[Cirebonrayajeh.com – Jakarta] Sebuah momen sederhana di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, memantik sorotan tajam publik dan media. Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, saat hendak bertolak ke Singapura pada Minggu sore, 15 Juni 2025, terlihat tidak menyalami Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia. Aksi yang tampak sepele itu memicu spekulasi mengenai adanya kerenggangan hubungan di antara keduanya, terlebih karena Bahlil juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar—partai besar dalam barisan koalisi pemerintahan.
Dalam rekaman yang beredar luas, Presiden Prabowo tampak menyapa beberapa pejabat tinggi negara yang hadir melepas keberangkatannya. Ia terlihat menyalami Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, dan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi. Namun, Bahlil yang berdiri tidak jauh dari rombongan tersebut, tidak mendapatkan jabat tangan dari Presiden dan hanya menyaksikan keberangkatan itu tanpa interaksi langsung.
Merespons viralnya isu ini, Partai Golkar langsung menggelar konferensi pers di kantor DPP Golkar, Jakarta, pada Selasa, 17 Juni 2025. Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Idrus Marham, membantah keras isu adanya kerenggangan antara Bahlil dan Presiden Prabowo. Ia menegaskan bahwa hubungan keduanya tetap solid dan profesional dalam menjalankan roda pemerintahan.
“Bagaimana kerenggangan? Pak Bahlil baru saja ke Raja Ampat untuk menangani langsung masalah tambang nikel dan melaporkannya kepada Presiden. Tidak mungkin orang yang tidak dipercaya akan mendapat tugas penting seperti itu,” ujar Idrus Marham.
Lebih lanjut, Idrus menyampaikan bahwa Partai Golkar justru memiliki komitmen kuat untuk mendukung visi besar Asta Cita yang dicanangkan Presiden Prabowo. Ia menyebut Golkar menjadi bagian penting dalam mendorong pembangunan nasional, dan tidak ada alasan untuk mengaitkan insiden kecil dengan isu politik yang lebih besar.
“Lalu di mana kerenggangannya? Partai Golkar telah mengambil ketetapan sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan Asta Cita Presiden Prabowo. Ini adalah pernyataan sikap yang tidak bisa diabaikan,” tegas Idrus.
Meski klarifikasi telah disampaikan, publik tetap penasaran. Tidak sedikit yang melihat gestur Presiden sebagai sinyal politik, entah disengaja atau tidak. Terlebih, dalam politik Indonesia yang sarat simbol, setiap tindakan pemimpin acap kali dimaknai lebih dalam dibandingkan sekadar tampilan luar.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari Presiden Prabowo maupun dari Menteri Bahlil Lahadalia terkait insiden tersebut. Namun, suhu politik dalam internal koalisi kini menjadi sorotan, karena peristiwa kecil di pangkalan militer bisa saja menjadi titik awal dari pergeseran kekuasaan atau dinamika politik yang lebih luas.

Refleksi Politik dan Legacy: Simbol atau Realitas?
Dalam dunia politik, terutama di level eksekutif, bahasa tubuh seringkali lebih fasih daripada pernyataan pers. Tidak menyalami seseorang di hadapan kamera dan publik bukan hanya tindakan netral; bisa jadi itu adalah sinyal tentang perbedaan posisi, kepercayaan, atau bahkan evaluasi terhadap loyalitas.
Dari sisi negatif, jika momen ini mencerminkan gesekan politik internal, maka pemerintah perlu segera mengelola komunikasi internal secara terbuka dan strategis. Publik tidak boleh dibiarkan terus berspekulasi, karena ketidakjelasan hanya memperkuat ketidakpercayaan.
Namun dari sisi positif, sikap responsif Partai Golkar dapat dilihat sebagai bentuk kesadaran terhadap pentingnya menjaga soliditas politik. Klarifikasi cepat menunjukkan bahwa partai-partai dalam koalisi masih memiliki mekanisme kontrol sosial terhadap persepsi publik.
Ke depan, Presiden Prabowo memiliki peluang besar untuk membentuk legacy kepemimpinan yang bukan hanya berwibawa secara visi, tetapi juga unggul dalam komunikasi politik simbolik. Keterbukaan, konsistensi, dan loyalitas yang dibangun atas dasar kinerja bisa menjadi warisan baru dalam tatanan politik nasional yang lebih dewasa.