Presiden Prabowo: Menimbang Bansos Tepat Sasaran dan Pemberdayaan Ekonomi Umat

Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2025 tentang Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) membuka jalan baru menuju bansos adil, transparan, dan berkelanjutan.

Berita33 Views

[Cirebonrayajeh.com – Presiden Prabowo Subianto] Khittah Nahdlatul Ulama 1926 menegaskan pentingnya menjadikan agama sebagai pemandu moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam khittah tersebut, NU menekankan prinsip maslahah ‘ammah (kemaslahatan umum), yaitu bahwa segala kebijakan negara seharusnya membawa manfaat luas, terutama bagi mereka yang lemah dan terpinggirkan. Semangat itu relevan dibawa untuk meninjau langkah Presiden Prabowo yang baru-baru ini menginstruksikan penyaluran bantuan sosial (bansos) agar lebih tepat sasaran dan berkelanjutan.

Pada 19 September 2025, Presiden Prabowo menerima sejumlah menteri di Istana Merdeka. Laporan dari Menteri Sosial Saifullah Yusuf menekankan strategi baru melalui Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2025. Inti kebijakan ini adalah penggunaan Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN) yang dikelola BPS, menggantikan DTKS lama. Inovasi data ini diharapkan memperkecil kesalahan penyaluran bansos, baik salah sasaran (inclusion error) maupun yang seharusnya dapat bantuan tetapi tidak masuk data (exclusion error).

Namun, apakah langkah ini cukup untuk menjawab persoalan klasik bansos di Indonesia? Dan bagaimana jika ditinjau melalui khittah NU 1926 yang menuntut keadilan sosial, kemandirian ekonomi umat, serta kebijakan yang tidak sekadar karitatif tetapi transformatif?

Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2025 dan DTSEN: Lompatan atau Sekadar Perbaikan Administratif?

Kebijakan DTSEN yang menggantikan DTKS menjadi sorotan utama. Pemerintah berharap sistem ini mampu menghadirkan data lebih presisi. Data diverifikasi, divalidasi, bahkan diperingkat dalam skala desil 1–10. Dari sudut pandang administratif, ini memang langkah maju. Namun, pertanyaan besar muncul: apakah perubahan data tunggal ini hanya soal teknis, atau ada makna politis dan sosial yang lebih dalam?

Baca Juga  Apakah Diskon Iuran BPJS Ketenagakerjaan Benar-Benar Efektif?

Menurut Margo Yuwono, mantan Kepala BPS, keberhasilan DTSEN akan sangat ditentukan oleh konsistensi pembaruan data di tingkat desa/kelurahan. Dalam jurnal Statistics and Public Policy (2023), disebutkan bahwa validitas data sosial di negara berkembang sering terganjal oleh tiga masalah: kapasitas enumerator, keterbatasan anggaran, dan resistensi lokal. Hal ini berpotensi juga terjadi pada DTSEN.

Bila ditinjau dari khittah NU 1926, data bukan sekadar angka, tetapi cermin keadilan sosial. Maka, kesalahan data berarti juga mengingkari amanah keadilan.

Bansos dan Judol: Menimbang Aspek Moralitas dan Penerima Manfaat

Mensos Saifullah Yusuf menegaskan bahwa penerima bansos yang terlibat dalam perjudian daring (judol) akan dihentikan bantuannya, kecuali benar-benar miskin dan siap melakukan reaktivasi. Kebijakan ini menarik, tetapi juga memunculkan dilema moral dan sosial. Apakah negara berhak menilai moralitas penerima bantuan?

Dalam riset Prof. Bambang Shergi Laksmono (UI) tentang perlindungan sosial, terdapat dua pendekatan: means-tested welfare (berbasis data ekonomi) dan behavioral conditional welfare (berbasis perilaku penerima). Indonesia kini tampaknya menuju pendekatan kedua. Dalam jangka panjang, kebijakan ini bisa menimbulkan stigma: bahwa miskin identik dengan moral buruk.

Khittah NU 1926 menolak stigmatisasi. Kemiskinan dipandang sebagai problem struktural, bukan semata akibat perilaku individu. Maka, bansos sebaiknya tidak sekadar dikaitkan dengan moralitas pribadi, melainkan dibarengi pembinaan dan pemberdayaan spiritual.

Dari Karitas ke Pemberdayaan: Menjawab Tantangan Kemiskinan Struktural

Presiden Prabowo mengingatkan bahwa bansos bersifat sementara, sedangkan pemberdayaan adalah tujuan akhir. Paradigma ini sejalan dengan pandangan banyak ekonom pembangunan. Bansos adalah “jaring pengaman,” tetapi bukan solusi permanen.

Dalam penelitian Vivi Alatas dkk. (World Bank, 2019) tentang kemiskinan di Indonesia, program yang hanya berfokus pada transfer tunai cenderung tidak berkelanjutan tanpa strategi graduation. Konsep graduation adalah mekanisme agar penerima bantuan suatu hari dapat mandiri. Pemerintah Prabowo tampaknya mengadopsi hal ini, ditandai dengan program keterampilan, usaha mikro, hingga kemitraan dengan dunia usaha.

Baca Juga  Presiden Prabowo Tetapkan Empat Pulau Jadi Wilayah Aceh: Penyelesaian Damai Sengketa Antardaerah

Dalam khittah NU 1926, semangat pemberdayaan identik dengan prinsip ta’awun (saling menolong) dan istiqlal (kemandirian). Artinya, negara bukan hanya hadir ketika rakyat lapar, tetapi juga membekali mereka agar mampu berdiri di atas kaki sendiri.

Perspektif Data: Antara Error Inklusi dan Eksklusi

Hasil ground check Kementerian Sosial menemukan 1,9 juta keluarga yang tidak lagi layak menerima bansos. Secara statistik, ini adalah indikasi adanya error inklusi. Namun, tidak berarti masalah selesai. Error eksklusi—mereka yang seharusnya berhak tapi tidak masuk data—masih menjadi tantangan.

Jurnal Social Indicators Research (2022) menyebut bahwa di Asia Tenggara, rata-rata error eksklusi pada program bansos berkisar 15–20 persen. Artinya, ada jutaan orang miskin yang tidak pernah menerima bantuan karena tidak terdaftar. Jika hal serupa terjadi di Indonesia, DTSEN sekalipun masih rawan tidak menutup celah tersebut.

Khittah NU mengingatkan, “kemiskinan dekat dengan kekufuran.” Maka, mengabaikan satu orang miskin pun berarti membuka pintu ketidakadilan. Dalam bingkai ini, bansos tepat sasaran tidak hanya persoalan administratif, tetapi amanah moral.

Kemitraan Negara, Dunia Usaha, dan Masyarakat Sipil

Kementerian Sosial berencana menggandeng filantropi, dunia usaha, dan organisasi masyarakat untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan ekstrem. Model kemitraan ini dikenal dalam teori pembangunan sebagai multi-stakeholder approach.

Dalam buku Development as Freedom karya Amartya Sen (1999), pembangunan sejati bukan hanya peningkatan pendapatan, melainkan perluasan kebebasan: kebebasan dari kelaparan, kebodohan, dan ketidakberdayaan. Dengan menggandeng aktor non-negara, peluang membuka akses ini semakin besar.

NU sejak 1926 mengajarkan pentingnya jam’iyah (organisasi) sebagai wadah kolektif. Maka, kemitraan antara pemerintah dan ormas keagamaan adalah bentuk aktualisasi khittah NU dalam kebijakan publik.

Dimensi Etika dan Spiritualitas dalam Bansos

Bansos sering dipandang hanya sebagai program ekonomi. Namun, khittah NU 1926 menegaskan bahwa keadilan sosial memiliki dimensi etika dan spiritual. Memberi bantuan bukan sekadar transaksi, melainkan ibadah sosial.

Baca Juga  Pakar Peringatkan: Gugatan Hukum Ripple vs SEC Bisa Berlarut, Lebih Lama dari Coinbase!

Penelitian Zuhairi Misrawi dalam Fikih Sosial (2015) menegaskan bahwa Islam memandang kemiskinan sebagai ujian kolektif. Maka, bansos harus menumbuhkan solidaritas, bukan sekadar memenuhi kewajiban administratif.

Jika kebijakan DTSEN berhasil menghadirkan bansos lebih tepat sasaran, maka itu bukan hanya capaian teknokratis, melainkan wujud nyata amanah spiritual bangsa.

Penutup: Dari Khittah 1926 ke Indonesia Emas 2045

Penyaluran bansos tepat sasaran yang diinisiasi Presiden Prabowo melalui DTSEN adalah langkah penting, tetapi belum akhir dari perjalanan. Masih banyak pekerjaan rumah: memperkecil error data, menghindari stigmatisasi penerima, dan memastikan program pemberdayaan berjalan berkelanjutan.

Dalam bingkai khittah NU 1926, kebijakan ini harus dimaknai lebih dalam: sebagai ikhtiar kolektif bangsa untuk menghadirkan maslahah ‘ammah. Negara, masyarakat, dan umat beragama berjalan beriringan, bukan sekadar mendistribusikan bansos, melainkan menegakkan keadilan sosial yang sejati.

Indonesia punya cita-cita besar menuju 2045: menjadi negara maju, adil, dan makmur. Langkah-langkah kebijakan sosial hari ini, jika dijalankan dengan amanah dan integritas, akan menentukan wajah bangsa di masa depan.

Leave a Reply