Media Global: Mesin Agenda Elit dalam Pendidikan

Analisis kritis bagaimana media global membentuk narasi pendidikan, mengarahkan kurikulum, dan menjadi alat propaganda elit.

Elite Global10 Views
Asrama Al Barri Ponpes Gedongan Cirebon
Asrama Al Barri Ponpes Gedongan Cirebon

[Cirebonrayajeh.com, Elite Global Pendidikan] Di era globalisasi, media global memegang peran dominan dalam membentuk opini publik. Tidak hanya dalam bidang politik dan ekonomi, tetapi juga dalam sektor pendidikan. Narasi tentang kurikulum, standar internasional, hingga isu pemerataan akses belajar sering kali ditampilkan dalam bingkai yang sudah dipilih dengan cermat oleh aktor-aktor berkepentingan.

Pendidikan, sebagai salah satu fondasi peradaban, menjadi target empuk untuk dipolitisasi. Elit global memanfaatkan media sebagai mesin propaganda untuk menanamkan ideologi tertentu, yang pada akhirnya memengaruhi kebijakan kurikulum di berbagai negara. Seperti diungkapkan Noam Chomsky (2002) dalam Media Control: The Spectacular Achievements of Propaganda, media bukan sekadar penyampai berita, melainkan alat untuk “mengatur kesadaran”.

Bagi jurnalis, memahami cara kerja framing isu pendidikan yang dilakukan media global sangat penting. Sebab, liputan yang tampak netral bisa saja sarat dengan propaganda elit yang menyingkirkan konteks lokal. Pertanyaannya, bagaimana sebenarnya media global mengarahkan isu pendidikan? Dan langkah apa yang bisa dilakukan jurnalis agar tidak terjebak dalam arus propaganda?

Identifikasi Masalah – Media Global dan Agenda Tersembunyi

Sebelum mencari solusi, penting untuk mengenali masalah mendasar: bagaimana media global tidak sekadar memberitakan, melainkan membingkai isu pendidikan sesuai agenda tertentu. Fenomena ini dapat dilihat dari tiga aspek: media sebagai alat legitimasi, praktik framing, dan propaganda elit.

Media sebagai Alat Legitimasi Kekuasaan

Media global kerap menjadi alat legitimasi kekuasaan. Edward S. Herman dan Noam Chomsky dalam Manufacturing Consent (1988) menyebutkan bahwa media besar berfungsi sebagai sistem propaganda, di mana berita disaring berdasarkan kepentingan ekonomi-politik pemilik modal.

Dalam konteks pendidikan, legitimasi ini terlihat pada cara media internasional menampilkan kurikulum negara tertentu sebagai “model terbaik”. Misalnya, laporan OECD tentang Programme for International Student Assessment (PISA) sering dikutip media global untuk menilai kualitas pendidikan nasional. Namun, di balik data itu terdapat narasi: negara-negara yang tidak sesuai standar dianggap tertinggal dan perlu “mengikuti” sistem pendidikan dominan.

Framing Isu Pendidikan

Framing adalah teknik menentukan sudut pandang atas sebuah isu. Menurut Robert Entman (1993), framing berfungsi untuk “memilih aspek tertentu dari realitas dan membuatnya lebih menonjol dalam teks komunikasi”.

Baca Juga  Demo, Hak Sipil, dan Konspirasi: Antara Kebebasan dan Kerusakan Negara

Dalam isu pendidikan, framing tampak jelas pada liputan kurikulum. Misalnya, istilah “reformasi kurikulum” sering dipakai media global untuk mendukung perubahan sesuai standar internasional, padahal bisa jadi perubahan tersebut tidak sesuai kebutuhan lokal. Di sini muncul framing kurikulum: pendidikan dianggap perlu distandarkan demi daya saing global, bukan demi kearifan lokal.

Propaganda Elit dalam Narasi Pendidikan

Lebih jauh, propaganda elit menyusup melalui media dengan menekankan narasi tertentu. Misalnya, digitalisasi pendidikan sering dipromosikan sebagai jalan menuju kesetaraan, padahal dalam praktiknya bisa memperdalam kesenjangan karena akses teknologi tidak merata.

Penelitian Spring (2015) dalam Globalization of Education menunjukkan bahwa lembaga internasional seperti World Bank dan UNESCO memiliki agenda tersembunyi dalam mendorong kurikulum global. Media menjadi saluran utama untuk meyakinkan publik bahwa agenda itu positif, meski sering kali mengabaikan konteks sosial, budaya, dan ekonomi negara tertentu.

Analisis – Bagaimana Media Global Mengarahkan Isu Pendidikan

Setelah masalah teridentifikasi, langkah berikutnya adalah memahami mekanisme yang digunakan media global untuk mengarahkan isu pendidikan. Hal ini mencakup agenda setting, pengaruh terhadap kebijakan kurikulum, serta konsekuensi jangka panjang.

Mekanisme Agenda Setting

Agenda setting adalah konsep yang menjelaskan bagaimana media tidak memberi tahu kita apa yang harus dipikirkan, tetapi apa yang harus dipikirkan tentang. Teori ini diperkenalkan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw (1972).

Dalam isu pendidikan, media global mengangkat topik tertentu berulang kali sehingga menjadi perhatian publik. Contoh nyata adalah narasi “krisis literasi” yang diangkat UNESCO. Media global menyorot rendahnya kemampuan membaca anak-anak di negara berkembang, namun jarang membahas akar struktural seperti ketidakadilan distribusi sumber daya pendidikan.

Pengaruh Terhadap Kebijakan Kurikulum

Media global juga memengaruhi pembuat kebijakan. Laporan World Development Report dari Bank Dunia misalnya, sering dikutip oleh media internasional untuk menekankan pentingnya investasi dalam STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics). Akibatnya, banyak negara terburu-buru mengadopsi kurikulum berbasis STEM demi mengejar “tren global”, meskipun kesiapan infrastruktur lokal masih minim.

Studi Rizvi & Lingard (2010) dalam Globalizing Education Policy menunjukkan bahwa tekanan global melalui media dan lembaga internasional telah mengikis kedaulatan negara dalam menentukan arah pendidikan.

Konsekuensi bagi Dunia Pendidikan

Konsekuensinya cukup serius: kurikulum nasional kehilangan keunikan lokal, dan pendidikan berubah menjadi instrumen homogenisasi budaya. Anak-anak dididik bukan untuk memahami lingkungannya, melainkan untuk memenuhi standar internasional yang didefinisikan elit global.

Baca Juga  Buzzer Politik dan Demo: Mesin Konspirasi Era Digital

Dalam jangka panjang, hal ini bisa menghasilkan generasi yang tercerabut dari akar budaya sendiri. Seperti diperingatkan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), pendidikan yang dibentuk oleh kekuatan eksternal cenderung melanggengkan penindasan alih-alih pembebasan.

Solusi Praktis untuk Jurnalis

Setelah memahami masalah dan mekanismenya, bagian ini menawarkan solusi praktis yang bisa dilakukan jurnalis. Fokusnya adalah bagaimana membongkar bias media global, menyeimbangkan narasi, serta memperkuat literasi publik.

Menerapkan Jurnalisme Kritis

Jurnalis perlu menerapkan pendekatan jurnalisme kritis. Caranya, dengan melakukan analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) sebagaimana dikembangkan Norman Fairclough. Teknik ini membantu membongkar bagaimana bahasa digunakan untuk melanggengkan kekuasaan.

Contoh praktis: ketika media global menulis tentang “reformasi kurikulum digital”, jurnalis harus bertanya: siapa yang diuntungkan? siapa yang dirugikan? siapa yang menentukan standar digitalisasi?

Menghadirkan Perspektif Lokal

Solusi kedua adalah menghadirkan suara lokal. Liputan yang seimbang harus menampilkan pengalaman guru, siswa, dan komunitas. Dengan begitu, publik tidak hanya mendengar narasi global, tetapi juga realitas lapangan.

Penelitian UNESCO (2021) menunjukkan bahwa keterlibatan komunitas lokal dalam perumusan kebijakan pendidikan meningkatkan keberhasilan implementasi hingga 40%. Data ini bisa dipakai jurnalis untuk menguatkan argumen bahwa perspektif lokal sama pentingnya dengan standar global.

Kolaborasi dengan Akademisi

Jurnalis sebaiknya tidak berdiri sendiri. Kolaborasi dengan akademisi pendidikan dapat meningkatkan kualitas liputan. Akademisi dapat menyediakan data empiris, riset lapangan, dan analisis kritis yang jarang muncul di media arus utama.

Seperti dicatat oleh Giroux (2011) dalam On Critical Pedagogy, kerja sama antara media dan akademisi bisa menjadi tandingan terhadap dominasi wacana neoliberal dalam pendidikan.

Literasi Media untuk Publik

Akhirnya, jurnalis memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan literasi media publik. Artikel analisis, rubrik edukatif, hingga kampanye literasi dapat membantu masyarakat membedakan antara informasi edukatif dan propaganda elit.

Menurut data European Media Literacy Index (2022), negara dengan tingkat literasi media tinggi cenderung lebih kritis terhadap narasi global, termasuk di sektor pendidikan. Dengan kata lain, literasi publik adalah benteng terakhir melawan manipulasi media global.

Penutup

Media global memainkan peran sentral dalam membingkai isu pendidikan sesuai agenda elit. Melalui mekanisme agenda setting, framing, dan propaganda, media dapat memengaruhi kurikulum dan arah kebijakan pendidikan nasional.

Baca Juga  Brain Drain: Bagaimana Elit Global Menciptakan Migrasi Akademik Massal

Namun, jurnalis memiliki posisi strategis untuk menantang dominasi narasi global. Dengan jurnalisme kritis, menghadirkan perspektif lokal, bekerja sama dengan akademisi, dan memperkuat literasi publik, media lokal bisa menjadi penyeimbang.

Seperti kata Chomsky, “Jika kita tidak mengendalikan media, maka media yang akan mengendalikan kita.” Pendidikan adalah ruang perlawanan terakhir: apakah ia akan menjadi alat pembebasan atau mesin penjinakan elit, sangat ditentukan oleh siapa yang menguasai narasi.

FAQ: Media Global dan Agenda Pendidikan

1. Apa yang dimaksud dengan media global dalam konteks pendidikan?

Media global adalah jaringan media internasional yang memiliki pengaruh lintas negara dalam membentuk opini publik. Dalam pendidikan, mereka sering mempromosikan standar kurikulum, ranking, dan model pembelajaran tertentu yang dianggap “universal”.

2. Bagaimana bentuk propaganda elit dalam isu pendidikan?

Propaganda elit muncul ketika narasi pendidikan disusun untuk mendukung kepentingan politik dan ekonomi tertentu. Contohnya adalah dorongan masif digitalisasi pendidikan tanpa memperhitungkan kesenjangan teknologi antarwilayah.

3. Apa itu framing kurikulum?

Framing kurikulum adalah cara media membingkai isu kurikulum agar tampak positif atau negatif. Misalnya, perubahan kurikulum disebut “reformasi” seakan otomatis lebih baik, padahal bisa jadi hanya penyesuaian pada agenda global.

4. Bagaimana media global mengarahkan isu pendidikan?

Media global menggunakan mekanisme agenda setting: mereka mengangkat isu tertentu berulang kali sehingga publik menganggapnya penting. Misalnya, ranking PISA sering dipakai untuk menekan pemerintah agar menyesuaikan kurikulum.

5. Apa dampak dominasi media global terhadap pendidikan lokal?

Dampaknya adalah hilangnya kedaulatan kurikulum nasional. Pendidikan lokal cenderung meniru standar global tanpa mempertimbangkan kebutuhan budaya, sosial, dan ekonomi setempat.

6. Bagaimana jurnalis bisa membongkar bias media global?

Jurnalis dapat menerapkan analisis wacana kritis (CDA), berkolaborasi dengan akademisi, serta menghadirkan suara lokal. Dengan begitu, liputan menjadi lebih seimbang dan tidak hanya mengikuti narasi elit.

7. Mengapa literasi media penting dalam melawan propaganda elit?

Literasi media membantu publik membedakan antara informasi edukatif dengan propaganda terselubung. Penelitian menunjukkan bahwa masyarakat dengan literasi media tinggi lebih kritis dalam menyikapi narasi global.

8. Apa peran jurnalis dalam menjaga kedaulatan pendidikan?

Jurnalis berperan sebagai pengawas narasi: memastikan isu pendidikan tidak hanya didefinisikan oleh media global, tetapi juga mencerminkan realitas dan kebutuhan masyarakat lokal.

Leave a Reply