Presiden Prabowo Jenguk Polisi dan Masyarakat Korban Aksi Demonstrasi

Tinjauan kebijakan dan nilai keadilan sosial menurut Khittah NU 1926 atas langkah Presiden Prabowo menjenguk korban demonstrasi.

Berita42 Views

[Cirebonrayajeh.com Presiden Prabowo Subianto] Pada hari Senin, 1 September 2025, Presiden Prabowo Subianto melakukan kunjungan ke Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat 1 R. Said Sukanto, Kramat Jati, Jakarta Timur, untuk menjenguk korban demonstrasi yang terdiri dari polisi dan masyarakat sipil. Pada waktu itu, terdapat 17 orang yang masih mendapatkan perawatan (14 anggota kepolisian dan 3 masyarakat), sedangkan puluhan lainnya telah diperbolehkan pulang.

Presiden menyampaikan keprihatinan mendalam, dan menyebut bahwa beberapa korban memerlukan operasi besar, termasuk pemasangan tempurung kepala titanium, penyambungan tangan, hingga penanganan kerusakan ginjal yang sangat berat.

Selain itu, beliau memerintahkan penghargaan berupa kenaikan pangkat luar biasa bagi anggota Polri yang terluka, dan memastikan bahwa aparat yang terbukti bersalah akan diproses hukum.
Hukum Online

Dalam konteks ini kita akan membedah kunjungan tersebut dari tiga perspektif yang relevan: data empiris korban & respons negara, nilai-nilai dan prinsip yang dirumuskan dalam Khittah NU 1926, serta implikasi kebijakan berdasarkan khittah tersebut.

Khittah NU 1926: Makna, Sejarah, dan Relevansi

Sebelum menganalisis tindakan Presiden dan respons negara terhadap demonstrasi, penting memahami terlebih dahulu Khittah NU 1926 — dasar orientasi organisasi Nahdlatul Ulama yang menjadi rujukan moral-politik bagi banyak warga NU. Tanpa pemahaman ini, upaya kritik atau dukungan terhadap kebijakan bisa kehilangan konteks nilai-nilai yang dihargai di kalangan tradisional NU.

Dalam literatur, Khittah NU 1926 sering dirumuskan sebagai landasan berpikir, bersikap, dan bertindak berdasarkan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah dalam kerangka sosial-keagamaan, tanpa keterlibatan langsung dalam politik praktis (partai). Namun, interpretasi dan praktiknya mengalami perkembangan dan perdebatan sepanjang sejarah. Sumber-sumber akademis dan kajian ilmiah memberikan gambaran yang kaya tentang bagaimana prinsip ini terbentuk dan digunakan.

Sejarah dan Inti Khittah NU 1926

  • Asal-usul dan keputusan formal: Khittah NU 1926 resmi dikukuhkan dalam Muktamar atau Munas Alim Ulama NU pada Munas NU ke-27 dan Muktamar ke-27 Situbondo tahun 1984, sebagai penegasan bahwa NU kembali menjadi organisasi sosial-keagamaan, keluar dari partai politik praktis.
  • Isi dasar Khittah: Menurut dokumen “Khittah dan Khidmah NU” dan literatur terkait, Khittah mengandung dasar-dasar keagamaan Ahlussunnah wal Jama’ah, amal keagamaan, dan kemasyarakatan. Organisasi memegang prinsip tawassuth (moderat), i’tidal (seimbang), serta tasamuh (toleransi) dalam kehidupan bermasyarakat.
  • Dimensi politik: Meskipun prinsipnya adalah tidak terlibat dalam politik praktis partai, NU dalam berbagai kajian dipandang tetap memiliki ruang politik non-partisan: yakni dalam advokasi sosial, kebijakan publik, kepentingan masyarakat, dan pemberdayaan umat. Khittah bukan berarti apolitis dalam arti hilangnya suara atau peran politis warganya, melainkan pembatasan terhadap bentuk politik praktis yang bisa menimbulkan konflik kepentingan dan afiliasi partai.

Relevansi Khittah NU dalam Konteks Demonstrasi 2025

  • Nilai keadilan dan perlindungan warga adalah bagian dari Khittah: bahwa NU, sebagai organisasi berbasis keagamaan dan kemasyarakatan, menempatkan pentingnya keadilan sosial dan kepedulian terhadap orang lemah atau yang menjadi korban, tanpa memandang status.
  • Prinsip non-kekerasan: walaupun Khittah NU tidak secara eksplisit merumuskan semua protokol terhadap demonstrasi atau kerusuhan, nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang dianut mencakup jalan damai, musyawarah, dan menghindari tindak represif jika bisa dihindari.
  • Tanggung jawab negara dalam mensupervisi aparat, menjamin hak asasi manusia, dan menegakkan hukum secara adil menjadi bagian dari kerangka moral yang seharusnya diinternalisasi oleh penguasa yang menghargai khittah tersebut.
Baca Juga  Pemerintah Sediakan Jutaan Lapangan Kerja Baru Lewat Program Strategis Nasional

Data Empiris: Korban, Penangkapan, dan Respons Negara

Data konkret sangat penting agar setiap kritik atau analisis kebijakan tidak bersifat spekulatif. Berdasarkan laporan media, lembaga pengamat, dan databoks kementerian/polisi, kita memiliki gambaran terkini tentang skala demonstrasi, korban luka, korban tewas, penangkapan, dan penanganan medis. Sayangnya belum semua data terbuka secara transparan, tetapi berbagai sumber terpercaya sudah mencatat angka-penting yang relevan.

Skala Demonstrasi dan Korban

  • Menurut Katadata Insight Center, gelombang demonstrasi di akhir Agustus 2025 (28-31 Agustus) menyebabkan setidaknya 9 korban jiwa akibat kerusuhan.
  • Tercatat 10 korban tewas dalam demonstrasi hingga 2 September 2025.
  • Korban terdiri dari berbagai latar belakang: pelajar, mahasiswa, pengemudi ojek daring, tukang becak, pegawai DPRD. Contohnya: Affan Kurniawan (ojek daring) di Jakarta, Sarinawati dan Syaiful Akbar di Makassar, dll.

Penangkapan dan Proses Hukum

  • Selama periode demonstrasi 25-31 Agustus 2025, 3.195 orang ditangkap oleh pihak kepolisian. Dari jumlah ini: 2.753 masih dalam pemeriksaan, 387 sudah dipulangkan, dan 55 orang telah ditetapkan sebagai tersangka.
  • Tuntutan hak atas proses hukum bagi aparat yang keliru telah disuarakan, dan Presiden Prabowo menyatakan bahwa aparat yang terbukti salah akan diproses sesuai aturan.
    Hukum Online

Respons dan Tindakan Presiden

  • Presiden menjenguk langsung korban di rumah sakit dan menyampaikan dukungan moral kepada korban dan keluarga.
  • Instruksi untuk penghargaan bagi petugas polisi yang berkorban (kenaikan pangkat) sebagai bentuk pengakuan dari negara.
  • Komitmen bahwa bila ada pelanggaran hukum dari aparat akan ditindak; ini menunjukkan apresiasi terhadap prinsip supremasi hukum.

Analisis dari Perspektif Khittah NU 1926

Dengan kerangka Khittah NU 1926 dan data empiris di atas, kita dapat menilai sejauh mana tindakan pemerintah (khususnya Presiden Prabowo) dan respons negara lainnya konsisten atau justru bertentangan dengan nilai-nilai yang dirumuskan dalam Khittah tersebut. Analisis ini dibagi ke beberapa aspek: keadilan & HAM, netralitas & partisipasi masyarakat, serta integritas moral aparat.

Keadilan & Hak Asasi Manusia

  • Salah satu nilai Khittah adalah keadilan sosial dan perlindungan terhadap warga, terutama yang lemah atau teraniaya. Dalam demonstrasi ini, terdapat masyarakat sipil yang terluka dan korban jiwa. Negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak hidup, integritas tubuh, dan memberikan akses perawatan medis yang memadai. Tindakan Presiden menjenguk dan instruksi untuk merawat serta operasional medis berat menunjukkan respons yang pantas dalam konteks nilai kemanusiaan.
  • Namun, pertanyaan kritis muncul: apakah tindakan represif aparat tetap dalam koridor hukum, dan apakah ada investigasi yang transparan bagi seluruh korban termasuk warga sipil? Nilai Khittah menuntut bahwa apabila aparat keliru, maka harus diproses hukum, dan warga memiliki hak mendapatkan kejelasan serta perlindungan hukum.
  • Data menunjukan bahwa banyak orang ditangkap (3.195), dengan sebagian masih diperiksa atau menjadi tersangka. Tapi belum terlihat publikasi data penyelidikan internal aparat, apakah ada bukti kelalaian atau pelanggaran prosedural dalam penanganan demonstrasi. Tanpa transparansi, masyarakat mencurigai adanya pelanggaran HAM. Khittah NU menekankan akuntabilitas.
Baca Juga  Sinergi Global: Pertemuan Bilateral Presiden Prabowo dan Sekjen PBB

Netralitas & Partisipasi Masyarakat

  • Netralitas dalam konteks organisasi NU berarti tidak berpihak kepada partai politik tertentu, namun tetap mendukung keadilan dan kepentingan masyarakat. Presiden sebagai pemimpin negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi rakyatnya, termasuk mereka yang demon­strasi secara damai. Tindakan menjenguk korban sipil serta aparat adalah tindakan yang dapat dilihat sebagai upaya negara menjaga kepedulian terhadap semua pihak.
  • Akan tetapi, demonstrasi yang menghasilkan korban jiwa dan luka-luka memperlihatkan bahwa ada ketidakseimbangan dalam penggunaan kekerasan atau tindakan aparat. Nilai Khittah akan menghendaki bahwa dialog dan pemenuhan hak rakyat (seperti menyampaikan aspirasi) harus dilindungi, bukan dibungkam dengan cara yang merusak nyawa atau integritas fisik. Partisipasi publik dalam proses demokrasi termasuk dalam menyuarakan pendapat di ruang publik merupakan bagian dari khitah kesosial-keagamaan, selama dijalankan dalam koridor hukum.
  • Implementasi partisipasi politik masyarakat sipil seharusnya tidak hanya pada level suara dalam pemilu, tetapi juga dalam penggunaan ruang publik, demonstrasi sebagai bentuk ekspresi rakyat. Dalam hal ini, negara perlu menjamin keamanan dan keselamatan demonstran damai, tindakan aparat yang berlebihan perlu dicegah.

Integritas Moral Aparat dan Kepemimpinan

  • Khittah NU 1926 menuntut agar pemimpin dan aparat memiliki integritas moral, berperilaku adil, menjunjung hukum, dan bertindak sebagai pelayan masyarakat. Kunjungan Presiden bisa dilihat sebagai simbol kepemimpinan yang peduli, dan menyediakan penghargaan bagi polisi yang terluka menunjukkan pengakuan atas pengorbanan aparat.
  • Di sisi lain, prinsip integritas menghendaki bahwa jika ada aparat yang melakukan pelanggaran—termasuk penggunaan kekerasan yang tidak sah—mereka harus bertanggung jawab, bukan hanya diucapkan tetapi diimplementasikan dengan proses hukum yang transparan dan adil. Publik akan menilai kredibilitas pemerintah berdasarkan apakah hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, apakah korban warga sipil memperoleh akses keadilan yang sama.

Konflik dan Ketegangan antara Kenyataan dan Khittah: Beberapa Catatan Kritik

Meskipun banyak aspek dari respons pemerintah yang bisa dipuji dalam perspektif Khittah, terdapat pula catatan kritis yang perlu diangkat agar kebijakan dan tindakan ke depan bisa lebih selaras dengan nilai-nilai dasar yang dijunjung. Kritikan ini penting bukan untuk menolak, tetapi untuk memperbaiki dan memperkuat legitimasi negara dan kepercayaan publik.

Potensi Penyalahgunaan Instruksi dan Simbol

  • Penghargaan berupa kenaikan pangkat bagi polisi yang terluka bisa menjadi simbol yang bagus, tetapi jika tidak diikuti dengan pemeriksaan kesalahan dan akuntabilitas, bisa dianggap sebagai upaya mementalisir kritik terhadap tindakan aparat. Ada risiko bahwa aparat yang bersalah akan tetap diproteksi lewat instruksi simbolik tanpa konsekuensi nyata.
  • Kunjungan langsung Presiden ke korban sangat penting sebagai simbol moral, tetapi simbol tidak boleh menggantikan tindakan struktural: reformasi kebijakan pengamanan demonstrasi, pelatihan HAM bagi aparat, praktik yang jelas tentang penggunaan alat‐represif, dan mekanisme pengawasan yang independen.

Kekurangan Transparansi dan Partisipasi Publik

  • Data penangkapan besar (3.195 orang) dan status hukum yang masih dalam pemeriksaan menunjukkan skala masalah, tetapi publik masih sangat membutuhkan data rinci: siapa yang ditangkap, alasan penangkapan, bukti pemakaian kekerasan police‐and‐state, korban sipil yang tidak demonstran, dan evaluasi pasca‐aksi.
  • Catatan laporan media menyebut adanya kerusakan fisik berat pada korban (operasi, pemasangan titanium, kerusakan ginjal). Namun, kurang tersedia data medis independen yang bisa memverifikasi bahwa semua korban sipil diperlakukan dengan adil dan diberikan hak medis yang memadai. Ini menjadi tantangan bagi negara yang mengedepankan prinsip keadilan dalam khittah.
Baca Juga  Strategi Ekonomi Nasional di Tengah Ketidakpastian Global: Rapat Presiden Prabowo dan DEN di Hambalang

Ketidakjelasan Batas Politik dan Praktik-praktik Kepentingan

  • NU sebagai organisasi memiliki kewajiban moral dari Khittah tetapi bukan aktor politik praktis. Namun, kritik dalam literatur menyebut bahwa dalam era kontemporer, sejumlah elite NU atau kadernya terlibat politik praktis atau menjadi bagian dari kekuasaan pemerintahan, sehingga garis antara organisasi dan kepentingan bisa kabur.
  • Jika negara menggunakan narasi korban aparat sebagai alat politik atau legitimasi, perlu diperhatikan agar tidak mengeksploitasi situasi luka dan kematian untuk agenda politik tertentu. Khittah NU mengajarkan kesederhanaan, keadilan, dan tidak menggunakan penderitaan orang lain sebagai alat propaganda.

Rekomendasi Kebijakan dengan Spirit Khittah NU 1926

Berdasarkan analisis di atas, berikut beberapa rekomendasi yang bisa dipertimbangkan agar tindakan negara agar lebih konsisten dengan nilai-nilai Khittah NU 1926: keadilan, kesetaraan, akuntabilitas, dan kepedulian sosial-keagamaan.

Rekomendasi

Transparansi penuh dalam proses investigasi dan penyidikan kasus demonstrasi

  • Bentuk tim independen yang melibatkan lembaga HAM, tokoh masyarakat sipil, serta representasi ormas keagamaan seperti NU, untuk memeriksa semua laporan korban aparat maupun sipil.
  • Publikasikan hasil investigasi secara terbuka agar publik bisa mengakses bukti-bukti, data medis korban, dan penyebab cedera atau kematian.

Perlindungan medis dan pemulihan psikologis korban

  • Pastikan korban yang membutuhkan operasi besar, transplantasi, atau perawatan lanjut mendapat fasilitas yang memadai dan gratis atau dengan beban terjangkau.
  • Berikan dukungan psikologis dan sosial bagi korban serta keluarga.

Reformasi prosedur operasional kepolisian dalam menangani demonstrasi damai

  • Pelatihan HAM dan SOP penggunaan kekuatan.
  • Pengawasan lebih ketat terhadap penggunaan alat seperti kendaraan taktis, gas air mata, dan senjata tidak mematikan.
  • Standar internasional harus diterapkan, dan jika ada pelanggaran, aparat bersalah diberi sanksi.

Penguatan mekanisme partisipasi publik dan dialog politik

  • Gunakan forum-forum mediasi sebelum demonstrasi membesar, dengarkan tuntutan masyarakat dan pertimbangkan kebijakan pencegahan.
  • Pemerintah dan DPR membuka ruang konsultasi publik sebelum membuat regulasi yang kontroversial.

Pengakuan korban secara adil dan simbolis yang sesuai

  • Penghargaan seperti kenaikan pangkat memang penting, tapi harus disertai dengan penghormatan terhadap hak-hak sipil korban, misalnya bebas dari pemenjaraan sewenang-wenang, tidak ada stigma.
  • Pemerintah bisa memperhatikan aspek pendidikan dan dukungan ekonomi bagi keluarga korban yang kehilangan sumber penghidupan.

Penutup

Dalam bingkai Khittah NU 1926, kunjungan Presiden Prabowo ke korban demonstrasi dan pernyataan tanggapan pemerintah merupakan langkah yang positif dan diperlukan. Tindakan tersebut mencerminkan kepedulian, pengakuan pengorbanan aparat dan masyarakat sipil, serta niat untuk menegakkan hukum. Namun, tindakan-tindakan simbolis saja tidak cukup.

Nilai-nilai Khittah menuntut agar negara lebih dari sekadar memberikan penghormatan simbolis; perlu ada keadilan nyata, perlindungan hukum dan medis, transparansi, dan dialog yang merespon suara publik. Hanya dengan demikian respons negara terhadap demonstrasi—yang menghasilkan korban—kan konsisten dengan nilai-nilai luhur Islam Ahlussunnah wal Jama’ah dan cita-cita sosial-keagamaan yang dijunjung NU sejak 1926.

Leave a Reply