Apa Maksud di Balik “Serakahnomics”? Membaca Ulang Retorika Ekonomi Presiden Prabowo

Mengupas makna retorika “serakahnomics” dalam pidato Presiden Prabowo dan bagaimana media membingkai isu ekonomi secara sepihak.

Berita8 Views

Beberapa hari lalu, Presiden Prabowo menyampaikan pidato dalam peringatan ulang tahun PKB ke-27. Di situ, ia bicara banyak soal ekonomi—khususnya tentang bagaimana negara harus melindungi cabang produksi penting seperti pangan. Tapi yang paling menyita perhatian adalah satu istilah baru yang ia lontarkan: “serakahnomics.”

Kata ini langsung jadi tajuk berita di mana-mana. Media memuatnya sebagai headline, politikus menanggapinya, dan media sosial penuh dengan komentar. Tapi sebelum kita ikut arus, mari kita berhenti sebentar dan bertanya:

Apa sebenarnya yang dikatakan Presiden? Bagaimana media membingkainya? Dan apa yang bisa kita pelajari dari semuanya ini?

Membongkar Arti di Balik “Serakahnomics”

Presiden menyebutkan istilah ini saat mengkritik praktik spekulan dalam distribusi pangan. Ia menyoroti bagaimana beras bersubsidi bisa berubah jadi “beras premium” dengan harga yang jauh lebih tinggi. Dalam konteks itu, “serakahnomics” menggambarkan keserakahan dalam sistem ekonomi yang, menurutnya, merugikan rakyat.

Secara bahasa, ini cerdas. Kata ini ringkas, mudah diingat, dan punya daya pukul emosional. Ini jenis istilah yang langsung menarik perhatian publik—mirip seperti “trickle-down economics” atau “greedflation” yang sering muncul di luar negeri.

Namun, justru di sinilah letak masalahnya.

Jika hanya berhenti di istilah yang catchy, publik bisa terjebak pada label, tanpa sempat bertanya:
Apa yang sebenarnya sedang dibahas? Siapa yang dimaksud serakah? Bagaimana sistem ekonomi kita memungkinkan itu terjadi?

Apa yang Disampaikan Media?

Kita lihat salah satu sumber resmi: situs PresidenRI.go.id. Artikel beritanya fokus menyoroti pidato Presiden secara utuh, banyak kutipan langsung, dan jelas membangun narasi: Presiden peduli rakyat, lawan spekulan, lindungi cabang produksi.

Baca Juga  Strategi UMKM Menghadapi Tantangan Gelombang PHK di Indonesia

Tapi, ada beberapa catatan penting di sini:

1. Hanya Satu Suara

Berita hanya menampilkan pernyataan Presiden. Tidak ada tanggapan dari pelaku usaha, petani, pakar ekonomi, atau institusi lain. Kita tidak tahu apa kata Kementerian Pertanian, BULOG, atau para ekonom soal “serakahnomics”.

2. Klaim Besar, Tanpa Data Tambahan

Presiden menyebut angka kerugian negara akibat manipulasi beras mencapai Rp100 triliun per tahun. Tapi tidak dijelaskan darimana angka itu berasal. Apakah dari audit BPK? Kajian akademik? Atau estimasi internal pemerintah?

3. Kurang Konteks Kebijakan

Pidato ini tidak dijelaskan dalam konteks program kerja atau solusi konkret. Apakah ini sinyal revisi kebijakan? Atau penegakan hukum semata?

Kekuatan dan Kelemahan Isi Pidato

Kekuatan (Hal Positif)

  1. Tegas dan Langsung ke Inti Masalah
    Presiden tidak berbicara dalam bahasa teknis yang rumit. Ia menyebut masalahnya langsung: spekulan, subsidi, dan rakyat dirugikan.
  2. Mengutip Konstitusi
    Referensi ke Pasal 33 UUD 1945 menunjukkan bahwa Presiden mencoba mengembalikan arah kebijakan ekonomi ke dasar hukum negara.
  3. Memerintahkan Tindakan Nyata
    Presiden tidak hanya bicara. Ia menyatakan sudah memberi perintah ke Kapolri dan Jaksa Agung untuk bertindak. Ini menunjukkan keseriusan.

Kelemahan (Hal Negatif)

  1. Istilah Emosional, Tapi Tidak Dijelaskan
    “Serakahnomics” menarik secara retoris, tapi tidak jelas siapa pelakunya, apa indikatornya, dan bagaimana cara mengatasinya.
  2. Tidak Ada Perspektif Lain
    Tidak ada ruang bagi pandangan pihak lain dalam berita tersebut. Ini membuat publik hanya mendapat satu versi realitas.
  3. Data Tidak Terverifikasi
    Klaim angka kerugian besar tanpa sumber jelas bisa menurunkan kepercayaan publik terhadap validitas pernyataan tersebut.
  4. Minim Penjelasan Sistemik
    Mengapa distribusi beras bisa rusak? Apa peran pemerintah daerah? Bagaimana logistik pangan bekerja? Tidak ada penjelasan tentang ini.
Baca Juga  Transformasi Bulog Menjadi Badan Otonom: Dampak dan Harapan bagi UMKM

Apa yang Bisa Dilakukan Media?

Media punya peran penting. Bukan hanya sebagai penyampai pesan, tapi juga sebagai pengurai makna. Dalam kasus seperti ini, seharusnya media bisa:

  • Menghadirkan suara lain – Pelaku usaha, petani, pakar, dan masyarakat.
  • Memverifikasi klaim – Cari sumber data, tanyakan ke lembaga negara.
  • Memberikan konteks – Misalnya, menjelaskan sejarah distribusi pangan di Indonesia.
  • Menyediakan edukasi publik – Apa itu subsidi? Bagaimana pasar bekerja? Kenapa harga bisa naik?

Tanpa semua itu, media hanya menjadi pengeras suara kekuasaan, bukan penyaringnya.

Apa yang Bisa Dilakukan Pembaca?

Sebagai pembaca, kita juga punya tanggung jawab. Jangan langsung percaya atau menolak. Cobalah:

  • Baca lebih dari satu sumber.
  • Tanyakan hal-hal yang belum dijawab.
  • Bedakan antara opini dan fakta.
  • Lihat bagaimana berita disusun dan apa yang tidak ditampilkan.

Karena di era ini, masalah bukan lagi kekurangan informasi. Tapi kelebihan informasi yang belum tentu akurat.

Akhir Kata: Lebih dari Sekadar Pidato

Pidato Presiden Prabowo soal “serakahnomics” jelas punya daya pukul tinggi. Ia berbicara dengan semangat, membela rakyat kecil, dan mengingatkan kita semua bahwa negara punya tanggung jawab atas produksi strategis.

Tapi kita juga perlu sadar: pidato politik adalah panggung. Dan seperti semua panggung, yang tampak belum tentu keseluruhan cerita.

Sebagai pembaca, tugas kita bukan hanya mendengar. Tapi juga membaca ulang, menganalisis, dan bertanya:
Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

Leave a Reply