Revisi Kurikulum: Solusi atau Masalah Baru?

Menimbang arah kurikulum nasional terbaru dalam bingkai Khittah NU 1926: menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang maslahat.

Pendidikan41 Views

[Cirebonrayajeh.com – Pendidikan] Kurikulum adalah ruh pendidikan nasional. Ia bukan sekadar daftar mata pelajaran dan jam belajar, melainkan “konstitusi” pendidikan yang menentukan generasi bangsa seperti apa yang akan lahir. Setiap kali kurikulum direvisi, sejatinya bangsa sedang menyusun ulang arah peradabannya. Maka wajar jika revisi kurikulum selalu menuai pro-kontra.

Tahun 2024, pemerintah kembali menawarkan revisi kurikulum nasional. Alasan utamanya: menyesuaikan dengan perkembangan zaman, memperbaiki kelemahan kurikulum sebelumnya, serta menyiapkan siswa menghadapi abad ke-21. Namun, pertanyaan besar muncul: Apakah revisi ini benar-benar solusi? Atau hanya menambah masalah baru yang berulang setiap dekade?

Dalam bingkai Khittah NU 1926, kita diajak berpikir jernih. Prinsipnya: al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah — menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik. Dengan prinsip ini, revisi kurikulum bukan sekadar soal teknis, tapi tentang keseimbangan antara tradisi dan modernitas, antara identitas bangsa dan tuntutan global.

Latar Belakang Revisi Kurikulum Nasional

Kurikulum di Indonesia selalu mengalami perubahan hampir setiap 10 tahun. Dari Kurikulum 1947 hingga Kurikulum Merdeka, setiap perubahan merefleksikan dinamika sosial-politik dan orientasi pemerintah. Revisi 2024 tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang itu. Untuk menilai revisi kali ini, kita perlu memahami latar belakang sosial, politik, dan filosofis yang melandasinya.

Mengapa Revisi Kurikulum Terjadi?

  • Evaluasi Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka
    Banyak guru menilai Kurikulum 2013 terlalu padat dan administratif. Kurikulum Merdeka datang dengan semangat fleksibilitas, tetapi tidak semua sekolah siap menerapkannya. Revisi 2024 berusaha menyeimbangkan keduanya.
  • Tuntutan Global Abad ke-21
    Dunia bergerak cepat. Literasi digital, kemampuan berpikir kritis, komunikasi, dan kolaborasi menjadi standar global. Indonesia tak bisa menutup mata, tapi juga tidak boleh kehilangan akar kebudayaannya.
  • Nilai Identitas dan Khittah NU
    Dalam konteks NU, revisi kurikulum harus menjaga tradisi intelektual pesantren, nilai kebangsaan, serta etika Pancasila. Inilah yang membedakan pendidikan Indonesia dari sekadar adopsi sistem asing.
Baca Juga  Ingin Penelitianmu Berkualitas dan Mudah Dipublikasikan? Inilah Rahasia Desain Penelitian dari John W. Creswell!

Landasan Hukum dan Kebijakan

Revisi ini berpijak pada:

  • Standar Nasional Pendidikan: regulasi yang menekankan kompetensi lulusan, isi kurikulum, proses, dan penilaian.
  • Kajian Akademik Kurikulum Merdeka (Kemendikbudristek, 2021–2023): dokumen evaluasi yang merekomendasikan revisi pada aspek KD, asesmen, dan pelatihan guru.
  • Khittah NU 1926: meski bukan regulasi negara, ia menjadi landasan moral-spiritual yang relevan. Khittah menekankan bahwa pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tapi juga transmisi nilai.

Masalah yang Teridentifikasi dalam Revisi Kurikulum 2024

Revisi kurikulum tidak serta merta menjawab semua persoalan. Justru, beberapa masalah lama muncul kembali dalam wajah baru. Guru, akademisi, hingga organisasi masyarakat sipil memberi sinyal waspada. NU melalui khittahnya mengingatkan bahwa kebijakan pendidikan harus maslahat, bukan sekadar tren.

Inkonsistensi Kompetensi Dasar

KD berubah terlalu sering sehingga membingungkan guru. Misalnya, beberapa kompetensi dihapus lalu muncul kembali dalam versi revisi dengan istilah berbeda.

Dalam bingkai NU, hal ini berlawanan dengan prinsip menjaga yang baik. Jika KD lama sudah terbukti bermanfaat, mengapa harus dihapus? Lebih baik memperbaiki pendekatan ketimbang merombak total.

Beban Guru dan Sumber Daya Pendidikan

  • Guru kerap jadi korban perubahan kebijakan. Mereka dituntut cepat beradaptasi tanpa bekal memadai.
  • Prinsip tadarruj (bertahap) dalam tradisi Islam mengajarkan perubahan harus perlahan, sesuai kesiapan umat. Revisi kurikulum yang tergesa justru melahirkan beban administratif baru, bukan peningkatan kualitas.

Kesenjangan Daerah dan Akses Teknologi

  • Sekolah di perkotaan cepat beradaptasi, sementara sekolah desa tertinggal. Akhirnya revisi hanya memperlebar ketimpangan.
  • Dalam Khittah NU, ini bertentangan dengan keadilan sosial. Pendidikan seharusnya menolong yang lemah, bukan hanya melayani yang sudah kuat.

Kritik Akademisi dan Praktisi

  • Akademisi mengkritik frekuensi perubahan kurikulum yang terlalu sering, sehingga bangsa tidak punya arah pendidikan jangka panjang.
  • Dalam perspektif NU, stabilitas lebih maslahat daripada inovasi yang berubah-ubah. Pendidikan bukan eksperimen politik, melainkan amanah peradaban.
Baca Juga  Life-Long Learning Berbasis Pancasila sebagai Strategi Mutu Pendidikan

Analisis Revisi Kurikulum Nasional Terbaru

Untuk melihat revisi ini secara objektif, kita perlu membandingkan pandangan praktisi, akademisi, dan perspektif Khittah NU 1926. Analisis ini membantu menemukan titik keseimbangan antara perubahan dan kesinambungan.

Perspektif Guru dan Praktisi Pendidikan

Guru di lapangan mengeluhkan revisi sebagai “banjir aturan tanpa payung.” Mereka terbebani administrasi dan kebingungan dengan KD baru. Namun, sebagian guru yang terbuka melihat peluang kreativitas, terutama jika revisi memberi ruang untuk inovasi pembelajaran berbasis lokal.

Perspektif Akademisi

Akademisi menekankan bahwa revisi harus berbasis data empiris, bukan sekadar idealisme. Kurikulum yang baik harus diuji secara longitudinal: bagaimana dampaknya terhadap hasil belajar, karakter, dan daya saing lulusan.

Perspektif Khittah NU 1926

Dalam Khittah, pendidikan adalah takhalli, tahalli, dan tajalli (pembersihan diri, pengisian nilai, dan refleksi keteladanan). Artinya:

  • Tradisi lama (kitab kuning, metode musyawarah, adab guru-murid) tetap relevan.
  • Hal baru (literasi digital, pedagogi aktif) harus diambil sejauh membawa kemaslahatan.
  • Kurikulum harus membentuk manusia berkarakter kebangsaan, bukan sekadar kompeten secara teknis.

Solusi Praktis untuk Implementasi Kurikulum 2024

Revisi kurikulum bisa menjadi berkah bila dijalankan dengan strategi yang tepat. Dalam bingkai Khittah NU, solusi harus maslahat, adil, dan gradual.

1. Pendekatan Bertahap

  • Uji coba terbatas sebelum implementasi nasional.
  • Berikan waktu transisi yang cukup, bukan sekadar satu tahun ajaran.
  • Sesuaikan jadwal implementasi dengan kesiapan guru dan sarana.

2. Penguatan Kompetensi Guru

  • Adakan pelatihan berbasis praktik, bukan sekadar teori.
  • Terapkan model halaqah guru ala pesantren, di mana guru bisa belajar bersama dan saling berbagi pengalaman.
  • Sertifikasi guru harus disertai mentoring berkelanjutan.

3. Keadilan Akses Pendidikan

  • Prioritaskan sekolah di pelosok dengan dukungan dana, buku, dan infrastruktur.
  • Libatkan ormas seperti NU dan Muhammadiyah dalam pendampingan sekolah.
  • Gunakan prinsip subsidi silang agar daerah tertinggal tidak tertinggal lebih jauh.
Baca Juga  Apakah Pendidikan Gratis Benar-Benar Efektif di Indonesia?

4. Monitoring dan Evaluasi Berkelanjutan

  • Libatkan komunitas guru, akademisi, dan ormas dalam evaluasi.
  • Jadikan data kuantitatif (hasil asesmen) dan data kualitatif (testimoni guru, orang tua, siswa) sebagai dasar evaluasi.
  • Sesuaikan kebijakan bila ditemukan masalah di lapangan, jangan tunggu hingga menumpuk.

Penutup

Revisi Kurikulum 2024 adalah cermin pergulatan bangsa dalam mencari arah pendidikan yang tepat. Di satu sisi, ada niat memperbaiki kualitas pembelajaran. Di sisi lain, muncul masalah inkonsistensi KD, beban guru, ketimpangan akses, hingga kritik akademis.

Jika dibaca melalui bingkai Khittah NU 1926, revisi kurikulum seharusnya menjadi jalan tengah antara tradisi dan modernitas. Pendidikan tidak boleh terjebak dalam euforia perubahan tanpa arah, tetapi juga tidak boleh kaku menolak hal baru. Ia harus menjaga tradisi lama yang baik—nilai adab, ilmu, dan kebangsaan—seraya mengambil inovasi yang membawa maslahat.

Dengan prinsip ini, revisi Kurikulum 2024 bisa menjadi transformasi nyata, bukan sekadar formalitas kebijakan.

Leave a Reply