[Cirebonrayajeh.com – Presiden Prabowo Subianto] Pada 23 September 2025, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato dalam Multilateral Meeting on the Middle East di Dewan Keamanan PBB dan mendapat pujian publik dari Presiden Donald Trump: “You did a great job … Anda melakukan pekerjaan yang luar biasa dengan mengetukkan tangan di meja itu.” Momen ini menjadi sorotan diplomasi Indonesia internasional. Artikel ini mengkaji makna simbolik gaya komunikasi tersebut, relasinya dengan nilai-nilai Khittah NU 1926 (keadilan, keberpihakan, moderasi), dan implikasi kebijakan luar negeri. Pendekatan News Policy Review digunakan untuk menghubungkan wacana publik dan kebijakan diplomasi, sedangkan kerangka nilai NU memberikan fondasi moral. Dengan memanfaatkan pustaka nyata (Effendi Ghazali, Rizal Sukma, literatur komunikasi politik, Islam Nusantara), artikel ini juga mengemukakan kritik konstruktif terkait keseimbangan simbol dan substansi dalam diplomasi Indonesia modern.
Peristiwa ketika Presiden Prabowo Subianto mengetuk meja dalam pidatonya di forum PBB, dan kemudian dipuji secara terbuka oleh Presiden AS Donald Trump dengan kata-kata: “You did a great job … Anda melakukan pekerjaan yang luar biasa dengan mengetukkan tangan di meja itu.” menarik perhatian media dan pengamat diplomasi. Apresiasi tersebut bukan hanya bersifat personal; dalam konteks diplomasi publik, ia menjadi sinyal simbolik yang dapat memengaruhi citra dan kredibilitas Indonesia di mata dunia.
Namun, simbol gaya diplomatik semacam itu harus dibaca kritis: apakah ia menunjuk pada kekuatan diplomasi nyata atau “tampilan” kebijakan? Untuk menjawab, diperlukan intervensi kerangka nilai — dalam konteks ini saya menggunakan Khittah NU 1926, yang menekankan keberpihakan terhadap umat, keadilan universal, dan moderasi. Artikel ini menyajikan analisis yang menggabungkan: (1) aspek retoris dan simbolik komunikasi politik; (2) konteks diplomasi Indonesia dan peran Islam/Nahdlatul Ulama; (3) kritik terhadap ketergantungan pada simbol tanpa isi; dan (4) implikasi kebijakan luar negeri ke depan.
Artikel disusun dengan alur: konteks diplomasi dan NU → landasan Khittah -> analisis komunikasi politik & simbolisme → studi kasus pidato Prabowo dan pujian Trump → kritik dan rekomendasi kebijakan → penutup. Setiap bagian menggunakan referensi yang dapat diverifikasi dari literatur akademik dan jurnal.
Konteks Diplomasi Indonesia dan Relevansi NU
Indonesia memiliki tradisi diplomasi aktif sejak era kemerdekaan, berupaya menjembatani negara-negara berkembang, dan menjaga prinsip bebas aktif. Dalam konteks dunia Muslim, peran Islam kadang menjadi variabel politik dalam diplomasi. Rizal Sukma dalam Islam in Indonesian Foreign Policy menjelaskan bahwa pengaruh Islam terhadap kebijakan luar negeri Indonesia tetap bersifat sekunder karena dilema identitas ganda dan kelemahan domestik.
Sementara itu, NU sebagai organisasi Islam tradisional terbesar di Indonesia telah mendorong gagasan Islam Nusantara — bentuk Islam moderat, kontekstual, dan pluralis. Islam Nusantara menolak fundamentalisme ekstrem dan menjadikan tradisi lokal sebagai sumber interpretasi ajaran Islam.
Karena NU memiliki basis massa luas dan jaringan sosial keagamaan yang kuat, nilai-nilainya sering menjadi rujukan moral dalam wacana keumatan dan negara. Dengan demikian, diplomasi seorang Presiden yang mendapat dukungan atau simpati publik NU harus diperiksa sejauh mana ia merefleksikan nilai-nilai itu, terutama dalam konteks forum internasional yang sangat sensitif.
Landasan Filosofis dan Politik Kebangsaan
Khittah NU 1926 merujuk pada keputusan NU saat muktamar tahun 1926 bahwa organisasi ini harus bersikap nonpartisan, menjaga ukhuwah Islamiyah dan kebangsaan, serta berorientasi dakwah dan sosial, bukan bergerak sebagai partai politik formal.
Nilai inti dalam khittah tersebut meliputi:
- Moderasi — menghindari ekstremisme dan berusaha menjembatani berbagai pemikiran
- Keberpihakan kepada keadilan — terutama kepada masyarakat tertindas dan umat secara umum
- Kebangsaan — nasionalisme yang inklusif dan menghormati keberagaman
Dalam konteks diplomasi, Khittah NU 1926 menawarkan landasan bahwa Indonesia sebagai negara Muslim dapat mengambil posisi beretika dan tidak terjebak dalam bipolaritas blok global. Nilai-nilai moderasi dan keadilan memberikan pijakan moral ketika menghadapi konflik global seperti Timur Tengah, di mana retorika dan posisi diplomatik dapat diuji.
Komunikasi Politik dan Simbolisme Diplomasi
Teori Komunikasi Politik dan Media
Effendi Ghazali dalam artikelnya Interaksi Politik dan Media: Dari Komunikasi Politik ke Politik Komunikasi menyoroti bahwa mode analisis komunikasi politik telah bergeser: dari communication of politics (media sebagai alat penyampai politik) menjadi politics of communication (materi politik dikontekstualisasikan dalam media).
Dalam kerangka ini, gestur simbolik (seperti mengetuk meja) menjadi bagian dari strategi politics of communication — bukan hanya cara berbicara, tetapi cara politik menampilkan citra dan identitas. Selain itu, Kamaruddin dalam analisis pencitraan politik menyebut bahwa simbol visual dan gestur seringkali lebih melekat dalam memori audiens dibanding argumen verbal yang panjang.
Repository Unimal
Simbol vs Substansi
Simbol komunikasi memiliki kekuatan untuk membentuk persepsi — tetapi jika tidak diimbangi substansi, bisa berubah menjadi retorika kosong. Dalam diplomasi, pengamat sering membedakan antara diplomasi simbolik dan diplomasi substantif. Diplomasi simbolik terjadi ketika negara menggunakan citra, kecenderungan retorika, atau aksi simbolik untuk menarik perhatian internasional. Diplomasi substantif berkaitan dengan kebijakan konkret, kapasitas diplomatik, bantuan, mediasi, dan konsistensi.
Gestur mengetuk meja dalam konteks pidato PBB dapat dibaca sebagai upaya menciptakan momen dramatis agar pesan retorika lebih diterima dan mencolok. Tetapi perlu dilihat: apakah isi pidato memuat gagasan solusi konkret atau hanya retorika moral?
Pidato Prabowo dan Pujian Trump
Berikut adalah kutipan langsung dari berita:
“Anda juga, sahabatku. Pidato yang hebat. Anda melakukan pekerjaan yang luar biasa dengan mengetukkan tangan di meja itu. Anda melakukan pekerjaan yang luar biasa. Terima kasih banyak,” ujar Presiden Trump sembari menoleh ke arah Presiden Prabowo.
Kutipan ini menjadi titik pusat simbolik. Tidak banyak presiden Amerika Serikat yang memberikan pujian langsung terhadap cara penyampaian gestur fisik seperti mengetuk meja. Hal ini menunjukkan bahwa Trump melihat gestur tersebut sebagai sesuatu yang mencolok dan bernilai simbol.
Makna Simbolik Pujian
Pujian itu bisa dimaknai sebagai legitimasi simbolik: AS secara tidak langsung mengakui kepemimpinan Indonesia dalam forum global. Dalam jargon diplomasi, ini adalah soft praise yang tidak mengikat kebijakan tetapi meningkatkan wibawa simbolis.
Analisis Substansi Pidato
Agar pujian tidak sekadar citra, penting memeriksa: apakah pidato Prabowo menyampaikan gagasan konkret tentang perdamaian, mediasi, distribusi bantuan, status Palestina, kesetaraan global? Apabila pidato hanya berisi retorika moral (keadilan, penderitaan, solidaritas), maka simbol mengetuk meja menjadi pemoles narasi.
Dalam literatur diplomasi Islam-politik, banyak negara muslim menghadapi dilema retorika moral vs tindakan konkret (misalnya membantu rekonstruksi, diplomasi trilateral). Muhammad Hafez dan Saiful Mujani (dalam kajian-kajian Islam moderat) menunjukkan bahwa negara-negara muslim cenderung memperoleh legitimasi domestik melalui retorika keagamaan, tetapi di arena internasional legitimasi itu diuji oleh tindakan nyata.
Implikasi Diplomasi Simbolik terhadap Kebijakan Luar Negeri
Simbol diplomatik bisa membuka peluang, tetapi juga memiliki risiko:
- Penguatan citra diplomatik
Ketika Indonesia tampil tegas, maka secara symbolic ia mendapat perhatian dan legitimasinya meningkat. Pujian Trump bisa memperkuat persepsi bahwa Indonesia kini menjadi pemain lebih berpengaruh di forum global. - Ekspektasi tinggi
Dengan simbol keberanian, publik dan aktor internasional akan menaruh ekspektasi agar Indonesia tidak hanya tampil keren, tetapi juga berkontribusi nyata: mediasi konflik, bantuan kemanusiaan, diplomasi struktur. - Risiko inkonsistensi
Apabila tindakan diplomasi dalam jangka panjang tidak konsisten dengan simbol-simbol, citra bisa runtuh. Negara lain mungkin membaca bahwa gaya komunikasi berapi-api belaka tanpa kapasitas atau komitmen. - Posisi sebagai jembatan global
Simbol semacam ini membuka peluang Indonesia untuk mengambangkan posisi jembatan Utara–Selatan dan Barat–Timur. Namun, untuk mewujudkannya, Indonesia perlu kapasitas diplomatik, pengaruh rezim, dan konsistensi kebijakan.
Kritik Konstruktif: Antara Simbol dan Substansi
Berdasarkan literatur dan prinsip Khittah NU 1926, berikut beberapa catatan kritis:
- Keseimbangan moral dan teknis
Nilai keadilan NU mengharuskan bahwa simbol bukan hanya ekspresi moral, tetapi harus dilandasi kebijakan teknis: skema bantuan, mediasi konkret, dialog struktural. - Moderasi sebagai kontrol simbol
Khittah NU menganjurkan moderasi; sehingga gestur komunikatif tidak boleh melampaui batas sehingga menjadi provokatif atau kontraproduktif. Gaya tegas harus diimbangi etika diplomat dan norma diplomasi. - Domestik dan internasional harus sinkron
Diplomasi tidak terjadi di ruang hampa. Isu dalam negeri (kesejahteraan umat, toleransi, konflik domestik) perlu diselesaikan agar diplomasi keluar tidak tampak hipokrit. NU menekankan bahwa dakwah dan keumatan harus menjadi basis internal. - Institusionalisasi diplomasi keumatan
Untuk memperkuat simbol, NU dan pemerintah bisa membangun mekanisme diplomasi keagamaan (Islam Nusantara diplomacy) yang terstruktur — tim konsultan nilai, jaringan ulama internasional, dan platform dialog agama global. - Evaluasi berkelanjutan
Simbol diplomatik harus dievaluasi: apakah pesan diterima, apakah ada backlash, apakah kebijakan berjalan sejajar. Jika simbol gagal didukung kapasitas struktural, itu bisa menjadi bumerang reputasi.
Penutup
Momen ketika Presiden Prabowo mengetuk meja dalam pidatonya di PBB dan menerima pujian dari Presiden Trump adalah contoh diplomasi simbolik yang menyentuh ranah persepsi global. Dalam bingkai Khittah NU 1926, momen tersebut harus dibaca tidak semata sebagai kegemerlapan citra, melainkan sebagai ujian apakah simbol itu bisa diterjemahkan ke tindakan nyata yang berpihak kepada keadilan dan kepentingan umat.
Analisis menunjukkan bahwa simbol kuat saja tidak cukup; Indonesia harus menyodorkan substansi diplomasi melalui bantuan nyata, mediasi konflik, dialog antaragama, dan konsistensi kebijakan luar negeri. Nilai moderasi dan kebangsaan dari NU memberi fondasi moral agar diplomasi bukan sekadar bergaya, tapi punya arah dan dampak.
Seiring Indonesia memperkuat profil globalnya, simbol dan substansi harus berjalan beriringan. Kita membutuhkan diplomasi bermartabat yang tidak hanya menarik pujian, tetapi memberikan kontribusi konkret terhadap perdamaian dan keadilan dunia — sesuai khittah bahwa NU tidak bergerak sebagai partisan politik, tetapi sebagai gerakan nilai untuk umat dan bangsa.
Referensi
[1] E. Ghazali, “Interaksi Politik dan Media: Dari Komunikasi Politik ke Politik Komunikasi,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JSP), vol. 8, no. 1, 2004. DOI: 10.22146/jsp.11058. [Online]. Available: https://jurnal.ugm.ac.id/jsp/article/view/11058
[2] R. Sukma, Islam in Indonesian Foreign Policy: Domestic Weakness and the Dilemma of Dual Identity, Routledge, 1st ed. 2003. DOI: 10.4324/9780203634202. [Online preview / information page]. Available: https://www.taylorfrancis.com/books/mono/10.4324/9780203634202/islam-indonesian-foreign-policy-rizal-sukma
[3] R. Sukma, Islam in Indonesian Foreign Policy, Routledge. [PDF preview / scan via institutional repository]. Available: https://lmsspada.kemdiktisaintek.go.id/pluginfile.php/545117/mod_resource/content/2/Rizal%20Sukma%20-%20Islam%20in%20Indonesian%20Foreign%20Policy_%20Domestic%20Weakness%20and%20Dilemma%20of%20Dual%20Identity%20%28Routledgecurzon%20Politics%20in%20Asia%20Series%29%20%282003%29%20%281%29.pdf
[4] E. Ghazali, “Menuntut Kelengkapan Peran Media: Tidak Hanya Membawa Tetapi Juga Membongkar Pencitraan,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JSP), vol. 14, no. 3, 2011. DOI: 10.22146/jsp.10929. [Online]. Available: https://jurnal.ugm.ac.id/jsp/article/view/10929
[5] E. Ghazali, “Interaksi Politik dan Media: dari Komunikasi Politik ke Politik Komunikasi,” ResearchGate (upload). Available: https://www.researchgate.net/publication/279650576_Interaksi_Politik_dan_Media_Dari_Komunikasi_Politik_ke_Politik_Komunikasi
[6] E. Ghazali, “Interaksi Politik dan Media: dari Komunikasi Politik ke Politik Komunikasi,” Neliti (repository Indonesia). Available: https://www.neliti.com/id/publications/37672/interaksi-politik-dan-media-dari-komunikasi-politik-ke-politik-komunikasi
[7] R. Sukma, Islam in Indonesian Foreign Policy, Google Books preview. Available: https://books.google.com/books/about/Islam_in_Indonesian_Foreign_Policy.html?id=8xWCAgAAQBAJ
[8] Wikipedia, “Effendi Ghazali,” Wikipedia Bahasa Indonesia. Available: https://id.wikipedia.org/wiki/Effendi_Gazali
[9] Wikipedia, “Islam in Indonesia,” Wikipedia. Available: https://en.wikipedia.org/wiki/Islam_in_Indonesia
[10] Asan Institute, “Islam in Indonesian Foreign Policy: The Limits of Muslim Solidarity for the Rohingya and Uighurs,” analisis terhadap karya Sukma. Available: https://en.asaninst.org/contents/islam-in-indonesian-foreign-policy-the-limits-of-muslim-solidarity-for-the-rohingya-and-uighurs/