga diplomatik. Ia mulai menggeser citranya ke arah “statesman”—seorang negarawan yang tidak hanya berpikir nasional, tetapi juga global.
Solusinya, pemerintah Indonesia perlu mengaktifkan kembali peran diplomasi publik dan diplomasi kemanusiaan secara intensif. Bekerja sama dengan negara-negara sahabat, memperkuat posisi di PBB, dan mendorong reformasi pendekatan ASEAN terhadap krisis internal akan memperkuat posisi Indonesia bukan hanya sebagai pengamat, tetapi penggerak perdamaian.