Prinsip Manhajiyah NU: Bagaimana Ulama NU Menentukan Hukum?

Pendekatan fiqih NU dalam menentukan hukum Islam dengan metode tarjih, fleksibilitas madzhab, dan prinsip manhajiyah yang moderat.

Cirebonrayajeh.com – Dalam dunia Islam, perbedaan pendapat dalam fiqih sering kali menjadi perdebatan panjang. Sebagian orang berpegang teguh pada satu madzhab, sementara yang lain lebih fleksibel. Nahdlatul Ulama (NU) hadir dengan pendekatan yang unik dan moderat dalam bermazhab, dikenal dengan Prinsip Manhajiyah NU.

Bagaimana NU menentukan hukum Islam? Apakah hanya berpegang pada satu madzhab atau justru lebih dinamis? Inilah yang membuat NU tetap relevan lintas zaman—menghormati tradisi, tetapi tetap terbuka pada perkembangan zaman.

Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana ulama NU merumuskan hukum Islam, mengapa metode tarjih penting, serta bagaimana fleksibilitas dalam bermazhab menjaga keseimbangan antara teks dan konteks. Jika Anda ingin memahami cara NU berpikir dalam fiqih, simak pembahasannya sampai akhir! 🚀

Berpegang pada Madzhab Sunni dalam Fiqih

Dalam dunia Islam, fiqih merupakan disiplin ilmu yang membahas hukum syariat berdasarkan Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Dalam perkembangannya, fiqih berkembang melalui berbagai madzhab yang memiliki metode istinbath (pengambilan hukum) yang khas. Nahdlatul Ulama (NU) berpegang pada empat madzhab utama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu:

  • Madzhab Hanafi – Didirikan oleh Imam Abu Hanifah
  • Madzhab Maliki – Didirikan oleh Imam Malik bin Anas
  • Madzhab Syafi’i – Didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i
  • Madzhab Hanbali – Didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal

Pendekatan ini menunjukkan bahwa NU tidak hanya mengikuti satu madzhab secara mutlak, tetapi juga mempertimbangkan metode tarjih dalam mengambil keputusan hukum yang paling maslahat bagi umat Islam.

1. Empat Madzhab dalam Islam dan Metode Istinbath-nya

Setiap madzhab dalam Islam memiliki metode unik dalam menggali hukum dari sumber syariat. Hal ini menunjukkan kekayaan khazanah keilmuan Islam yang memungkinkan umat untuk mengambil hukum sesuai dengan kebutuhan zaman. Berikut adalah karakteristik utama dari masing-masing madzhab:

Madzhab Pendiri Karakteristik Utama Sumber Hukum yang Ditekankan
Hanafi Abu Hanifah (699-767 M) Rasionalis, banyak menggunakan qiyas dan istihsan Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, Qiyas, Istihsan
Maliki Malik bin Anas (711-795 M) Mengutamakan amal Ahli Madinah dan istishlah Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, Amal Madinah, Istishlah
Syafi’i Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (767-820 M) Kombinasi nash dan qiyas, sistematis dan argumentatif Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, Qiyas, Istishab
Hanbali Ahmad bin Hanbal (780-855 M) Tekstualis, lebih mengandalkan hadits secara ketat Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ Sahabat, Qiyas

Sebagian besar praktik fiqih NU lebih cenderung mengikuti madzhab Syafi’i, tetapi dalam beberapa kasus, NU juga mengadopsi pendapat dari madzhab lain jika dianggap lebih sesuai dengan kemaslahatan umat.

2. Mengapa NU Berpegang pada Empat Madzhab Sunni?

Keputusan NU untuk mengikuti empat madzhab Sunni bukanlah tanpa alasan. Ada beberapa faktor yang menjadikan pendekatan ini sebagai pilihan utama dalam berfiqih, antara lain:

  • Keilmuan yang Mendalam dan Teruji: Keempat madzhab Sunni memiliki fondasi keilmuan yang kuat, disusun oleh ulama besar yang memiliki sanad keilmuan bersambung hingga Rasulullah SAW. Setiap metode yang digunakan telah diuji dalam berbagai situasi dan terus berkembang hingga kini.
  • Menjaga Persatuan Umat Islam: Dengan mengikuti salah satu dari empat madzhab ini, umat Islam dapat menghindari perpecahan. NU memahami bahwa keberagaman pemahaman fiqih adalah bagian dari rahmat, bukan sumber konflik.
  • Fleksibilitas dalam Hukum Islam: NU menggunakan manhaj tarjih, yaitu memilih pendapat yang paling kuat dari berbagai madzhab yang sesuai dengan konteks masyarakat dan maslahat umat.
  • Menjaga Tradisi dan Kearifan Lokal: Fiqih harus bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. NU memastikan bahwa hukum yang diterapkan selaras dengan realitas sosial masyarakat Indonesia tanpa keluar dari prinsip syariat Islam.

3. Kekuatan dan Kelemahan Berpegang pada Madzhab Sunni

Pendekatan NU dalam bermazhab memiliki keunggulan yang signifikan, tetapi juga menghadapi tantangan tertentu. Berikut adalah analisis kekuatan dan kelemahannya:

Kekuatan

Stabilitas Hukum Islam

  • Dengan bermazhab, umat memiliki pedoman yang jelas dalam beribadah dan bermuamalah.
  • Tidak mudah terpengaruh oleh paham ekstrem atau penyimpangan yang tidak memiliki dasar kuat.

Kejelasan Metodologi

  • Setiap madzhab memiliki sistematika dalam berijtihad, sehingga hukum yang dihasilkan memiliki dasar yang kuat.

Membantu Persatuan Umat

  • Dengan mengikuti madzhab yang sudah mapan, umat Islam lebih mudah menjaga persatuan dan tidak terjebak dalam perdebatan yang tidak produktif.

Fleksibilitas dalam Konteks Sosial

  • Dengan metode tarjih, NU bisa mengambil pendapat yang paling sesuai dengan kebutuhan zaman.

Kelemahan

Kurang Responsif terhadap Isu Kontemporer

  • Beberapa persoalan baru seperti cryptocurrency, fintech, atau bioteknologi membutuhkan metode ijtihad baru yang lebih cepat dan relevan.

Perbedaan Pendapat di Internal NU

  • Karena mengikuti empat madzhab, terkadang ada perbedaan tarjih di antara ulama NU, yang bisa memunculkan diskusi panjang.

Kesan Kaku bagi Sebagian Orang

  • Sebagian kelompok menganggap mengikuti madzhab tertentu sebagai sikap yang terlalu konservatif dibandingkan dengan pendekatan langsung kepada Al-Qur’an dan Hadits.

Nahdlatul Ulama berpegang pada empat madzhab Sunni sebagai fondasi dalam berfiqih. Sikap ini didasarkan pada sanad keilmuan yang kuat, menjaga persatuan umat, dan fleksibilitas dalam penerapan hukum Islam.

Meskipun ada tantangan, pendekatan ini tetap relevan karena mampu menyeimbangkan pemahaman klasik dan kebutuhan modern, sehingga hukum Islam tetap kontekstual tanpa kehilangan akar tradisinya.

Prinsip Manhajiyah (Metodologi Bermazhab NU)

Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi Islam terbesar di Indonesia yang berpegang teguh pada Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja). Dalam memahami fiqih, NU tidak hanya mengikuti satu madzhab secara kaku, tetapi menerapkan pendekatan manhajiyah—sebuah metodologi dalam bermazhab yang memungkinkan adanya fleksibilitas tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar fiqih.

Pendekatan ini memungkinkan NU mengambil hukum dari madzhab yang berbeda dalam kondisi tertentu, berdasarkan kaidah tarjih yang kuat.

1. Apa Itu Prinsip Manhajiyah NU?

Prinsip manhajiyah dalam NU bukan sekadar mengikuti satu madzhab secara tekstual, tetapi lebih kepada cara memahami dan menerapkan hukum Islam dengan mempertimbangkan sumber hukum utama (Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas) serta kondisi sosial umat Islam.

Penjelasan Konsep

Secara sederhana, prinsip manhajiyah NU adalah cara NU dalam bermazhab dengan menggunakan metodologi yang fleksibel namun tetap terstruktur. NU berpegang pada empat madzhab Sunni (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali), tetapi dalam praktiknya lebih dominan menggunakan madzhab Syafi’i. Meski begitu, dalam kondisi tertentu, NU dapat mengambil pendapat dari madzhab lain jika lebih maslahat bagi umat.

Secara lebih teknis, NU menggunakan metode tarjih, yaitu memilih pendapat yang lebih kuat dalam suatu permasalahan. Ini dilakukan dengan mempertimbangkan dalil-dalil syar’i, maqashid syariah (tujuan hukum Islam), serta kemaslahatan umat.

2. Metode Tarjih dalam NU

Dalam menentukan hukum, NU tidak serta-merta mengikuti satu pendapat tanpa kajian. Metode tarjih digunakan untuk memilih pendapat yang paling kuat berdasarkan dalil, konteks sosial, dan manfaatnya bagi umat Islam.

Tahapan Tarjih dalam NU

Tarjih adalah proses seleksi dan penguatan dalil dalam menentukan hukum. NU menggunakan hierarki tarjih sebagai berikut:

  • Al-Muqarrar → Pendapat yang sudah ditetapkan dalam madzhab Syafi’i dan menjadi pegangan utama NU.
  • Al-Mukhtar → Pendapat dalam madzhab Syafi’i yang lebih kuat atau lebih relevan dengan konteks masyarakat.
  • Al-Madzhab al-Arba’ah → Menggunakan pendapat dari madzhab Hanafi, Maliki, atau Hanbali jika dianggap lebih maslahat.
  • Fatwa Ulama Klasik → Pendapat ulama yang memiliki keabsahan ilmiah tinggi.
  • Fatwa Ulama Kontemporer → Jika tidak ditemukan solusi dalam sumber klasik, NU bisa mempertimbangkan fatwa ulama zaman sekarang dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip fiqih.

Contoh Penerapan Metode Tarjih dalam NU

Berikut adalah contoh nyata penerapan metode tarjih dalam NU:

Kasus Fiqih Madzhab Syafi’i Madzhab Lain yang Digunakan NU Alasan Tarjih
Zakat Profesi Tidak wajib Wajib (Hanafi) Kemaslahatan dan perkembangan ekonomi
Qunut Subuh Sunnah muakkadah Tidak wajib (Maliki, Hanbali) Mengikuti Syafi’i, tetapi tetap menghormati yang tidak melakukannya
Perbankan Syariah Tidak ada dalam fiqih klasik Menggunakan ijtihad kontemporer Kebutuhan zaman modern
Shalat Jumat Online Tidak sah Ada yang membolehkan Pendapat mayoritas menolak, tetapi tetap dikaji ulang saat pandemi

3. Kekuatan Prinsip Manhajiyah NU

Pendekatan manhajiyah NU memiliki berbagai kelebihan yang membuatnya tetap relevan dan diterima oleh umat Islam dari berbagai latar belakang.

Keunggulan Prinsip Manhajiyah NU

  • Fleksibel namun tetap dalam koridor syariat → Tidak kaku dalam satu madzhab, tetapi tetap dalam kerangka Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
  • Kontekstual dan relevan dengan zaman → Bisa menyesuaikan hukum dengan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya umat.
  • Mengutamakan kemaslahatan umat → Tidak hanya berpegang pada teks, tetapi juga mempertimbangkan dampak sosial.
  • Menghormati perbedaan pendapat → Mencegah sikap fanatik terhadap satu madzhab dan membuka ruang diskusi.
  • Bersumber dari ulama yang kredibel → Keputusan hukum selalu berdasarkan pada pendapat ulama yang ahli di bidangnya.

4. Kelemahan Prinsip Manhajiyah NU

Meski memiliki banyak keunggulan, pendekatan ini juga menghadapi beberapa tantangan yang perlu diantisipasi agar tetap efektif dalam penerapannya.

Tantangan dan Kelemahan

  • Rentan disalahpahami sebagai plin-plan → Sebagian orang menganggap fleksibilitas ini sebagai ketidaktegasan dalam bermazhab.
  • Membutuhkan ulama yang benar-benar kompeten → Tidak semua orang bisa melakukan tarjih tanpa ilmu yang mendalam.
  • Berpotensi memunculkan perbedaan di internal NU sendiri → Adanya berbagai pendapat dalam tarjih bisa menyebabkan perdebatan.
  • Tidak selalu sesuai dengan kelompok tekstualis → Kaum yang lebih literal dalam memahami dalil sering mengkritik pendekatan ini.

Pendekatan manhajiyah NU dalam bermazhab merupakan metodologi yang seimbang antara teks dan konteks. NU tetap berpegang pada warisan fiqih klasik, tetapi mampu beradaptasi dengan kondisi zaman tanpa meninggalkan prinsip utama Islam.

🚀 NU bukan sekadar bermazhab, NU punya manhaj!

Kaidah Ushul Fiqih yang Dipegang NU: Fondasi Hukum Islam yang Fleksibel dan Moderat

Nahdlatul Ulama (NU) dikenal sebagai organisasi Islam yang berpegang teguh pada tradisi keilmuan fiqih dengan tetap mempertimbangkan realitas sosial dan perkembangan zaman. Salah satu aspek utama dalam pendekatan fiqih NU adalah penerapan kaidah ushul fiqih, yaitu prinsip-prinsip dasar dalam memahami dan menetapkan hukum Islam.

Kaidah ushul fiqih menjadi panduan dalam menafsirkan dalil-dalil syar’i, memastikan bahwa hukum yang diambil relevan, fleksibel, dan maslahat bagi umat.

1. Kaidah-Kaidah Ushul Fiqih yang Dipegang NU

NU mengacu pada kaidah ushul fiqih yang telah disusun oleh para ulama terdahulu. Berikut adalah beberapa kaidah utama yang menjadi pedoman dalam menentukan hukum Islam:

a. Al-‘Adah Muhakkamah (Kebiasaan Bisa Menjadi Hukum)

Dalam kehidupan sehari-hari, setiap masyarakat memiliki adat istiadat yang berkembang dari generasi ke generasi. NU memahami bahwa Islam adalah agama yang fleksibel dan dapat beradaptasi dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan syariat. Kaidah Al-‘Adah Muhakkamah menegaskan bahwa kebiasaan yang baik bisa menjadi dasar hukum.

Makna dan Penerapan

Kaidah ini berarti bahwa adat atau kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan syariat bisa dijadikan dasar hukum. Ini menunjukkan bahwa Islam tidak kaku, tetapi dapat menyesuaikan diri dengan budaya lokal selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar agama.

Contoh Penerapan:

  • Penggunaan mas kawin dalam pernikahan bisa berbeda-beda berdasarkan adat setempat.
  • Pakaian tradisional seperti sarung dan peci dalam ibadah tidak wajib, tetapi dibolehkan karena telah menjadi kebiasaan.

Kekuatan dan Kelemahan

✅ Fleksibel dan relevan dengan kondisi masyarakat.✅ Membantu mempertahankan tradisi lokal yang tidak bertentangan dengan syariat.

❌ Berpotensi disalahgunakan untuk melegitimasi kebiasaan yang bertentangan dengan Islam.❌ Memerlukan kehati-hatian dalam menentukan apakah sebuah adat sesuai dengan syariat.

b. Ad-Dhararu Yuzalu (Kemudharatan Harus Dihilangkan)

Salah satu prinsip utama dalam Islam adalah menjaga kesejahteraan umat dan menghindarkan mereka dari bahaya. Kaidah Ad-Dhararu Yuzalu menegaskan bahwa segala bentuk kemudaratan harus dihilangkan atau diminimalisir sejauh mungkin.

Makna dan Penerapan

Islam mengajarkan bahwa segala sesuatu yang membawa kemudaratan (bahaya) harus dihilangkan atau diminimalisir. Kaidah ini digunakan NU dalam menentukan hukum yang berkaitan dengan kemaslahatan umat.

Contoh Penerapan:

  • Membolehkan aborsi dalam kasus darurat, seperti ancaman nyawa ibu.
  • Larangan merokok dalam konteks kesehatan yang semakin buruk.

Kekuatan dan Kelemahan

✅ Menjaga kemaslahatan umat.✅ Membantu menciptakan hukum yang lebih manusiawi dan penuh pertimbangan.

❌ Interpretasi tentang “darurat” bisa berbeda antara ulama dan masyarakat.❌ Kadang-kadang sulit menarik batasan antara maslahat dan pelanggaran syariat.

c. Al-Masyaqqatu Tajlibu At-Taysir (Kesulitan Membawa Kemudahan)

Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin memberikan kemudahan bagi umatnya dalam menjalankan ajaran agama. Kaidah Al-Masyaqqatu Tajlibu At-Taysir menegaskan bahwa jika ada kesulitan dalam menjalankan suatu ibadah atau hukum, maka ada keringanan (rukhsah) yang diberikan.

Makna dan Penerapan

Dalam Islam, jika ada kesulitan dalam menjalankan suatu ibadah atau hukum, maka ada keringanan (rukhsah) yang diberikan. Kaidah ini menjadi dasar dalam fiqih NU untuk memberikan solusi yang lebih fleksibel.

Contoh Penerapan:

  • Boleh menjamak dan mengqashar shalat bagi musafir.
  • Dibolehkan membayar zakat fitrah dengan uang di beberapa kondisi tertentu.

Kekuatan dan Kelemahan

✅ Memberikan kemudahan bagi umat dalam beribadah.✅ Menjaga keseimbangan antara tuntutan syariat dan kondisi riil masyarakat.

❌ Bisa disalahgunakan untuk mencari-cari keringanan yang tidak perlu.❌ Memerlukan batasan yang jelas agar tidak terjadi penyimpangan dari hukum asal.

d. La Dharara wa La Dhirar (Tidak Boleh Ada Bahaya dan Membahayakan Orang Lain)

Prinsip keadilan dalam Islam sangat ditekankan, terutama dalam interaksi sosial dan ekonomi. Kaidah La Dharara wa La Dhirar memastikan bahwa tidak boleh ada perbuatan yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.

Makna dan Penerapan

Kaidah ini menegaskan bahwa tidak boleh ada tindakan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. Segala bentuk ketidakadilan dan eksploitasi dilarang dalam Islam.

Contoh Penerapan:

  • Larangan riba, karena merugikan salah satu pihak.
  • Haramnya penimbunan barang kebutuhan pokok yang menyebabkan harga melambung tinggi.

Kekuatan dan Kelemahan

✅ Menjaga keadilan sosial dalam berbagai aspek kehidupan.✅ Menjadi dasar untuk menolak praktik ekonomi yang eksploitatif.

❌ Interpretasi “membahayakan” bisa subjektif.❌ Memerlukan kajian mendalam dalam penerapannya agar tidak menimbulkan kontroversi.

Kaidah ushul fiqih yang dipegang NU menjadi pedoman utama dalam menentukan hukum Islam yang kontekstual dan moderat. Keempat kaidah yang telah dibahas bukan sekadar teori, tetapi telah diaplikasikan dalam berbagai persoalan umat. Dengan pendekatan ini, NU mampu menjaga keseimbangan antara teks syariat dan realitas sosial, menjadikan Islam tetap relevan dan mudah diterapkan di berbagai zaman.

Namun, setiap kaidah juga memiliki kelemahan, terutama dalam aspek subjektivitas dan kemungkinan penyalahgunaan. Oleh karena itu, ijtihad para ulama tetap diperlukan untuk memastikan bahwa kaidah ini diterapkan dengan benar dan maslahat bagi umat.

🚀 NU tidak sekadar mempertahankan tradisi, tetapi juga menghadirkan solusi!

Taqlid, Ijtihad, dan Tajdid dalam NU: Memahami Dinamika Fiqih Islam

Dalam kajian fiqih Islam, tiga konsep penting yang selalu menjadi perbincangan adalah taqlid, ijtihad, dan tajdid. Ketiga konsep ini bukan hanya sekadar istilah akademik, tetapi juga menjadi dasar bagaimana hukum Islam berkembang dari zaman ke zaman. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia memiliki pendekatan yang khas terhadap ketiga konsep ini. NU tidak hanya berpegang teguh pada tradisi bermazhab, tetapi juga memahami pentingnya ijtihad dan tajdid untuk menjawab tantangan zaman.

Lantas, bagaimana NU mengelola keseimbangan antara taqlid, ijtihad, dan tajdid? Mari kita kupas tuntas.

1. Taqlid dalam NU: Mengikuti Ulama yang Terpercaya

Dalam kehidupan sehari-hari, tidak semua orang memiliki kapasitas untuk menggali hukum Islam secara langsung dari Al-Qur’an dan Hadis. Oleh karena itu, mayoritas umat Islam memilih untuk mengikuti pendapat ulama yang ahli dalam fiqih, yang dikenal dengan istilah taqlid. NU memegang prinsip ini sebagai bentuk kepatuhan terhadap tradisi ilmiah yang telah diwariskan oleh para ulama terdahulu.

Apa Itu Taqlid?

Secara sederhana, taqlid berarti mengikuti pendapat seorang mujtahid (ulama yang berkompeten dalam ijtihad) tanpa mengetahui dalilnya secara langsung. Taqlid merupakan sikap yang diambil oleh mayoritas umat Islam, terutama mereka yang belum memiliki kapasitas untuk berijtihad sendiri.

Mengapa NU Menganut Taqlid?

NU menilai bahwa tidak semua orang mampu melakukan ijtihad karena keterbatasan ilmu, pemahaman bahasa Arab, dan kapasitas dalam meneliti sumber hukum Islam. Oleh karena itu, NU berpegang pada madzhab fiqih yang sudah mapan, khususnya madzhab Syafi’i, dengan tetap menghormati madzhab lainnya.

Kekuatan dan Kelemahan Taqlid

Kelebihan Taqlid Kelemahan Taqlid
Memudahkan umat Islam dalam menjalankan ibadah tanpa kebingungan. Bisa menghambat pemikiran kritis jika dilakukan secara kaku.
Menghindari kesalahan dalam memahami hukum Islam bagi orang awam. Potensi ketergantungan berlebihan pada ulama tanpa memahami alasan di balik hukum.
Menjaga kesinambungan tradisi keilmuan Islam. Bisa menimbulkan sikap fanatisme terhadap satu madzhab.

2. Ijtihad dalam NU: Ketika Ulama Harus Berpikir Kritis

Seiring dengan perkembangan zaman, muncul berbagai persoalan baru yang tidak secara eksplisit dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadis. Untuk menjawab tantangan ini, Islam memberikan ruang bagi ijtihad, yakni upaya ulama dalam menggali hukum baru dengan tetap berlandaskan prinsip syariat. NU mendukung ijtihad dengan prinsip kehati-hatian, sehingga tidak semua orang bisa serta-merta berijtihad tanpa syarat keilmuan yang memadai.

Apa Itu Ijtihad?

Ijtihad adalah upaya seorang ulama untuk menggali hukum Islam dari sumber utama, yaitu Al-Qur’an dan Hadis, dengan mempertimbangkan kaidah ushul fiqih. Dalam NU, ijtihad bukan dilakukan oleh individu sembarangan, tetapi oleh ulama yang benar-benar memenuhi syarat ijtihad, seperti menguasai ilmu Al-Qur’an, hadis, ushul fiqih, qiyas, dan kaidah bahasa Arab.

Jenis-Jenis Ijtihad dalam NU

  • Ijtihad Istinbathi → Menggali hukum langsung dari Al-Qur’an dan Hadis.
  • Ijtihad Tarjihi → Memilih pendapat yang paling kuat dalam satu madzhab.
  • Ijtihad Intiqai → Memilih pendapat terbaik dari berbagai madzhab.
  • Ijtihad Tathbiqi → Menerapkan hukum dalam konteks sosial yang baru.

Kapan Ijtihad Dilakukan dalam NU?

NU tidak menutup pintu ijtihad, tetapi hanya dilakukan dalam situasi tertentu, seperti:

  • Ketika ada masalah baru yang belum pernah dibahas ulama terdahulu.
  • Ketika ada perbedaan pendapat dalam madzhab, dan harus ditentukan mana yang lebih maslahat.
  • Ketika kondisi sosial dan teknologi menghadirkan tantangan baru dalam hukum Islam.

Kekuatan dan Kelemahan Ijtihad

Kelebihan Ijtihad Kelemahan Ijtihad
Membantu hukum Islam tetap relevan dengan perkembangan zaman. Bisa memicu kontroversi jika hasil ijtihad tidak disepakati mayoritas ulama.
Memberikan solusi bagi masalah-masalah baru yang tidak ada di masa lalu. Membutuhkan ulama yang benar-benar kompeten dan berintegritas tinggi.
Menghindari sikap kaku dalam memahami agama. Jika dilakukan sembarangan, bisa menyesatkan umat.

3. Tajdid dalam NU: Pembaruan Tanpa Merusak Tradisi

Di tengah perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi yang cepat, umat Islam dituntut untuk tetap relevan tanpa kehilangan jati diri keislamannya. NU memahami hal ini dengan menerapkan tajdid atau pembaruan, tetapi dengan batasan yang jelas agar tidak keluar dari prinsip Islam.

Apa Itu Tajdid?

Tajdid secara harfiah berarti pembaruan, tetapi dalam konteks NU, tajdid berarti membawa perubahan dalam hal-hal teknis tanpa merombak dasar agama.

NU membagi tajdid menjadi dua:

  • Tajdid dalam pemikiran Islam → Pembaruan dalam cara memahami fiqih, tafsir, dan ushuluddin.
  • Tajdid dalam amal dan organisasi → Pembaruan dalam metode dakwah, pendidikan, dan sistem keorganisasian.

Contoh Tajdid dalam NU

  • Memanfaatkan teknologi digital untuk dakwah dan pendidikan.
  • Mengembangkan konsep ekonomi Islam berbasis koperasi dan keumatan.
  • Menyesuaikan fatwa keagamaan dengan kondisi sosial-politik yang terus berubah.

Kekuatan dan Kelemahan Tajdid

Kelebihan Tajdid Kelemahan Tajdid
Membantu Islam tetap relevan dan tidak ketinggalan zaman. Bisa dianggap sebagai “bid’ah” oleh kelompok yang ekstrem dalam memahami agama.
Meningkatkan efektivitas dakwah dan pendidikan Islam. Harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak menyimpang dari syariat.
Memberikan ruang bagi inovasi dalam kehidupan umat Islam. Tidak semua umat Islam siap menerima perubahan.

NU Menyeimbangkan Taqlid, Ijtihad, dan Tajdid

Pendekatan taqlid memberikan kepastian hukum, ijtihad menjawab tantangan baru, dan tajdid memastikan Islam tetap relevan. Dengan keseimbangan ini, NU tetap menjadi penjaga tradisi sekaligus penggerak inovasi dalam Islam. 🚀

Itulah mengapa NU bukan hanya bermazhab, tetapi juga punya manhaj!

Sikap NU terhadap Ikhtilaf (Perbedaan Pendapat)

Perbedaan pendapat dalam Islam adalah sebuah keniscayaan. Sejak zaman Rasulullah SAW, para sahabat memiliki pandangan yang berbeda dalam memahami ajaran Islam, dan hal ini terus berlanjut dalam sejarah keilmuan Islam. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia memiliki pendekatan unik dan moderat dalam menyikapi ikhtilaf atau perbedaan pendapat.

NU tidak melihat perbedaan sebagai sesuatu yang harus dihilangkan, tetapi sebagai bagian dari rahmat yang harus dikelola dengan bijaksana.

1. Dasar Pemikiran NU dalam Menyikapi Ikhtilaf

NU memahami perbedaan pendapat berdasarkan beberapa prinsip utama dalam Islam, yaitu:

a) Perbedaan adalah Sunnatullah

Allah SWT menciptakan manusia dengan akal dan pemahaman yang berbeda-beda, sehingga perbedaan dalam menafsirkan syariat adalah sesuatu yang alami. Dalam sejarah Islam, perbedaan pendapat sudah terjadi sejak zaman sahabat, dan hal ini tidak dianggap sebagai masalah selama tetap berada dalam koridor syariat.

b) Menghormati Otoritas Ulama

NU menekankan pentingnya mengikuti pandangan para ulama madzhab yang memiliki metodologi ilmiah dalam menggali hukum dari Al-Qur’an dan Hadis. Dengan menghormati otoritas ulama, NU menghindari sikap serampangan dalam memahami agama dan tetap berpegang pada tradisi keilmuan Islam yang mapan.

c) Menjaga Persatuan Umat

NU tidak menganggap perbedaan sebagai sumber perpecahan, tetapi sebagai kekayaan intelektual yang harus dikelola dengan bijak. Oleh karena itu, NU lebih mengutamakan ukhuwah Islamiyah dibandingkan memperdebatkan perbedaan yang bersifat furu’iyah (cabang dalam agama).

2. Pendekatan NU dalam Menyikapi Ikhtilaf

NU memiliki beberapa pendekatan dalam menghadapi perbedaan pendapat, antara lain:

a) Toleransi terhadap Perbedaan Madzhab

NU berpegang pada empat madzhab utama (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) dan tidak menganggap satu madzhab lebih benar dari yang lain. Dalam hal ini, NU menekankan prinsip tasamuh (toleransi) dalam bermazhab.

Contoh Penerapan:

Dalam fiqih wudhu, madzhab Syafi’i mewajibkan membasuh seluruh kepala, sedangkan madzhab Hanafi hanya mengusap sebagian kepala. NU tetap menghormati kedua pandangan ini tanpa menghakimi salah satunya.

b) Menggunakan Metode Tarjih dalam Mengambil Keputusan

Jika terjadi perbedaan pendapat dalam satu madzhab atau antar madzhab, NU menggunakan metode tarjih untuk memilih pendapat yang paling kuat berdasarkan dalil, maslahat, dan konteks zaman.

Contoh Penerapan:

Dalam masalah qunut shubuh, madzhab Syafi’i menganjurkan, sementara madzhab Hanafi tidak. NU memilih untuk melestarikan qunut shubuh di Indonesia karena sesuai dengan tradisi masyarakat dan memiliki dasar kuat dalam madzhab Syafi’i.

c) Tidak Mudah Membid’ahkan

NU menghindari sikap mudah membid’ahkan atau menganggap suatu amalan sebagai sesat hanya karena berbeda pandangan. Sikap ini bertujuan untuk mencegah konflik internal di antara umat Islam dan menjaga persatuan.

Contoh Penerapan:

Perayaan Maulid Nabi dianggap bid’ah oleh sebagian kelompok, tetapi NU tetap merayakannya dengan dasar bahwa bid’ah yang baik (bid’ah hasanah) diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat.

d) Dialog dan Musyawarah dalam Menyelesaikan Perbedaan

NU mendorong tabayyun (klarifikasi) dan musyawarah sebelum mengambil sikap dalam perbedaan. Pendekatan ini sangat penting dalam menghindari konflik dan menjaga keharmonisan umat Islam.

Contoh Penerapan:

Dalam kasus perbedaan penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri, NU tetap menghormati pandangan Muhammadiyah yang menggunakan hisab meskipun NU sendiri lebih memilih rukyat.

3. Kelebihan dan Tantangan Sikap NU terhadap Ikhtilaf

Pendekatan NU dalam menyikapi perbedaan pendapat memiliki keunggulan dan tantangan tersendiri. Berikut perbandingannya dalam bentuk tabel:

Aspek Kelebihan NU Tantangan NU
Toleransi Bermazhab Tidak fanatik terhadap satu madzhab tertentu Berisiko dianggap terlalu longgar oleh kelompok lain
Metode Tarjih Pendekatan ilmiah dalam mengambil keputusan Membutuhkan ulama yang benar-benar ahli
Tidak Mudah Membid’ahkan Menghindari konflik antar sesama Muslim Dipandang kurang tegas dalam menyikapi perbedaan
Dialog dan Musyawarah Menjaga ukhuwah Islamiyah dan keharmonisan Tidak semua kelompok mau berdialog dengan terbuka

Dengan kelebihan ini, NU tetap bisa menjadi jembatan moderasi dalam Islam, tetapi tantangannya adalah bagaimana memastikan umat tetap memahami pentingnya metode ilmiah dalam beragama tanpa terjebak pada ekstremisme atau sikap terlalu longgar.

Sikap NU terhadap ikhtilaf menunjukkan bahwa Islam bukan agama yang kaku, melainkan memiliki ruang untuk perbedaan selama masih dalam koridor syariat. Perbedaan pendapat bukanlah ancaman, tetapi justru bagian dari kekayaan intelektual Islam.

Dengan prinsip toleransi, tarjih, tidak mudah membid’ahkan, serta mengutamakan musyawarah, NU berhasil menjadi penjaga moderasi Islam di Indonesia. Meskipun ada tantangan, pendekatan ini tetap menjadi jalan terbaik dalam menjaga ukhuwah Islamiyah di tengah keberagaman pemahaman fiqih.

💡 NU bukan sekadar organisasi, tetapi sebuah manhaj yang mampu menjaga keseimbangan antara teks dan konteks dalam beragama. 🚀

Penutup

Pendekatan fiqih dalam Nahdlatul Ulama (NU) bukan sekadar memilih satu madzhab dan mengikutinya secara kaku, melainkan menggunakan prinsip manhajiyah yang fleksibel, terstruktur, dan kontekstual. Dengan metode tarjih, NU mampu mengambil hukum yang paling maslahat dari empat madzhab besar—tanpa keluar dari koridor Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Sikap ini bukan hanya mempertahankan tradisi keilmuan Islam, tetapi juga memastikan bahwa hukum Islam tetap relevan dan bisa diterapkan di berbagai kondisi zaman. Inilah yang menjadikan NU sebagai pilar utama Islam moderat—teguh dalam prinsip, tetapi tetap luwes dalam penerapan.

Jadi, jika ada yang bertanya “Bagaimana NU menentukan hukum?”, jawabannya adalah dengan ilmu, keseimbangan, dan kepentingan umat.

🚀 NU bukan sekadar bermazhab, NU punya manhaj!

Cirebon Raya Jeh Team
Cirebon Raya Jeh adalah website yang hadir untuk mendukung dan mengembangkan potensi UMKM di Nusantara. Fokus utama kami adalah memberikan informasi yang relevan dan bermanfaat bagi pelaku usaha kecil dan menengah, dengan tujuan membantu mereka meraih kesuksesan dalam bisnis. Melalui berbagai konten yang inspiratif dan edukatif, Cirebon Raya Jeh berkomitmen untuk menjadi mitra strategis UMKM Indonesia.