Disambut Hangat Diaspora: Membaca Diplomasi Indonesia di PBB

Analisis diplomasi Indonesia di Sidang Majelis Umum PBB melalui perspektif diaspora dan nilai Khittah NU 1926 yang menekankan etika kebangsaan serta peran moral global.

Berita35 Views

[Cirebonrayajeh.com Presiden Prabowo Subianto] Kehadiran Presiden Prabowo Subianto di New York pada 20 September 2025 disambut meriah oleh diaspora Indonesia. Sorak-sorai, pekikan “Indonesia! Indonesia!”, hingga simbol budaya berupa pakaian adat Nusantara yang dikenakan anak-anak diaspora menandai sebuah momentum emosional. Namun, peristiwa ini bukan sekadar seremoni, melainkan menyingkap dinamika yang lebih dalam: bagaimana diaspora memaknai kehadiran kepala negara, serta bagaimana Indonesia menempatkan dirinya di panggung diplomasi dunia.

Di balik tepuk tangan diaspora, terdapat pertanyaan fundamental: apa arti posisi Indonesia sebagai pembicara ketiga dalam Sidang Majelis Umum PBB? Bagaimana peristiwa ini dapat dibaca dalam kerangka kebangsaan yang lebih luas, khususnya melalui bingkai Khittah NU 1926 yang menekankan kemandirian politik, etika kebangsaan, serta keberpihakan pada perdamaian dunia? Artikel ini berupaya mengulas berita penyambutan diaspora tersebut dengan lensa analisis kebijakan, menggabungkan pandangan para ahli hubungan internasional, sosiologi diaspora, dan komunikasi politik.

Diaspora Indonesia: Identitas, Kebanggaan, dan Diplomasi Kultural

Diaspora Indonesia merupakan salah satu aset strategis bangsa. Data Kementerian Luar Negeri RI (2023) menunjukkan ada sekitar 9 juta diaspora Indonesia di berbagai belahan dunia, dengan konsentrasi besar di Amerika Serikat, Malaysia, Timur Tengah, dan Eropa. Mereka tidak hanya berfungsi sebagai tenaga kerja atau pelajar, tetapi juga sebagai duta kultural yang merepresentasikan identitas Indonesia.

Kebanggaan diaspora yang menyambut Presiden Prabowo di New York mencerminkan keterikatan emosional terhadap tanah air. Seperti dikemukakan Prof. Irawan Abdullah, sosiolog UGM, “Diaspora adalah jembatan emosional yang sering kali lebih kuat daripada ikatan administratif kewarganegaraan. Mereka membawa simbol-simbol budaya, bahasa, dan memori kolektif tentang bangsa.” (Abdullah, 2021).

Baca Juga  Preservasi Hak Demokrasi dan Penolakan Anarki

Dalam konteks diplomasi, kehadiran diaspora di ruang publik internasional juga dapat memperkuat soft power Indonesia. Joseph Nye (2004) menyebut soft power sebagai kemampuan mempengaruhi dunia melalui budaya, nilai, dan kebijakan yang menarik. Dengan menyambut presiden secara hangat, diaspora menunjukkan kekuatan representasi identitas yang menjadi modal diplomasi kultural Indonesia.

Posisi Indonesia di PBB: Antara Simbol dan Strategi Global

Pidato Presiden Prabowo dalam Sidang Majelis Umum PBB sebagai pembicara ketiga memiliki makna simbolik sekaligus strategis. Secara prosedural, urutan pembicara ditentukan oleh protokol PBB, dengan Brasil dan Amerika Serikat biasanya mengisi urutan pertama dan kedua. Indonesia yang mendapat giliran ketiga menegaskan posisi pentingnya dalam percaturan global.

Menurut Dewi Fortuna Anwar, peneliti senior BRIN, “Posisi berbicara di awal sidang menunjukkan pengakuan terhadap peran Indonesia, baik sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara maupun sebagai aktor penting dalam isu perdamaian global.” (Anwar, 2023). Hal ini memperlihatkan bahwa diplomasi Indonesia tidak lagi hanya bersifat regional, tetapi telah merambah arena global dengan bobot strategis.

Lebih jauh, peran Indonesia di PBB juga berkaitan dengan tradisi panjang diplomasi bebas-aktif yang dirumuskan sejak era Konferensi Asia-Afrika 1955. Marty Natalegawa, mantan Menteri Luar Negeri, menegaskan dalam bukunya Does ASEAN Matter? (2019) bahwa Indonesia selalu berusaha memainkan peran sebagai “bridge builder” antara Utara dan Selatan, Timur dan Barat. Dengan demikian, momen pidato Presiden Prabowo bukan sekadar seremoni, melainkan kelanjutan tradisi diplomasi bebas-aktif yang diwariskan sejak Soekarno hingga era kontemporer.

Perspektif Khittah NU 1926: Etika Kebangsaan dalam Diplomasi

Khittah NU 1926, yang ditetapkan dalam Muktamar Situbondo 1984, sesungguhnya berakar pada prinsip pendirian NU sejak 1926: menjaga kemandirian organisasi dari tarik-menarik politik praktis, sekaligus meneguhkan peran keumatan dalam kehidupan kebangsaan. Dalam konteks diplomasi, Khittah NU mengajarkan bahwa keterlibatan bangsa di ranah internasional harus berlandaskan pada etika kebangsaan dan nilai moral universal, bukan sekadar kepentingan pragmatis.

Baca Juga  Presiden Prabowo: Menimbang Bansos Tepat Sasaran dan Pemberdayaan Ekonomi Umat

KH. Achmad Siddiq, salah satu perumus Khittah, menekankan bahwa “NU akan tetap berada dalam jalur kebangsaan yang kokoh, tidak menjadi alat kekuasaan, melainkan mitra moral bagi negara.” Prinsip ini dapat diadaptasi dalam diplomasi Indonesia: menjadi bangsa yang aktif di dunia, tetapi tidak kehilangan arah moral.

Dengan membaca pidato Presiden Prabowo dalam bingkai Khittah NU 1926, kita melihat bahwa diplomasi Indonesia seharusnya tidak hanya mengejar citra atau posisi, tetapi juga menyuarakan kepentingan moral global: keadilan, perdamaian, dan solidaritas antarbangsa. Hal ini sejalan dengan amanat UUD 1945 Pasal 11 yang menegaskan peran Indonesia dalam mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Analisis Pakar: Hubungan Internasional, Diaspora, dan Komunikasi Politik

Para ahli hubungan internasional menilai momen penyambutan Presiden Prabowo oleh diaspora sebagai simbol penting dalam diplomasi publik. Dino Patti Djalal, pendiri FPCI sekaligus mantan Dubes RI di AS, menulis bahwa “diaspora adalah aset terbesar Indonesia di luar negeri. Mereka adalah ‘perpanjangan tangan’ diplomasi kita, baik secara formal maupun informal.” (Djalal, 2019). Kehadiran diaspora di New York memperkuat legitimasi moral kehadiran Indonesia di forum PBB.

Dari sisi komunikasi politik, Dr. Effendi Gazali menekankan bahwa media sering kali membingkai momen penyambutan pemimpin negara sebagai indikator legitimasi publik. Namun, ia mengingatkan bahwa framing semacam itu harus dibaca secara kritis: apakah benar diaspora hanya menyuarakan kebanggaan, atau ada aspirasi yang lebih substantif, misalnya tentang kebijakan pendidikan, visa, atau perlindungan hukum bagi WNI di luar negeri.

Sementara itu, dari perspektif sosiologi diaspora, penelitian oleh Safran (1991) menunjukkan bahwa komunitas diaspora sering kali memiliki hubungan ambivalen dengan negara asal: penuh kebanggaan, tetapi juga kritis. Oleh karena itu, penyambutan hangat tidak boleh diartikan sekadar aklamasi politik, melainkan harus ditindaklanjuti dengan mekanisme partisipasi diaspora dalam kebijakan publik.

Baca Juga  Presiden Prabowo Tetapkan Empat Pulau Jadi Wilayah Aceh: Penyelesaian Damai Sengketa Antardaerah

Implikasi Kebijakan bagi Indonesia ke Depan

Momen pidato Presiden Prabowo di PBB dan penyambutan diaspora membawa sejumlah implikasi kebijakan. Pertama, pemerintah perlu memperkuat diplomasi diaspora sebagai kanal resmi yang menghubungkan aspirasi WNI di luar negeri dengan kebijakan nasional. Seperti dicatat dalam laporan World Bank (2022), kontribusi remitansi diaspora Indonesia mencapai US$ 10,5 miliar per tahun, angka yang sangat signifikan bagi ekonomi nasional.

Kedua, posisi Indonesia di PBB harus dimanfaatkan untuk memperjuangkan agenda strategis: perubahan iklim, perdamaian dunia, dan tata ekonomi global yang lebih adil. Indonesia memiliki modal legitimasi sebagai negara demokrasi dengan mayoritas Muslim, sekaligus anggota aktif G20 dan ASEAN.

Ketiga, diplomasi Indonesia perlu mengintegrasikan nilai-nilai Khittah NU 1926, yakni kemandirian, etika kebangsaan, dan moralitas universal. Dengan demikian, politik luar negeri Indonesia tidak hanya pragmatis, tetapi juga memberi warna moral dalam percaturan dunia. Hal ini penting agar diplomasi Indonesia tidak terjebak dalam politik citra, melainkan berkontribusi nyata bagi perdamaian global.

Membaca Diplomasi Indonesia dengan Jiwa Kebangsaan

Penyambutan diaspora Indonesia terhadap Presiden Prabowo di New York adalah momen emosional yang sarat makna. Ia menunjukkan keterikatan diaspora terhadap tanah air, sekaligus menegaskan posisi Indonesia di panggung global. Namun, momen ini harus dibaca lebih dalam: bukan sekadar seremoni politik, tetapi sebagai refleksi atas diplomasi Indonesia yang membawa beban moral kebangsaan.

Dalam bingkai Khittah NU 1926, diplomasi Indonesia dipandu oleh etika kebangsaan, bukan sekadar kepentingan pragmatis. Diaspora menjadi duta kultural yang memperkuat soft power, sementara posisi Indonesia di PBB memberi ruang untuk menyuarakan keadilan global. Dengan memadukan kebanggaan emosional dan strategi diplomasi, Indonesia berpotensi menjadi bangsa yang tidak hanya besar secara demografis, tetapi juga bermakna secara moral di mata dunia.

Leave a Reply