[Cirebonrayajeh.com – Pendidikan] Pendidikan madrasah merupakan salah satu warisan penting dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Sejak masa awal kemerdekaan, madrasah telah berfungsi sebagai lembaga yang tidak hanya mentransmisikan ilmu agama, tetapi juga mempersiapkan generasi untuk menghadapi tantangan zaman. Seiring berkembangnya sistem pendidikan nasional, muncul perdebatan: perlukah madrasah terintegrasi penuh ke dalam sistem pendidikan nasional, atau sebaiknya tetap mempertahankan identitas mandirinya sebagai sekolah Islam?
Dalam bingkai Khittah Nahdlatul Ulama 1926, madrasah dipandang sebagai instrumen sosial-keagamaan yang harus berdiri di atas prinsip maslahat, ukhuwah, dan kemandirian umat. Integrasi madrasah dengan sistem nasional tidak bisa hanya dilihat dari sisi administratif, melainkan juga dari aspek ideologi pendidikan: bagaimana menjaga ruh keislaman sembari memenuhi standar kompetensi nasional.
Artikel ini mencoba meninjau secara mendalam kebijakan integrasi madrasah, problematika yang muncul, serta solusi praktis berdasarkan riset dan pandangan para ahli. Dengan pendekatan Policy Review, artikel ini diharapkan memberi manfaat bagi santri, guru, dan orang tua yang terlibat langsung dalam dinamika pendidikan madrasah.
Pendidikan Madrasah dalam Konteks Sejarah dan Identitas
Sebelum membicarakan integrasi, penting untuk memahami akar sejarah dan identitas madrasah di Indonesia. Madrasah lahir dari tradisi pesantren, yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan non-formal berbasis kitab kuning. Perubahan ke madrasah dimulai pada awal abad ke-20, ketika ulama dan tokoh Muslim merasa perlu menyesuaikan pendidikan Islam dengan perkembangan zaman modern.
Menurut Azyumardi Azra (2002), madrasah di Indonesia lahir sebagai respons terhadap sistem sekolah kolonial Belanda yang sekuler. Ulama memandang perlunya sistem pendidikan yang menggabungkan ilmu agama (ulumuddin) dengan ilmu umum (ulum al-dunya), sehingga lahirlah madrasah sebagai lembaga formal dengan nuansa Islam yang kuat.
Akar Sejarah Madrasah di Indonesia
KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, menekankan bahwa pendidikan harus berlandaskan pada al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil hal baru yang lebih baik). Prinsip ini menjadi dasar dalam pengembangan madrasah: tidak menolak kemodernan, tetapi tetap menjaga nilai-nilai Islam.
Madrasah awalnya berdiri mandiri, dibiayai masyarakat, dan dikelola oleh kiai. Seiring waktu, muncul regulasi negara yang memasukkan madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional. Namun, akar kulturalnya sebagai lembaga Islam tetap melekat, menjadikannya berbeda dari sekolah umum.
Perbedaan Madrasah dan Sekolah Umum
Perbedaan mendasar antara madrasah dan sekolah umum terletak pada kurikulum. Di madrasah, porsi pendidikan agama mencapai 30–40% dari total kurikulum, sementara sekolah umum hanya 10–15%. Madrasah menekankan pembentukan akhlak dan karakter Islami, di samping penguasaan ilmu pengetahuan modern.
Madrasah juga menjadi simbol identitas umat Islam di Indonesia. Sebuah survei Kementerian Agama tahun 2021 mencatat, lebih dari 9 juta siswa terdaftar di madrasah (MI, MTs, MA). Jumlah ini menunjukkan bahwa madrasah bukan lembaga kecil, melainkan salah satu pilar utama pendidikan nasional.
Kebijakan Integrasi Madrasah dalam Sistem Pendidikan Nasional
Dalam konteks kebijakan publik, madrasah masuk ke dalam sistem pendidikan nasional melalui UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pasal 17 menegaskan bahwa madrasah diakui sebagai bagian dari pendidikan dasar dan menengah, setara dengan sekolah umum. Namun, pengelolaannya tetap berada di bawah Kementerian Agama (Kemenag).
Kebijakan ini lahir dari kebutuhan harmonisasi. Negara menginginkan standarisasi mutu pendidikan, sementara umat Islam berharap madrasah tetap memiliki identitas religius. Namun, integrasi ini memunculkan tantangan serius yang perlu dibahas secara kritis.
Kebijakan Kemenag dan Pemerintah
Sejak awal 1970-an, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan kurikulum madrasah dengan sekolah umum. Salah satu tonggak penting adalah SKB 3 Menteri (1975) yang menetapkan kesetaraan ijazah madrasah dengan sekolah umum. Artinya, lulusan madrasah dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi tanpa diskriminasi.
Menurut Prof. Imam Tholkhah (2017), integrasi ini berhasil membuka akses luas bagi lulusan madrasah. Namun, ia juga mengingatkan bahwa kesetaraan administratif belum tentu diikuti kesetaraan kualitas.
Tantangan Integrasi
Beberapa tantangan utama integrasi antara lain:
- Kurikulum ganda: Madrasah harus mengajarkan kurikulum nasional dan kurikulum agama sekaligus, membuat beban belajar siswa lebih berat.
- Kualitas guru: Masih banyak guru agama yang belum mendapatkan pelatihan pedagogis modern.
Anggaran terbatas: Dana BOS untuk madrasah relatif lebih kecil dibanding sekolah umum. Data BPS (2022) mencatat, 60% madrasah swasta masih bergantung pada iuran masyarakat.
Identifikasi Masalah yang Dihadapi Madrasah
Meskipun integrasi telah berjalan puluhan tahun, banyak persoalan mendasar yang tetap menghantui madrasah. Identifikasi masalah ini penting sebagai landasan penyusunan solusi yang realistis.
Kesenjangan Kualitas Pendidikan
Studi World Bank (2018) menunjukkan bahwa kualitas literasi dan numerasi siswa madrasah masih tertinggal dibandingkan sekolah umum. Hal ini bukan berarti siswa madrasah tidak cerdas, melainkan karena keterbatasan fasilitas dan sumber daya.
Selain itu, stigma “madrasah sekolah kelas dua” masih melekat di sebagian masyarakat. Pandangan ini ironis, mengingat banyak alumni madrasah yang sukses di berbagai bidang.
Akses dan Fasilitas
Madrasah di perkotaan relatif maju, dengan fasilitas laboratorium dan akses internet yang cukup. Namun, di daerah pedesaan, banyak madrasah masih kekurangan ruang kelas, buku, bahkan listrik. Laporan Balitbang Kemenag (2020) mencatat, lebih dari 40% madrasah swasta belum memiliki perpustakaan standar.
Relevansi dengan Dunia Modern
Tantangan terbesar madrasah adalah menyiapkan lulusan yang siap menghadapi era digital. Dalam survei Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan (2021), hanya 25% guru madrasah yang rutin menggunakan teknologi digital dalam pembelajaran. Padahal, keterampilan digital menjadi syarat utama di pasar kerja global.
Solusi Praktis Integrasi Madrasah dengan Sistem Nasional
Untuk menjawab tantangan tersebut, diperlukan solusi praktis yang dapat dijalankan baik oleh pemerintah, pengelola madrasah, maupun masyarakat. Solusi ini tetap harus berpegang pada prinsip Khittah NU 1926: menjaga kemandirian umat sekaligus beradaptasi dengan modernitas.
Penguatan Kurikulum Integratif
Kurikulum madrasah perlu dirancang lebih integratif, tidak sekadar menambah beban. Misalnya, materi sains dapat dikaitkan dengan nilai-nilai Islam, sehingga pembelajaran lebih bermakna. Menurut Prof. M. Amin Abdullah (2019), integrasi ilmu harus berbasis interkoneksi epistemologis, bukan sekadar penjumlahan pelajaran.
Peningkatan Kompetensi Guru
Guru adalah ujung tombak integrasi. Pemerintah perlu memperluas program Pendidikan Profesi Guru (PPG) khusus madrasah, serta menyediakan beasiswa untuk studi lanjut. Selain itu, pelatihan digital bagi guru madrasah harus diprioritaskan agar mereka bisa mengajar dengan metode modern.
Kolaborasi Pemerintah dan Masyarakat
Integrasi tidak akan berhasil tanpa kolaborasi. Pemerintah harus meningkatkan dana BOS untuk madrasah, sementara masyarakat (termasuk NU, Muhammadiyah, dan ormas Islam lainnya) perlu memperkuat dukungan sosial dan finansial. Model Madrasah Plus yang dikembangkan di Jawa Timur—hasil kolaborasi Kemenag dan pesantren—dapat menjadi contoh sukses.
Digitalisasi Madrasah
Era digital tidak bisa dihindari. Madrasah perlu mengembangkan platform e-learning, perpustakaan digital, dan aplikasi manajemen kelas. Program Madrasah Digital 4.0 yang diluncurkan Kemenag tahun 2021 harus diperluas hingga ke daerah terpencil. Dengan begitu, madrasah tidak hanya mengejar ketertinggalan, tetapi bisa menjadi pelopor pendidikan Islam berbasis teknologi.
Perspektif Islam tentang Integrasi Pendidikan
Dalam perspektif Islam, pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi juga pembentukan akhlak. Integrasi madrasah dengan sistem nasional tidak boleh menghilangkan identitas keislamannya.
Menjaga Identitas Keislaman
Al-Qur’an menegaskan pentingnya pendidikan yang membentuk insan kamil: “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Artinya, tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang berilmu sekaligus bertakwa.
Dengan demikian, madrasah harus tetap menjadi benteng nilai Islam, meski berintegrasi dengan sistem nasional. Identitas ini adalah ruh yang membedakan madrasah dari sekolah umum.
Harmonisasi Ilmu Agama dan Umum
Para ulama NU sejak dulu menekankan bahwa ilmu agama dan ilmu umum tidak boleh dipisahkan. KH. Wahid Hasyim (Menteri Agama pertama) merancang madrasah modern yang memadukan keduanya. Dalam pandangan beliau, ilmu agama tanpa ilmu umum melahirkan fanatisme sempit, sementara ilmu umum tanpa agama melahirkan sekularisme kering.
Oleh karena itu, integrasi madrasah bukan sekadar tuntutan kebijakan, melainkan amanah keilmuan dalam Islam itu sendiri.
Penutup
Pendidikan madrasah memiliki posisi strategis dalam membentuk generasi Islam yang berilmu, berakhlak, dan berdaya saing. Integrasi dengan sistem pendidikan nasional adalah keniscayaan, namun harus dilakukan dengan tetap menjaga identitas keislamannya.
Dalam bingkai Khittah NU 1926, integrasi madrasah harus berlandaskan maslahat umat, menjunjung nilai-nilai tradisi, sekaligus terbuka terhadap modernitas.
Solusi praktis yang bisa ditindaklanjuti antara lain:
- Penguatan kurikulum integratif berbasis Islam dan sains.
- Peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan dan beasiswa.
- Kolaborasi pemerintah, ormas Islam, dan masyarakat dalam pendanaan.
- Digitalisasi madrasah sebagai langkah menuju era pendidikan 4.0.
Call to Action
- Guru: terus tingkatkan profesionalisme dan literasi digital.
- Orang tua: dukung anak-anak dengan motivasi, doa, dan fasilitas.
- Santri: jadikan madrasah sebagai jalan meraih ilmu dunia dan akhirat.
Dengan demikian, pendidikan madrasah tidak hanya menjadi bagian dari sistem nasional, tetapi juga penjaga identitas keislaman bangsa di tengah derasnya arus globalisasi.
FAQ
1. Apa perbedaan madrasah dan sekolah umum?
A: Madrasah memiliki porsi pelajaran agama lebih besar (30–40%) dibanding sekolah umum, serta fokus pada pembentukan akhlak Islami.
2. Mengapa madrasah perlu integrasi dengan sistem nasional?
Integrasi diperlukan agar lulusan madrasah memiliki akses setara ke pendidikan tinggi, pengakuan ijazah, dan kompetensi global.
3. Apa tantangan terbesar madrasah saat ini?
Keterbatasan fasilitas, kualitas guru, serta kesenjangan akses teknologi antara madrasah di kota dan desa.
4. Bagaimana solusi praktis untuk meningkatkan mutu madrasah?
Penguatan kurikulum integratif, peningkatan kompetensi guru, kolaborasi pemerintah-masyarakat, dan digitalisasi madrasah.
5. Bagaimana pandangan NU terkait integrasi madrasah?
NU melalui Khittah 1926 menekankan pentingnya menjaga identitas keislaman sambil tetap terbuka pada modernisasi pendidikan.