Cirebonrayajeh.com – Pernahkah Anda berpikir bahwa kata-kata bisa lebih berkuasa daripada senjata? Dalam dunia sosial dan politik, apa yang kita anggap “benar”, “salah”, atau bahkan “normal” sering kali dibentuk bukan oleh fakta objektif, tetapi oleh cara sesuatu dibicarakan. Inilah yang disebut sebagai teori wacana, yang dikenalkan secara mendalam oleh Michel Foucault, seorang filsuf dan sejarawan asal Prancis.
Apa Itu Teori Wacana?
Wacana (discourse) bukan sekadar kata-kata atau kalimat. Dalam pandangan Foucault, wacana adalah cara tertentu membicarakan sesuatu yang menentukan bagaimana kita memahami realitas.
Contoh sederhana:
“Pengungsi adalah beban negara.” vs. “Pengungsi adalah korban yang perlu dilindungi.”
Kedua kalimat ini mencerminkan dua wacana berbeda. Wacana pertama menyudutkan, wacana kedua memberi empati. Cara kita berbicara menciptakan makna yang bisa memperkuat atau melawan kekuasaan.
1. Wacana Adalah Alat Kekuasaan
Foucault menjelaskan bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tapi juga alat kekuasaan. Dalam retorika politik, penggunaan kata-kata seperti “radikal”, “ancaman nasional”, atau “kaum malas” sering kali digunakan untuk mengontrol cara kita memandang kelompok tertentu.
Siapa yang mengontrol wacana, dia bisa mengontrol cara berpikir masyarakat.
2. Kekuasaan Tidak Selalu Menindas—Tapi Mengatur
Bagi Foucault, kekuasaan bukan hanya datang dari atas (pemerintah, polisi, militer). Kekuasaan juga hadir dalam bentuk aturan sosial, norma, pendidikan, agama, dan bahkan media. Semuanya menggunakan wacana untuk mempengaruhi kita secara halus.
Kita tidak dipaksa diam—tapi diarahkan untuk berbicara dalam batas-batas tertentu.
3. Siapa yang Boleh Bicara?
Dalam masyarakat, tidak semua orang diizinkan untuk bicara dan didengar. Ada sistem yang menentukan siapa yang dianggap “kompeten” untuk berbicara, dan siapa yang dianggap “tidak layak”.
Contohnya:
- Siapa yang dikutip dalam berita?
- Siapa yang ditampilkan di acara debat politik?
- Siapa yang suaranya tidak terdengar sama sekali?
Retorika bukan hanya soal berbicara, tapi juga soal siapa yang mendapat hak untuk mendefinisikan realitas.
4. Wacana Menciptakan Identitas
Foucault juga mengajarkan bahwa identitas kita dibentuk oleh wacana yang dominan. Kita menjadi “warga negara”, “pelajar”, “orang miskin”, “pengangguran”, atau “perempuan kuat” berdasarkan bagaimana masyarakat membingkai peran itu lewat bahasa.
Kita tidak hanya menggunakan bahasa untuk berbicara—kita juga dibentuk oleh bahasa yang digunakan pada kita.
5. Kebenaran Itu Dibentuk, Bukan Ditemukan
Foucault memperkenalkan konsep “rezim kebenaran”—yaitu sistem sosial dan institusi yang menentukan apa yang dianggap benar dalam suatu masyarakat.
Contoh:
- Dalam rezim kolonial, “tertinggal” digunakan untuk menyebut masyarakat lokal.
- Dalam rezim modern, “berdaya saing” menjadi kata sakti, padahal tidak semua daerah punya akses yang setara.
Kebenaran bukan mutlak. Ia dibentuk oleh siapa yang punya kuasa atas narasi.
Menyikapi Informasi dari Media Online: Pendekatan Kritis
Di era digital, media online menjadi sumber utama kita mengetahui peristiwa dunia. Namun, apakah semua informasi benar-benar netral? Menurut teori wacana Foucault, media adalah bagian dari mekanisme produksi wacana.
1. Media Bukan Cermin Realitas, Tapi Produsen Wacana
Media tidak hanya “melaporkan”, tapi juga membingkai fakta:
- Siapa yang dikutip?
- Apa istilah yang digunakan?
- Sudut pandang mana yang ditonjolkan?
Contoh: “Demonstran anarkis” vs. “Massa rakyat yang menuntut keadilan.”
2. Netralitas Media Bisa Menyembunyikan Bias
Banyak media mengklaim netral, padahal tetap beroperasi dalam kerangka ideologi tertentu. Mereka menjadi bagian dari “rezim kebenaran” yang membentuk persepsi publik.
Jangan langsung percaya hanya karena berita berasal dari media besar. Cari ragam sumber dan perspektif.
3. Label Adalah Senjata Kekuasaan
Perhatikan istilah yang digunakan:
- “Teroris”, “pembangkang”, “ilegal”—semua membawa konsekuensi sosial.
Label bisa membungkam, menggiring opini, bahkan mengkriminalisasi.
4. Apa yang Tidak Dikatakan Juga Penting
Foucault mengingatkan bahwa kekuasaan juga bekerja lewat keheningan. Suara kelompok minoritas sering kali tidak diberi ruang dalam media arus utama.
Tanyakan: Siapa yang tidak dimunculkan dalam berita ini? Mengapa?
5. Membangun Kontra-Wacana
Warga bisa menciptakan narasi tandingan:
- Menulis opini alternatif.
- Membagikan perspektif dari akar rumput.
- Mengangkat suara yang tidak terlihat.
Literasi media adalah literasi kekuasaan.
Kesimpulan
Dengan memahami teori wacana Foucault, kita belajar bahwa:
- Bahasa membentuk realitas.
- Media tidak netral, melainkan bagian dari sistem kekuasaan.
- Menjadi pembaca yang sadar wacana = menjadi warga yang kritis dan berdaya.
“Di mana ada wacana dominan, di situ selalu ada kemungkinan perlawanan.” – Michel Foucault
Aksi Nyata Hari Ini
- ✅ Periksa narasi dalam berita yang Anda baca.
- ✅ Ikuti media alternatif yang memberi ruang suara marjinal.
- ✅ Diskusikan isu-isu sosial-politik dengan kacamata wacana.
- ✅ Jadilah produsen wacana: tulis, rekam, dan suarakan keadilan.