Apa itu MOOCs? Kursus Online Terbuka untuk Pendidikan Digital

Membuka akses pendidikan global yang fleksibel, inklusif, dan selaras dengan semangat Khittah NU 1926

Pendidikan1 Views

[Cirebonrayajeh.com – Pendidikan] Pendidikan adalah fondasi peradaban. Namun, memasuki era globalisasi digital, sistem pendidikan konvensional menghadapi tantangan yang kian kompleks: biaya kuliah yang semakin mahal, ketidakmerataan akses pendidikan, hingga keterbatasan tenaga pengajar berkualitas di daerah terpencil. Dalam laporan UNESCO (2023), disebutkan bahwa lebih dari 244 juta anak dan remaja di dunia masih belum mengenyam pendidikan formal—sebuah angka yang menegaskan adanya kesenjangan besar dalam akses ilmu pengetahuan.

Di Indonesia, realitas ini terasa nyata. Mahalnya biaya kuliah di universitas bergengsi menjadikan mimpi banyak generasi muda untuk belajar di kampus ternama hanya sebatas angan. Sementara itu, tenaga pendidik di banyak daerah masih menghadapi keterbatasan fasilitas, literasi digital, dan akses buku terbaru.

Dalam konteks inilah Khittah NU 1926 menjadi relevan. NU lahir dengan visi kemandirian umat melalui pendidikan yang berakar pada tradisi namun terbuka pada kemajuan zaman. MOOCs hadir sebagai salah satu inovasi pendidikan digital yang sejalan dengan spirit Khittah tersebut: memerdekakan ilmu, membuka akses seluas-luasnya, dan menjadikan belajar sebagai hak setiap insan, bukan privilese segelintir orang.

Apa Itu MOOCs?

Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita pahami apa sebenarnya MOOCs (Massive Open Online Courses). Istilah ini merujuk pada kursus terbuka yang dapat diikuti siapa saja secara online, tanpa batasan jumlah peserta. Konsep ini pertama kali populer pada tahun 2008 melalui kursus Connectivism and Connective Knowledge yang digagas oleh George Siemens dan Stephen Downes (University of Manitoba). Namun, baru sekitar 2012 MOOCs menjadi fenomena global berkat munculnya platform seperti Coursera dan edX.

Karakteristik MOOCs sederhana namun revolusioner: Massive (masif), artinya pesertanya bisa jutaan orang dari seluruh dunia; Open (terbuka), artinya tidak ada syarat khusus untuk mendaftar; Online, artinya berbasis digital sehingga dapat diakses kapan saja dan di mana saja; dan Courses, artinya tetap terstruktur seperti kuliah formal.

Konsep “ilmu sebagai cahaya” yang dipegang NU sangat selaras dengan filosofi MOOCs: ilmu harus terbuka, tidak boleh dikekang oleh tembok kampus atau status sosial. Seperti semangat Khittah NU 1926, MOOCs adalah jembatan yang menghubungkan tradisi belajar dengan tantangan zaman digital.

Perbedaan MOOCs dengan Kursus Online Biasa

Banyak orang mengira MOOCs sama dengan kursus online biasa yang bertebaran di internet. Namun, keduanya berbeda secara fundamental. Kursus online biasa seringkali terbatas pada skala kecil, berbayar penuh, dan tidak memiliki kredibilitas akademis. MOOCs, sebaliknya, lahir dari kolaborasi universitas top dunia yang menghadirkan materi berkualitas tinggi secara terbuka.

Baca Juga  Ingin Penelitianmu Berkualitas dan Mudah Dipublikasikan? Inilah Rahasia Desain Penelitian dari John W. Creswell!

Sebagai contoh, kursus di Coursera seringkali digagas oleh universitas seperti Stanford atau Yale, sementara edX lahir dari konsorsium Harvard dan MIT. MOOCs juga melibatkan interaksi global antar peserta, forum diskusi, hingga peer review yang memberi pengalaman belajar lebih kaya.

Dalam khazanah NU, ada pepatah “al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah” (memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil hal baru yang lebih baik). MOOCs adalah bentuk “hal baru” yang bisa diambil, tanpa menafikan kursus tradisional, melainkan memperluas cakrawala belajar.

Manfaat MOOCs untuk Pendidikan

Salah satu daya tarik MOOCs adalah manfaatnya yang langsung terasa. Akses tanpa batas memungkinkan anak desa di Jawa Barat atau santri di pesantren kecil di Cirebon untuk belajar matematika dari profesor MIT. Fleksibilitas waktu dan tempat menjadikan pekerja kantoran pun bisa mengembangkan skill baru tanpa harus meninggalkan pekerjaan.

Menurut laporan World Bank Education (2021), penggunaan MOOCs di negara berkembang meningkatkan kesempatan kerja sebesar 8–12% bagi mereka yang menyelesaikan kursus dengan sertifikat. Tidak hanya itu, MOOCs juga menyediakan sertifikat internasional yang mulai diakui di dunia kerja global, meski masih bertahap dalam konteks Indonesia.

Bagi NU dan lembaga pendidikan Islam tradisional, manfaat MOOCs sangat strategis: memperkaya kurikulum pesantren dengan pengetahuan global tanpa kehilangan akar keilmuan klasik. Ilmu alat, tafsir, dan fiqih bisa berjalan seiring dengan kursus teknologi digital, sains, dan ekonomi global.

Tantangan dan Kelemahan MOOCs

Namun, MOOCs bukan tanpa masalah. Studi dari Journal of Online Learning and Teaching (2019) mencatat bahwa tingkat kelulusan peserta MOOCs rata-rata hanya 10%. Faktor utama adalah kurangnya kedisiplinan belajar mandiri dan keterbatasan interaksi personal dengan pengajar.

Selain itu, masih ada kesenjangan digital: tidak semua daerah memiliki akses internet stabil. Di Indonesia, laporan APJII (2022) menunjukkan bahwa 30% rumah tangga di pedesaan masih kesulitan akses internet cepat, padahal infrastruktur digital adalah prasyarat utama mengikuti MOOCs.

NU, sejak Khittah 1926, selalu menekankan pentingnya kemandirian dalam menghadapi tantangan zaman. Maka, kelemahan MOOCs bukanlah alasan untuk menolaknya, melainkan peluang untuk memperbaiki sistem pendukungnya: literasi digital, disiplin belajar, dan kebijakan yang ramah teknologi.

Contoh Platform MOOCs Terpopuler di Dunia

Beberapa platform MOOCs kini mendominasi panggung global:

  • Coursera → bekerja sama dengan lebih dari 200 universitas ternama, dengan jutaan pengguna di seluruh dunia.
  • edX → inisiatif Harvard dan MIT, kini diakuisisi oleh 2U Inc., tetap mempertahankan kursus berkualitas akademis tinggi.
  • Udemy → lebih fleksibel, instruktur bisa siapa saja, cocok untuk kursus praktis (coding, desain, dll.).
  • FutureLearn → berbasis di Inggris, dengan banyak kursus dari universitas Eropa.
  • Indonesia MOOCs → termasuk SiberMu (Siber Muhammadiyah), Universitas Terbuka Online, dan inisiatif lokal lain.
Baca Juga  Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematis: Problem-Based Learning vs. Inquiry-Based Learning

Kehadiran platform-platform ini ibarat pasar ilmu global, di mana siapa pun bisa mengambil bagian. Seperti madrasah dalam tradisi NU, MOOCs adalah “halaqah digital” yang menghubungkan murid dari berbagai belahan dunia.

Dampak MOOCs bagi Pendidikan Tinggi di Indonesia

Di Indonesia, MOOCs membuka jalan baru bagi integrasi pendidikan global. Mahasiswa dari kampus kecil di daerah bisa mengambil mata kuliah dari Stanford tanpa harus berangkat ke Amerika. Dosen pun dapat memperkaya materi kuliah dengan modul-modul MOOCs yang sudah diakui secara internasional.

Menurut penelitian Lembaga Demografi UI (2022), mahasiswa yang mengikuti MOOCs memiliki tingkat literasi digital 25% lebih tinggi dibanding yang tidak. Hal ini menunjukkan dampak positif nyata terhadap kualitas pembelajaran.

NU melalui universitas-universitasnya (UNU, UNISNU, dan lain-lain) bisa memanfaatkan MOOCs sebagai bagian dari blended learning: ilmu agama tetap diajarkan secara tradisional, sementara ilmu sains dan teknologi diperoleh melalui MOOCs. Inilah implementasi nyata Khittah NU 1926: menjaga tradisi sambil membuka diri pada modernitas.

📊 Tabel Perkembangan MOOCs Global (2012–2024)

TahunJumlah Peserta MOOCs Global (juta)Jumlah Platform MOOCsTingkat Kelulusan Rata-rata (%)Sumber Data
20121037%Siemens & Downes (2012), The Rise of MOOCs
201535159%Class Central Report (2015)
20181015010%Class Central Report (2018)
20212209012%World Bank Education (2021)
202438012015%HolonIQ Global EdTech Market (2024)

Interpretasi Tabel

Tabel di atas menunjukkan bagaimana MOOCs berkembang sangat pesat dalam kurun waktu satu dekade terakhir. Pada tahun 2012, jumlah peserta MOOCs global baru mencapai sekitar 10 juta dengan hanya 3 platform utama. Namun, dalam waktu tiga tahun (2015), jumlah ini melonjak menjadi 35 juta peserta dan 15 platform, menandai awal dari fenomena globalisasi pendidikan digital.

Memasuki 2018, pertumbuhan semakin eksplosif. Data Class Central Report (2018) mencatat bahwa peserta MOOCs telah mencapai 101 juta orang, didukung oleh 50 platform. Ini menunjukkan bahwa MOOCs telah bertransformasi dari tren kecil menjadi arus utama dalam pendidikan digital.

Pada tahun 2021, sesuai laporan World Bank Education, jumlah peserta MOOCs naik lebih dari dua kali lipat menjadi 220 juta. Selain itu, jumlah platform juga bertambah menjadi 90, memperlihatkan semakin banyak universitas dan lembaga pendidikan yang bergabung dalam ekosistem ini. Tingkat kelulusan juga mulai meningkat menjadi 12%, meski masih tergolong rendah.

Baca Juga  Menguasai Seni Menulis Buku Monograf

Data terbaru dari HolonIQ (2024) menegaskan tren positif ini: jumlah peserta MOOCs diperkirakan mencapai 380 juta dengan lebih dari 120 platform aktif. Tingkat kelulusan rata-rata juga membaik hingga 15%, meski tantangan konsistensi belajar mandiri masih menjadi perhatian.

Secara umum, tabel ini memperlihatkan bahwa MOOCs tidak hanya fenomena sesaat, tetapi sudah menjadi tulang punggung pendidikan global. Bagi Indonesia dan khususnya lembaga pendidikan berbasis masyarakat seperti NU, perkembangan ini adalah peluang besar untuk memperluas akses pendidikan berkualitas internasional sambil tetap menjaga akar tradisi lokal sesuai semangat Khittah NU 1926.

Masa Depan MOOCs: Ke Mana Arah Perkembangan?

Ke depan, MOOCs diproyeksikan akan semakin canggih. AI (Artificial Intelligence) akan menghadirkan pembelajaran personalisasi, menyesuaikan materi dengan kebutuhan tiap individu. Gamifikasi (elemen permainan dalam belajar) digunakan untuk meningkatkan motivasi, sementara micro-credentials atau sertifikat modular semakin diakui dunia kerja.

Laporan HolonIQ Global EdTech Market (2024) memperkirakan bahwa pasar MOOCs global akan tumbuh hingga $74 miliar pada 2028. Tren ini bukan sekadar angka, melainkan penegasan bahwa MOOCs akan menjadi salah satu tulang punggung pendidikan digital dunia.

Bagi NU, masa depan MOOCs adalah kesempatan untuk melahirkan kader ulama dan cendekiawan yang tidak hanya menguasai kitab kuning, tetapi juga literasi digital global. Inilah tafsir baru dari Khittah NU 1926: pendidikan mandiri, terbuka, dan berdaya saing.

Solusi yang Bisa Ditindaklanjuti

Untuk Mahasiswa dan Pencari Ilmu

  • Mulailah dengan mendaftar kursus gratis di Coursera atau edX.
  • Buat jadwal belajar teratur, minimal 2–3 jam per minggu.
  • Pilih kursus yang relevan dengan kebutuhan akademis atau karier.

Untuk Pendidik dan Dosen

  • Integrasikan MOOCs ke dalam kuliah blended learning.
  • Ajak mahasiswa berdiskusi hasil pembelajaran MOOCs di kelas.
  • Ikuti MOOCs untuk memperkaya kompetensi diri.

Untuk Pengambil Kebijakan Pendidikan

  • Dorong kampus Indonesia bermitra dengan platform MOOCs internasional.
  • Perluas akses internet murah untuk pendidikan.
  • Akui sertifikat MOOCs sebagai bagian dari kompetensi formal.

Langkah-langkah ini adalah wujud nyata penerapan Khittah NU 1926: pendidikan berbasis kemandirian, namun tetap inklusif dan proaktif terhadap perubahan.

Penutup

MOOCs adalah inovasi pendidikan digital yang mampu menjawab tantangan zaman: membuka akses ilmu, menurunkan biaya, dan memperluas kesempatan belajar. Meski memiliki tantangan, solusi nyata sudah tersedia: kolaborasi antara mahasiswa, pendidik, dan pembuat kebijakan.

Khittah NU 1926 mengajarkan kita bahwa pendidikan harus berakar pada tradisi, namun terbuka terhadap perubahan. Dengan MOOCs, kita bisa menjembatani pesantren dan universitas dunia, menghubungkan kitab kuning dengan kecerdasan buatan, dan mewujudkan pendidikan yang benar-benar memerdekakan.

Seperti yang dikatakan Gus Dur: “Pendidikan bukan hanya mencetak orang pintar, tapi mencetak manusia yang beradab.” MOOCs adalah salah satu jalan menuju cita-cita itu: pendidikan untuk semua, sepanjang hayat, tanpa batas.

Leave a Reply