[Cirebonrayajeh.com, Elit Global Pendidikan] Sejarah pendidikan tidak dapat dilepaskan dari jejak panjang kolonialisme. Pada abad ke-19, kekuatan kolonial bukan hanya mengekspansi wilayah dan ekonomi, tetapi juga mengendalikan pengetahuan melalui sistem pendidikan. Pendidikan dijadikan instrumen untuk membentuk birokrat lokal, mengendalikan ideologi, dan menghasilkan sekelompok kecil elit terdidik yang kemudian memainkan peran global. Fenomena ini melahirkan apa yang disebut oleh banyak sejarawan sebagai elit global pendidikan, yaitu kelompok yang memiliki akses terhadap jaringan pengetahuan internasional dan mampu memengaruhi arah kebijakan pendidikan di berbagai negara.
Identifikasi masalah muncul ketika warisan pendidikan kolonial tersebut masih berlanjut dalam struktur pendidikan modern. Kurikulum, metode pengajaran, bahasa pengantar, hingga hierarki ilmu pengetahuan masih banyak dipengaruhi oleh paradigma kolonial. Hal ini bukan sekadar persoalan historis, tetapi juga menyangkut reproduksi ketimpangan sosial hingga hari ini. Artikel ini berupaya mengurai jejak kolonialisme dalam lahirnya elit global pendidikan sekaligus menawarkan solusi praktis untuk penelitian lebih lanjut.
Latar Belakang Historis
Abad ke-19 dan Masa Kolonialisme
Abad ke-19 sering disebut sebagai “abad imperium.” Kekuasaan kolonial Eropa, terutama Inggris, Belanda, Prancis, dan Spanyol, meluas hampir ke seluruh penjuru dunia. Kolonialisme tidak hanya berfungsi sebagai ekspansi ekonomi, tetapi juga sebagai sarana dominasi budaya. Menurut Benedict Anderson dalam Imagined Communities (1983), penyebaran pendidikan formal pada masa kolonial merupakan salah satu instrumen penting dalam membentuk kesadaran nasional maupun identitas elit terdidik.
Di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, pemerintah kolonial mendirikan sekolah-sekolah yang disesuaikan dengan kebutuhan administratif kolonial. Misalnya, di Hindia Belanda didirikan sekolah-sekolah seperti Europeesche Lagere School (ELS) dan Hollandsch-Inlandsche School (HIS) untuk mencetak pegawai pribumi terpilih. Di India, Inggris mendirikan universitas modern seperti University of Calcutta (1857) dan University of Bombay (1857) yang mencetak birokrat untuk mendukung pemerintahan kolonial.
Dengan demikian, pendidikan kolonial bukan sekadar transfer ilmu pengetahuan, melainkan upaya sistematis membangun struktur sosial baru. Elit terdidik yang lahir dari sistem ini kemudian menjadi perantara antara masyarakat lokal dan pemerintah kolonial.
Kolonialisme Pendidikan
Pendidikan kolonial didesain dengan visi politik jangka panjang: menciptakan “kelas perantara” yang loyal pada kekuasaan kolonial. Lord Macaulay, seorang intelektual Inggris, dalam Minute on Education (1835), secara gamblang menyatakan tujuan pendidikan kolonial di India adalah membentuk “a class of persons, Indian in blood and colour, but English in taste, in opinions, in morals, and in intellect.”
Kurikulum kolonial menekankan literatur Barat, hukum kolonial, serta bahasa Eropa sebagai sarana utama pendidikan. Pengetahuan lokal dianggap inferior dan tidak layak masuk dalam kurikulum. Dalam konteks ini, pendidikan menjadi sarana ideologis untuk menanamkan nilai-nilai kolonial sekaligus melemahkan epistemologi pribumi.
Jejak Kolonialisme dalam Struktur Pendidikan Global
Kurikulum Kolonial dan Pewarisan Nilai
Warisan kurikulum kolonial masih terasa hingga kini. Menurut Gauri Viswanathan dalam bukunya Masks of Conquest (1989), literatur kolonial bukan hanya sarana pendidikan, tetapi juga medium hegemoni. Kurikulum yang menekankan pada karya sastra dan sejarah Eropa membentuk cara berpikir elit terdidik, sehingga menempatkan Barat sebagai standar utama ilmu pengetahuan.
Di banyak negara pascakolonial, kurikulum masih memprioritaskan bahasa kolonial sebagai bahasa pengantar pendidikan tinggi, seperti bahasa Inggris di India, bahasa Prancis di Afrika Barat, dan bahasa Belanda di Indonesia hingga pertengahan abad ke-20. Hal ini menjadikan bahasa kolonial bukan hanya alat komunikasi, melainkan simbol status sosial.
Akibatnya, pendidikan tidak netral. Ia membentuk struktur hierarkis di mana elit terdidik lebih dekat dengan jaringan global, sementara masyarakat lokal tertinggal.
Pendidikan Tinggi dan Keterlibatan Elit Global
Universitas kolonial adalah ruang lahirnya elit global pendidikan. Menurut Ashis Nandy dalam The Intimate Enemy (1983), pendidikan kolonial melahirkan kelompok intelektual yang memiliki identitas ambivalen: mereka memahami budaya lokal tetapi berpikir dalam kerangka kolonial.
Jaringan beasiswa dan studi ke Eropa juga memperkuat keterlibatan elit global. Misalnya, banyak tokoh pergerakan nasional Indonesia seperti Soetomo, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir menempuh pendidikan tinggi di Belanda. Di India, tokoh-tokoh seperti Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi belajar di Inggris. Mereka kemudian membawa gagasan global ke dalam perjuangan nasional.
Dengan demikian, kolonialisme secara paradoksal tidak hanya mencetak birokrat kolonial, tetapi juga melahirkan intelektual kritis yang berperan dalam pembentukan bangsa modern.
Dampak Jangka Panjang
Ketimpangan Akses Pendidikan
Warisan kolonial melahirkan sistem pendidikan yang eksklusif. Elit global yang terbentuk melalui akses pendidikan kolonial terus mereproduksi posisinya. Menurut penelitian Pierre Bourdieu dalam Reproduction in Education, Society and Culture (1977), pendidikan berfungsi sebagai mekanisme reproduksi sosial. Elit terdidik menggunakan modal budaya dan sosial untuk mempertahankan statusnya, sementara kelompok masyarakat lain sulit menembus akses tersebut.
Di negara-negara pascakolonial, perbedaan akses pendidikan masih terlihat jelas. Mereka yang memiliki akses ke pendidikan berbahasa kolonial lebih mudah menembus jaringan global, memperoleh beasiswa internasional, dan menduduki posisi penting. Hal ini memperkuat struktur elit global pendidikan hingga era kontemporer.
Hierarki Ilmu Pengetahuan
Dominasi epistemologi Barat adalah warisan lain kolonialisme. Sejarawan Walter Mignolo dalam The Darker Side of Western Modernity (2011) menyebut fenomena ini sebagai “coloniality of knowledge.” Artinya, meski kolonialisme politik telah berakhir, struktur pengetahuan Barat masih mendominasi wacana akademis global.
Ilmu-ilmu sosial, sejarah, dan filsafat di banyak negara masih sangat bergantung pada paradigma Eropa. Pengetahuan lokal sering kali dianggap tidak ilmiah atau tradisional. Hal ini menimbulkan hierarki pengetahuan yang membuat ilmuwan dari negara pascakolonial sulit memperoleh pengakuan internasional tanpa mengikuti standar Barat.
Solusi Praktis untuk Peneliti
Dekolonisasi Kurikulum
Langkah awal adalah melakukan dekolonisasi kurikulum. Menurut Ngũgĩ wa Thiong’o dalam Decolonising the Mind (1986), bahasa dan kurikulum adalah arena utama perjuangan intelektual. Peneliti perlu mengkaji ulang kurikulum pendidikan yang masih berakar pada paradigma kolonial. Misalnya, dengan memasukkan karya sastra lokal, sejarah tradisional, dan pengetahuan asli ke dalam silabus.
Dekolonisasi tidak berarti menolak pengetahuan Barat sepenuhnya, melainkan membangun keseimbangan epistemologis. Hal ini dapat dilakukan dengan memperbanyak riset komparatif antara pengetahuan lokal dan global.
Rekonstruksi Narasi Sejarah
Solusi kedua adalah merekonstruksi narasi sejarah pendidikan. Penelitian historis sering kali masih bias terhadap sumber kolonial. Peneliti perlu menggali sumber primer dari masyarakat lokal, arsip pribumi, tradisi lisan, dan catatan non-kolonial untuk menyeimbangkan perspektif.
Contohnya, penelitian tentang pendidikan pribumi di Nusantara sering kali hanya mengacu pada arsip Belanda. Padahal, terdapat catatan pendidikan pesantren, surau, dan madrasah yang berkembang mandiri di luar kontrol kolonial. Mengintegrasikan perspektif ini akan menghasilkan sejarah pendidikan yang lebih utuh.
Penerapan Analisis Interdisipliner
Solusi ketiga adalah memperluas pendekatan metodologis. Pendidikan kolonial tidak hanya soal sejarah, tetapi juga terkait politik, ekonomi, dan budaya. Oleh karena itu, peneliti dapat menggunakan pendekatan interdisipliner: menghubungkan kajian sejarah dengan teori kritis, sosiologi, hingga antropologi.
Selain itu, metode Systematic Literature Review (SLR) dapat menjadi strategi penting untuk merangkum penelitian terdahulu, mengidentifikasi celah, dan menyusun arah baru penelitian. Dengan begitu, studi tentang sejarah elit global akan lebih solid secara akademis dan relevan untuk konteks kontemporer.
Penutup
Kolonialisme abad ke-19 membentuk fondasi sistem pendidikan modern yang masih memengaruhi struktur elit global hingga hari ini. Melalui pendidikan kolonial, kurikulum, bahasa, dan epistemologi Barat ditanamkan secara sistematis, mencetak elit terdidik yang kemudian mendominasi jaringan global. Dampaknya adalah ketimpangan akses pendidikan serta hierarki pengetahuan yang masih berlaku hingga kini.
Namun demikian, warisan kolonial juga melahirkan paradoks: di satu sisi memperkuat dominasi Barat, di sisi lain mencetak intelektual kritis yang kemudian memimpin gerakan kemerdekaan dan transformasi pendidikan di negara-negara pascakolonial.
Bagi peneliti, langkah strategis adalah melakukan dekolonisasi kurikulum, merekonstruksi narasi sejarah, dan menerapkan analisis interdisipliner. Dengan cara ini, studi tentang sejarah elit global tidak hanya bersifat retrospektif, tetapi juga memberikan solusi praktis untuk membangun sistem pendidikan yang lebih adil, inklusif, dan reflektif terhadap pengetahuan lokal.
FAQ: Jejak Kolonialisme dalam Lahirnya Elit Global Pendidikan
1. Apa yang dimaksud dengan elit global pendidikan?
Elit global pendidikan adalah kelompok terdidik yang memiliki akses terhadap pendidikan berkualitas, sering kali berakar dari sistem kolonial, dan terhubung dengan jaringan internasional. Mereka memainkan peran penting dalam pembentukan kebijakan pendidikan, baik di tingkat nasional maupun global.
2. Bagaimana kolonialisme memengaruhi kurikulum pendidikan di negara jajahan?
Kolonialisme menerapkan kurikulum kolonial yang berorientasi pada kepentingan administrasi kolonial. Kurikulum tersebut menekankan bahasa kolonial, literatur Eropa, serta sistem nilai Barat. Pengetahuan lokal dianggap inferior dan jarang masuk ke dalam sistem pendidikan formal.
3. Apa contoh konkret warisan kolonial dalam pendidikan modern?
Contoh paling jelas adalah penggunaan bahasa kolonial sebagai bahasa pengantar pendidikan tinggi, seperti bahasa Inggris di India, bahasa Prancis di Afrika Barat, atau bahasa Belanda di Indonesia pada awal abad ke-20. Selain itu, struktur universitas, standar akademik, dan hierarki ilmu pengetahuan juga masih mencerminkan paradigma kolonial.
4. Mengapa penting melakukan dekolonisasi kurikulum?
Dekolonisasi kurikulum penting untuk menyeimbangkan perspektif pengetahuan. Saat ini, banyak sistem pendidikan masih bias terhadap epistemologi Barat. Dengan dekolonisasi, pengetahuan lokal, sejarah pribumi, dan tradisi intelektual non-Barat dapat diintegrasikan, sehingga menghasilkan kurikulum yang lebih inklusif dan relevan bagi masyarakat setempat.
5. Bagaimana peneliti dapat merekonstruksi narasi sejarah pendidikan?
Peneliti perlu menggali sumber-sumber alternatif di luar arsip kolonial, seperti catatan lokal, tradisi lisan, dokumen komunitas, serta manuskrip keagamaan atau pendidikan tradisional. Pendekatan interdisipliner juga dapat membantu, misalnya menghubungkan sejarah dengan antropologi, sosiologi, atau teori postkolonial.
6. Apa hubungan kolonialisme dengan ketimpangan akses pendidikan saat ini?
Warisan kolonial membentuk sistem pendidikan yang elitis dan eksklusif. Mereka yang memiliki akses pada pendidikan kolonial (dan kemudian pendidikan global) lebih mudah memperoleh status sosial dan posisi strategis. Hal ini masih berlanjut hingga kini dalam bentuk kesenjangan akses terhadap sekolah elit, beasiswa internasional, dan universitas global.
7. Bagaimana pendekatan SLR (Systematic Literature Review) dapat digunakan dalam penelitian sejarah pendidikan?
SLR membantu peneliti mengumpulkan, mengklasifikasikan, dan menganalisis literatur terkait topik tertentu secara sistematis. Dalam konteks sejarah elit global pendidikan, SLR dapat digunakan untuk mengidentifikasi tren penelitian, celah kajian, serta membangun kerangka teoritis yang lebih kokoh dan objektif.