Kebijakan Iklim Nasional: Presiden Prabowo di Sidang Umum PBB

Menimbang Diplomasi Iklim Indonesia dalam Perspektif Khittah NU 1926 dan Tinjauan Akademik IEEE

Berita11 Views

[Cirebonrayajeh.com – Presiden Prabowo Subianto] Pada 23 September 2025, Presiden Prabowo Subianto dalam pidato perdananya pada Sidang Umum PBB menyampaikan bahwa Indonesia telah mencapai swasembada beras dan mulai mengekspor pangan, menghadapi kenaikan permukaan laut melalui pembangunan tanggul, dan berkomitmen pada emisi nol bersih (net zero) tahun 2060 atau lebih cepat. Artikel ini menempatkan pidato tersebut dalam bingkai nilai Khittah NU 1926, sekaligus mengevaluasi substansi kebijakan pangan, perubahan iklim, dan transisi energi. Dengan menggunakan data dari studi ilmiah (misalnya model LEAP, laporan IEA, kajian kebijakan keuangan iklim) serta literatur tentang Khittah NU, artikel ini mengemukakan kritik konstruktif dan rekomendasi agar kebijakan iklim Indonesia selaras dengan etika keagamaan NU dan lebih realistis di lapangan.

Pidato Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto pada Sidang Umum ke-80 PBB (23 September 2025) menyuguhkan narasi besar: Indonesia telah mencatat sejarah baru di sektor pangan, menghadapi dampak nyata perubahan iklim, dan berkomitmen pada transisi energi serta emisi nol bersih. Pernyataan seperti “kami kini swasembada beras, dan mulai mengekspor beras …”, “permukaan laut di pantai utara ibu kota meningkat lima sentimeter setiap tahun … membangun tanggul laut raksasa sepanjang 480 kilometer …”, serta “komitmen Perjanjian Paris … menargetkan reforestasi lebih dari 12 juta hektare … beralih dari pembangunan berbasis bahan bakar fosil ke energi terbarukan” menjadi titik fokus yang perlu diuji lebih jauh agar tidak berhenti sebagai slogan diplomatik.

Namun, agar kebijakan iklim dan pangan tak kehilangan akar nilai, perlu dihubungkan ke kerangka etis dan moral yang kuat. Dalam konteks Indonesia khususnya di kalangan umat Nahdlatul Ulama, Khittah NU 1926 dapat berfungsi sebagai landasan nilai yang memandu bagaimana negara dan masyarakat merespons tantangan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.

Kerangka Teoritis: Khittah NU 1926 dan Diplomasi Iklim

Bagian ini menjelaskan landasan nilai Khittah NU 1926 dan mengaitkannya dengan konsepsi kebijakan publik yang berbasis keadaban. Tanpa landasan nilai yang kokoh, kebijakan besar rentan menjadi mekanis dan kehilangan sentuhan manusiawi.

Definisi dan Inti Khittah NU 1926

“Khittah Nahdlatul Ulama adalah landasan berfikir, bersikap, dan bertindak warga NU …” yang mencerminkan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah dalam konteks masyarakat Indonesia. [1] Khittah NU, sebagaimana dirumuskan secara operasional dalam Muktamar ke-27 (1984), menegaskan bahwa NU mereduksi keterlibatan dalam politik praktis dan meneguhkan peran sosial-keagamaan sebagai fokus utama organisasi. [2] Menurut NU Online, Khittah NU tidak sekadar “NU tidak berpolitik”, tetapi lebih luas: fondasi nilai, visi dakwah, dan orientasi terhadap kemaslahatan umat. [3]

Dalam literatur sosial-keagamaan, Khittah sering dikaitkan dengan konsep khidmah (pengabdian) dan amar ma‘ruf nahi munkar, di mana warga NU tidak hanya aktif dalam ibadah individual tetapi juga terlibat dalam perubahan sosial. [1], [2] Dalam konteks tantangan iklim, Khittah 1926 memungkinkan NU berkontribusi sebagai aktor moral dan sosial dalam kebijakan lingkungan tanpa terseret ke politik praktis semata.

Relevansi Nilai Khittah terhadap Kebijakan Iklim

Nilai-nilai dasar Khittah seperti keadilan, kesederhanaan, musyawarah, dan pengabdian menjadi tolok ukur bagaimana kebijakan lingkungan tidak sekadar teknis, melainkan bermakna sosial-keagamaan.

  • Keadilan antar generasi: memastikan bahwa langkah mitigasi dan adaptasi iklim tidak mencederai hak generasi mendatang.
  • Keadilan sosial: kebijakan iklim harus memberi manfaat bagi semua lapisan masyarakat, termasuk mereka yang rentan seperti petani kecil dan komunitas pesisir.
  • Musyawarah dan partisipasi warga: perumusan kebijakan iklim tidak boleh top-down semata; warga, termasuk struktur NU akar rumput, harus dilibatkan.
  • Pengabdian (khidmah): kebijakan iklim menjadi manifestasi nyata dari pengabdian umat untuk menjaga bumi sebagai amanah (khalifah).

Dengan integrasi nilai ini, kebijakan iklim bukan sekadar urusan teknis energi, karbon, dan inventarisasi, melainkan “peradaban etis” yang menghormati manusia, lingkungan, dan generasi.

Ketahanan Pangan dalam Era Perubahan Iklim

Pidato Presiden menyebutkan bahwa Indonesia telah berada di titik tertinggi produksi pangan, serta berani mengekspor beras, dan bahwa ketahanan pangan dibangun melalui inovasi dan rantai pasok tangguh. Bagian ini mengeksplorasi apakah klaim tersebut mendasar dan tantangannya dari perspektif iklim dan logistik pangan.

Baca Juga  Presiden Prabowo: Menimbang Bansos Tepat Sasaran dan Pemberdayaan Ekonomi Umat

Klaim Swasembada dan Ekspor Pangan

Dalam pidato Presiden, dinyatakan bahwa “kami kini swasembada beras, dan mulai mengekspor beras ke negara lain yang membutuhkan, termasuk menyediakan beras untuk Palestina.” Untuk memastikan ketahanan pangan generasi mendatang, pemerintah juga menyebutkan akan menjadikan Indonesia “lumbung pangan dunia.”

Klaim ini sangat ambisius. Studi dan data historis menunjukkan bahwa Indonesia selama dekade terakhir menghadapi fluktuasi produksi padi akibat faktor iklim ekstrem, gangguan hama, banjir dan kekeringan. Stabilitas produksi pangan menghadapi variabilitas iklim menjadi tantangan besar.

Model LEAP dari Zhong et al. (2025) menyoroti bahwa Indonesia telah menetapkan target net zero emission 2060 dan perlu strategi yang seimbang antara produksi pangan, energi, dan pengurangan emisi. [4] Namun integrasi sektor energi-pangan sering mengalami konflik prioritas, misalnya alokasi air irigasi yang harus dibagi antara kebutuhan irigasi pertanian dan pembangkit listrik (hidro).

Inovasi, Rantai Pasok Tangguh, dan Pertanian Cerdas Iklim

Presiden menyebut bahwa untuk ketahanan pangan harus melalui inovasi, memperkuat produktivitas petani, serta investasi dalam pertanian cerdas iklim. Namun, implementasi di lapangan sering tertahan oleh:

  • Akses teknologi: petani kecil sulit menjangkau sensor tanah, sistem irigasi presisi, drone (UAV) untuk pemantauan dan aplikasi pestisida / pupuk.
  • Pembiayaan & kredit mikro: teknologi pertanian sering mahal di muka; petani membutuhkan insentif dan jaminan risiko besar panen gagal.
  • Transfer pengetahuan & pelatihan: gap antara riset dan praktik; perguruan tinggi atau lembaga penelitian harus bermitra langsung dengan petani agar teknologi tidak berhenti di laboratorium.
  • Ketahanan stok & logistik: rantai pasok (gudang, transportasi, cold chain) harus kuat terutama di daerah terpencil agar panen tidak rugi akibat kerusakan atau kehilangan.

Dalam ekosistem iklim berubah, adopsi teknologi pertanian cerdas iklim (misalnya varietas tahan stres, mitigasi erosi, konservasi tanah) menjadi sangat penting. Namun, tanpa kebijakan subsidi teknologi, program pelatihan, dan insentif fiskal, adopsi akan lambat.

Resiko Konflik Lahan dalam Reforestasi Pangan

Presiden menyebut target reforestasi “lebih dari 12 juta hektare hutan terdegradasi.” Jika sejalan dengan ekspansi lahan pangan atau food estate, potensi konflik agraria antara masyarakat lokal dan negara bisa muncul. Kasus food estate, seperti di Papua dan Kalimantan, telah mendapat kritikan karena deforestasi, dampak sosial terhadap masyarakat adat, dan emisi karbon dari pembukaan hutan. [5]

Konflik lahan dapat mencederai prinsip keadilan sosial dan pengabdian (khidmah) yang menjadi nilai Khittah. Tanpa audit transparan dan partisipasi masyarakat lokal, reforestasi bisa menjadi proyek nominal atau “greenwashing” yang merugikan komunitas setempat.

Adaptasi terhadap Perubahan Iklim: Tantangan Infrastruktur Laut & Ancaman Kenaikan Permukaan Laut

Presiden menyampaikan bahwa permukaan laut di pantai utara ibu kota meningkat lima sentimeter per tahun, dan bahwa tanggul laut sepanjang 480 km akan dibangun. Bagian ini meninjau urgensi dan tantangan teknis dari adaptasi sistem laut dan pesisir.

Validitas Klaim dan Ancaman Laut

Kalimat pidato: “permukaan laut di pantai utara ibu kota meningkat lima sentimeter setiap tahun” adalah pernyataan dramatis yang memancing pertimbangan. Jika benar, dalam 10 tahun permukaan laut naik 50 cm, dan dalam 20 tahun naik 100 cm — konsekuensinya sangat besar bagi bagian pesisir ibu kota.

Menurut pemodelan global dan data pengamatan satelit, kenaikan rata-rata global adalah ∼3–4 mm per tahun, bukan 50 mm. Namun, beberapa wilayah lokal bisa mengalami kenaikan relatif lebih tinggi karena subsidensi tanah, pengambilan air tanah, atau penurunan daratan. Penelitian lokal diperlukan untuk mengonfirmasi kenaikan lokal di pantai utara Jakarta.

Tanggul Laut 480 km: Harapan dan Risiko

Pembangunan tanggul laut sepanjang 480 km mencerminkan langkah adaptasi infrastruktur yang sangat besar. Namun, tantangan utamanya:

  • Biaya dan pendanaan: proyek infrastruktur pesisir selalu mahal (rekayasa teknik, pemeliharaan, sedimentasi).
  • Dampak ekologi: pembangunan tanggul kaku kadang memblok sirkulasi air laut, perubahan pola sedimentasi, dan bisa mematikan ekosistem mangrove alami jika tidak dirancang dengan vegetasi adaptif.
  • Keberlanjutan dan pemeliharaan: apabila pemeliharaan tidak konsisten, efektivitas tanggul menurun.
  • Relokasi masyarakat pesisir: jika sebagian wilayah harus dipindahkan, kebijakan kompensasi dan perencanaan sosial wajib transparan dan adil.

Dalam semangat Khittah NU—khidmah dan keadilan sosial—adaptasi infrastruktur harus dirancang agar manfaat dan beban distribusinya adil, serta terjadi partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan dan pelaksanaan.

Baca Juga  ConsenSys Ajukan Surat ke SEC: Soroti Kekhawatiran atas Perubahan Aturan DeFi

Net Zero Emission dan Transisi Energi

Pemerintah menyatakan bahwa Indonesia berkomitmen memenuhi kewajiban Perjanjian Paris dan menargetkan emisi nol bersih 2060 atau lebih cepat, sekaligus menyebut bahwa “sebagian besar tambahan kapasitas pembangkit listrik kami akan berasal dari energi terbarukan.” Bagian ini menelaah ambisi tersebut, tantangan pendanaan, dan kendala teknis.

Komitmen Net Zero dan Realitas Energi Indonesia

Indonesia secara resmi menetapkan target net zero emission pada tahun 2060 (atau lebih cepat) sebagai bagian implementasi Paris Agreement. [4], [6] Namun, realitas saat ini menunjukkan kesenjangan besar antara target dan implementasi:

  • Investasi pembiayaan sektor energi terbarukan antara 2015–2021 hanya mencapai ~USD 3 miliar/tahun, jauh di bawah kebutuhan ~USD 16 miliar/tahun untuk mencapai target net zero di sektor listrik. [6]
  • Sektor energi di Indonesia sangat bergantung pada batubara; banyak pembangkit batubara yang masih dalam pipeline konstruksi atau perpanjangan izin. [4]
  • Keterbatasan jaringan (grid) dan kesiapan integrasi energi terbarukan menjadi hambatan teknis signifikan.
  • Kebijakan fiskal dan subsidi energi fosil masih membebani transisi.

Dalam studi “Moving towards a net-zero emissions economy in Indonesia”, model LEAP digunakan untuk memproyeksikan skenario transisi yang masuk akal, tetapi berargumen bahwa kebijakan pendukung yang kuat diperlukan agar skenario tersebut bisa direalisasi. [4]

Pendanaan Transisi & Hambatan Keuangan Iklim

Laporan oleh Climate Policy Initiative (2025) menyoroti sebuah tantangan utama: financial mismatch antara kebutuhan pendanaan proyek iklim jangka panjang dan karakter lembaga keuangan yang cenderung jangka pendek. [7]

Beberapa hambatan keuangan mencakup:

  • Tingginya biaya modal awal (capex) proyek energi terbarukan.
  • Risiko keterlambatan izin dan regulasi yang memperpanjang waktu pembiayaan.
  • Keengganan lembaga keuangan lokal memberikan tenor panjang untuk proyek energi bersih.
  • Ketidakpastian kebijakan dan regulasi yang dapat mempengaruhi arus kas proyek.

Oleh karena itu, untuk mendukung transisi energi, pemerintah perlu menyederhanakan regulasi, memberikan jaminan risiko (risk guarantee), dan membuka instrumen keuangan inovatif (green bonds, blended finance, fasilitas transisi).

Transisi Energi: Tantangan Teknis & Strategi

Pernyataan Presiden bahwa “sebagian besar tambahan kapasitas pembangkit listrik kami akan berasal dari energi terbarukan” memerlukan:

  • Roadmap transisi bertahap: penggunaan pembangkit fosil harus diturunkan secara bertahap (phase-out), bukan abrupt.
  • Skema kompensasi & pelatihan: petugas/teknisi pembangkit fosil perlu disiapkan untuk beralih ke sektor energi bersih (upskilling).
  • Diversifikasi sumber energi terbarukan: mengintegrasikan surya, angin, mikrohidro, geothermal, dan biomassa agar sumber tidak terpusat.
  • Modernisasi jaringan listrik: smart grid, penyimpanan energi (battery storage), dan manajemen beban penting agar fluktuasi sumber terbarukan bisa ditangani.
  • Just Energy Transition Partnership (JETP): Indonesia telah bergabung dalam JETP senilai USD 20 miliar, namun jumlah ini dinilai belum cukup. [8]

Massagony (2025) dalam “Political economy of energy policy in Indonesia” menekankan bahwa tantangan utama bukan hanya teknis, tetapi politik dan institusional: konflik antara kepentingan batu bara, regulasi yang belum konsisten, dan kepentingan ekonomi lokal yang bergantung on fossil fuels. [5]

Kritik Konstruktif & Pendapat Ahli

Pidato Presiden memancarkan ambisi besar, tetapi di balik itu terdapat kerentanan implementasi. Bagian ini menghadirkan kritik berdasarkan literatur ilmiah terkini dan pendapat ahli, termasuk aspek keadilan sosial dan integrasi nilai Khittah NU.

Keadilan Sosial dan Pajak Karbon

Studi terbaru oleh Siregar et al. (2025) menggunakan model input-output menilai bahwa kebijakan pajak karbon di Indonesia dapat memiliki dampak regresif—artinya beban lebih terasa bagi rumah tangga berpendapatan rendah jika tanpa mekanisme kompensasi silang (cross-subsidy). [9]

Oleh karena itu, meskipun diperlukan instrumen harga karbon agar transisi energi lebih efisien, pemerintah wajib merancang mekanisme redistribusi agar masyarakat miskin tidak amat terbebani.

Risiko Greenwashing dan Proyek Nominal

Ambisi reforestasi skala besar dan proyek energi terbarukan rawan menjadi greenwashing jika tidak diaudit independen. Tanpa audit pihak ketiga dan transparansi, proyek nominal (hanya menghitung, bukan menanam) bisa jadi terjadi.

Studi tentang driver deforestasi (Hartanti et al., 2022) menggunakan model pembelajaran multimodal menunjukkan bahwa penyebab deforestasi sering melampaui deklarasi — yaitu tekanan ekonomi, alih lahan perkebunan, dan kebijakan lokal. [10] Jika kebijakan reforestasi tidak memperhitungkan tekanan lahan dan kepentingan lokal, program dapat gagal.

Sinkronisasi Lintas Sektor

Sebagaimana banyak kritik terhadap kebijakan iklim, permasalahan klasik adalah kebijakan dibuat dalam silo. Kebijakan energi, pangan, pertanian, lingkungan kadang tidak sinkron. Misalnya, ekspansi pangan atau infrastruktur pangan bisa mengganggu habitat, konflik lahan, atau merusak ekosistem yang seharusnya dilindungi sebagai bagian mitigasi iklim.

Baca Juga  Preservasi Hak Demokrasi dan Penolakan Anarki

Validitas Klaim Teknis: Naiknya Permukaan Laut

Klaim kenaikan 5 cm per tahun di pesisir utara Jakarta harus diuji melalui data geo-teknik dan kajian lokal (subsidence, pengambilan air tanah). Jika klaim terlalu tinggi, perencanaan tanggul besar mungkin lebih mahal dari manfaatnya atau tidak proporsional.

Tantangan Pendanaan & Komitmen Finansial

Meskipun partisipasi dalam JETP menunjukkan komitmen, laporan CPI (2023) mencatat bahwa investasi energi terbarukan di Indonesia masih jauh di bawah kebutuhan — hanya ~USD 3 miliar/tahun vs kebutuhan ~USD 16 miliar/tahun. [6] Kesenjangan ini perlu dijembatani lewat kebijakan fiskal, reformasi regulasi, dan penjaminan (risk guarantee).

Diskusi: Menyatukan Nilai Khittah NU 1926 dengan Kebijakan Iklim

Setelah menganalisis kritik dan ambisi, bagian ini mencoba merumuskan bagaimana nilai Khittah NU 1926 bisa menjadi kerangka moral dan operasional untuk mendukung kebijakan iklim yang adil, manusiawi, dan efektif.

Internalisasi Nilai dalam Kebijakan

Setiap regulasi iklim harus mencantumkan “peta nilai” Khittah: keadilan, keseimbangan, musyawarah, dan pengabdian. Misalnya, undang-undang atau peraturan turunan mesti mensyaratkan audit nilai (value audit) agar program tidak menyimpang dari cita-cita kemaslahatan umat.

Partisipasi Nahdliyin sebagai Pengawal Publik

NU — melalui jaringan pesantren, majelis taklim, badan otonom (seperti Lembaga Lingkungan NU) — dapat menjadi pengawas moral dan teknis implementasi kebijakan iklim. Warga NU bisa dilibatkan dalam monitoring reforestasi, pengelolaan energi terbarukan komunitas, dan penganggaran partisipatif.

Model Implementasi: Energi Hijau Berbasis Pesantren

Pesantren bisa dijadikan laboratorium energi terbarukan: panel surya atap, mikrohidro, biogas. Energi tersebut digunakan sendiri (self-consumption) dan surplusnya bisa disalurkan ke masyarakat sekitar. Ini adalah konkretisasi khidmah NU dalam melayani umat dan ekologis.

Skema Pemerataan Pendapatan & Kompensasi

Program transisi perlu disertai skema kompensasi bagi petani, pekerja pembangkit fosil, dan masyarakat pesisir. Kebijakan subsidi silang, beasiswa hijau, atau dana keadilan iklim (climate justice fund) bisa menjadi salah satu mekanisme.

Tahapan Implementasi & Roadmap Nilai

  • Fase 1 (2025–2030): pilot di wilayah NU (desa NU) untuk pertanian cerdas iklim, energi pesantren, dan adaptasi pesisir.
  • Fase 2 (2030–2045): skala nasional, integrasi grid, phasing out pembangkit fosil.
  • Fase 3 (2045–2060): optimalisasi, konsolidasi, pengawasan berkelanjutan.

Koordinasi antarlembaga negara, lembaga NU, akademisi, dan masyarakat harus dibangun melalui wadah musyawarah nasional-ke-NU-an yang independen.

Penutup

Pidato Presiden Prabowo di Sidang Umum PBB 2025 menghadirkan visi besar: Indonesia bukan hanya swasembada pangan, tetapi juga penayang pangan untuk dunia; membangun tanggul laut; dan berkomitmen pada emisi nol bersih serta transisi energi. Pernyataan-pernyataan penting seperti “swasembada beras dan ekspor”, “naiknya permukaan laut 5 cm/tahun”, “tanggul laut 480 km”, “emisi nol bersih 2060 atau lebih cepat”, dan “data reforestasi 12 juta ha” harus dipertahankan dalam analisis dan dijadikan tolak ukur dalam penilaian keberhasilan.

Namun, ambisi tersebut menghadapi tantangan besar: kesenjangan pendanaan, hambatan teknis jaringan listrik, konflik lahan, risiko proyek nominal atau greenwashing, dan tantangan keadilan sosial. Studi model energi dan kebijakan finansial menunjukkan bahwa tanpa reformasi regulasi, insentif keuangan, dan partisipasi masyarakat, target-target tersebut bisa sulit dicapai. [4], [6], [7], [5], [9]

Dalam kerangka Khittah NU 1926, nilai-nilai pengabdian, keadilan, keseimbangan, dan musyawarah menawarkan landasan etis agar kebijakan iklim tidak kehilangan jiwa kemanusiaan. NU dan warga nahdliyin bisa menjadi agen moral dan sosial dalam pengawalan kebijakan, partisipasi publik, dan pelaksanaan program iklim berbasis komunitas (misalnya energi hijau pesantren).

Agar visi iklim ini bukan hanya retorika diplomatik, perlu: audit nilai, keterbukaan data, audit pihak ketiga, skema kompensasi sosial, roadmap implementasi, dan koordinasi lintas sektor berdasar nilai Khittah. Dalam sinergi antara visi negara dan nilai keagamaan NU, Indonesia memiliki peluang untuk mewujudkan kebijakan iklim yang tidak hanya maju secara teknis, tetapi bermakna secara spiritual dan sosial.

Referensi

[1] “Khittah dan Khidmah NU” (PDF). LibForAll. Tersedia: https://www.libforall.org/lfa/media/_books/Khittah-dan-Khidmah-NU_Indonesian.pdf

[2] “Makna Khittah NU,” NU Online. Tersedia: https://www.nu.or.id/risalah-redaksi/makna-khittah-nu-sl5Tx

[3] “Nahdlatul Ulama dan Khittah 1926,” Gusdur.net. Tersedia: https://gusdur.net/nahdlatul-ulama-dan-khittah-1926/

[4] S. Zhong et al., “Moving towards a net-zero emissions economy in Indonesia,” Science of the Total Environment (preprint / model LEAP) (2025).

[5] A. Massagony, “Political economy of energy policy in Indonesia towards net zero emissions,” (2025).

[6] “The Net Zero Alignment of Indonesia’s Power Sector Finance,” Climate Policy Initiative. Tersedia: https://www.climatepolicyinitiative.org/publication/the-net-zero-alignment-of-indonesias-power-sector-finance/

[7] “Unlocking transition finance for achieving net-zero emissions in Indonesia,” Climate Policy Initiative (2025). Tersedia: https://www.climatepolicyinitiative.org/publication/unlocking-transition-finance-for-achieving-net-zero-emissions-in-indonesia/

[8] “Indonesia Just Energy Transition Partnership,” Wikipedia. Tersedia: https://en.wikipedia.org/wiki/Indonesia_Just_Energy_Transition_Partnership

[9] S. Siregar, “Estimation of the Effect of Carbon Tax Implementation on Household Income Distribution in Indonesia: Quantitative Analysis with Miyazawa Input-Output Approach,” ArXiv preprint (2025). Tersedia: https://arxiv.org/abs/2501.08177

[10] B. S. I. Hartanti et al., “Multimodal SuperCon: Classifier for Drivers of Deforestation in Indonesia,” arXiv preprint (2022). Tersedia: https://arxiv.org/abs/2207.14656

Leave a Reply