[Cirebonrayajeh.com – Jakarta] Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto melanjutkan lawatan diplomatiknya dari Singapura ke Rusia pada Senin malam, 16 Juni 2025. Rangkaian kunjungan ini bukan sekadar seremoni kenegaraan, tetapi menandai babak baru diplomasi Indonesia yang lebih aktif, personal, dan strategis dalam percaturan geopolitik global.
Presiden Prabowo lepas landas dari Pangkalan Udara Paya Lebar Air Base, Singapura, sekitar pukul 22.45 waktu setempat, didampingi rombongan terbatas. Keberangkatan ini secara resmi dilepas oleh Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan, Duta Besar Singapura untuk Indonesia Kwok Fook Seng, serta Duta Besar RI untuk Singapura Suryo Pratomo.
Sebelumnya, sejak pagi hari, Presiden Prabowo menjalani sejumlah agenda kenegaraan di Singapura. Dimulai dari upacara penyambutan resmi di Parliament House, beliau disambut langsung oleh Presiden Singapura, Tharman Shanmugaratnam. Agenda kemudian dilanjutkan dengan pertemuan bilateral tahunan Leaders’ Retreat bersama Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong.
Dalam forum tersebut, Prabowo menyebut pertemuan tahun ini sebagai “tonggak penting” dalam perjalanan hubungan bilateral antara Indonesia dan Singapura. Selain memperkuat kerja sama ekonomi, pertemuan itu juga memuat dimensi personal dan budaya. Salah satunya, Presiden Prabowo diberi kesempatan memberi nama anggrek hasil persilangan baru: “Paraphalanthe Dora Sigar Soemitro,” sebagai bentuk penghormatan kepada ibundanya yang telah wafat.
Usai menyelesaikan lawatan dua harinya di Singapura, Prabowo bertolak ke Rusia. Ia diundang langsung oleh Presiden Vladimir Putin untuk melakukan kunjungan kenegaraan dan menjadi pembicara utama dalam St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025—sebuah forum bergengsi yang dihadiri para pemimpin global, ekonom, dan pelaku bisnis strategis.
Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya yang turut mendampingi dalam perjalanan tersebut mengatakan bahwa kunjungan ke Rusia ini sangat strategis. “Ini menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara besar semakin dipandang dunia, terutama di tengah dinamika geopolitik dan ekonomi global yang kian kompleks,” ujarnya.
Forum ekonomi di Rusia akan menjadi ajang penting bagi Indonesia untuk menyuarakan kepentingan nasional dalam ekonomi global yang bertransformasi. Kehadiran Presiden Prabowo sebagai pembicara utama mempertegas posisi Indonesia sebagai pemain sentral di Asia Tenggara yang memiliki daya tawar dalam hubungan Timur-Barat.
Lebih jauh, lawatan ini juga memperkuat pesan bahwa Indonesia tidak memihak secara ideologis, melainkan mementingkan kemitraan yang saling menguntungkan—baik dengan negara-negara Barat seperti Singapura maupun negara-negara Timur seperti Rusia.

Analisis Kritis: Diplomasi Ganda, Tantangan Ganda
Langkah Presiden Prabowo memperkuat posisi Indonesia di panggung internasional patut diapresiasi. Lawatan ke dua negara dengan orientasi geopolitik yang berbeda—Singapura yang pro-Barat dan Rusia yang sedang berkonflik dengan Barat—menunjukkan keberanian dan fleksibilitas diplomasi Indonesia. Ini mencerminkan semangat politik luar negeri bebas aktif yang sejak awal dirumuskan dalam konstitusi.
Namun, langkah ini juga menyimpan tantangan serius. Membangun hubungan setara dengan kedua blok kekuatan dunia memerlukan strategi yang sangat hati-hati agar Indonesia tidak terjebak dalam konflik kepentingan atau dikapitalisasi secara simbolik oleh salah satu pihak. Di sinilah pentingnya membangun legacy diplomasi yang tidak hanya kuat secara simbolik, tetapi juga konkret dalam kerja sama teknologi, pertahanan, dan transformasi ekonomi.
Kritik yang konstruktif perlu diarahkan pada efektivitas hasil kunjungan kenegaraan ini: apakah perjanjian yang diteken memberi dampak nyata bagi rakyat? Apakah simbol seperti penamaan anggrek cukup kuat untuk memperkuat jati diri bangsa atau justru hanya menjadi “pemanis diplomatik”?
Sebagai pemimpin baru, Prabowo memiliki peluang membentuk jejak diplomasi khas yang bukan sekadar mengikuti jejak pendahulunya, tetapi membangun kredibilitas baru: diplomasi yang strategis, berani, namun tetap mengakar pada nilai-nilai Pancasila dan kepentingan nasional. Untuk itu, transparansi, pelibatan publik, dan kejelasan arah jangka panjang dari setiap kerja sama luar negeri mutlak diperlukan.