Purbaya Yudi Sadewa: Matangkan Skema Insentif Penempatan Dolar di Dalam Negeri

Pemerintah menyiapkan insentif berbasis pasar untuk menahan aliran dolar keluar negeri, demi memperkuat cadangan devisa nasional.

Berita46 Views

[Cirebonrayajeh.com, Presiden Prabowo] Pada 19 September 2025, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan rencana pemerintah terkait skema insentif untuk mendorong pemilik dana asal Indonesia menempatkan simpanan dolar mereka di dalam negeri. Usai diterima Presiden Prabowo Subianto di Istana Merdeka, Purbaya menegaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk memperkuat cadangan devisa nasional, meningkatkan suplai dolar di perbankan domestik, serta mendukung pembiayaan proyek-proyek strategis pemerintah.

Langkah ini mencerminkan keresahan lama: banyak WNI kelas menengah-atas lebih memilih menyimpan dananya di luar negeri, terutama dalam bentuk dolar AS. Kondisi tersebut menciptakan tekanan bagi stabilitas rupiah dan mengurangi kapasitas cadangan devisa. Dalam kerangka News Policy Review, pernyataan Purbaya perlu ditelaah bukan hanya sebagai kebijakan teknis, melainkan juga sebagai cerminan bagaimana negara berusaha menjaga kedaulatan finansial di tengah arus globalisasi ekonomi.

Dalam bingkai khittah NU 1926, isu ini lebih luas dari sekadar angka devisa. NU memandang kemandirian bangsa, etika ekonomi, serta semangat kebersamaan sebagai fondasi menjaga keberlanjutan kehidupan bernegara. Kebijakan finansial harus dipahami sebagai ikhtiar kolektif untuk menyejahterakan rakyat, bukan sekadar instrumen teknokratis yang berpihak pada elit finansial.

Insentif Dolar dan Arsitektur Ekonomi Nasional

Cadangan devisa Indonesia per Agustus 2025 tercatat sebesar USD 141,2 miliar (Bank Indonesia, 2025). Angka ini relatif stabil, namun rentan terhadap tekanan global seperti kenaikan suku bunga The Fed atau volatilitas harga komoditas. IMF (2024) menyebutkan bahwa negara dengan cadangan devisa kuat lebih tahan menghadapi sudden capital outflow.

Menurut Chatib Basri, mantan Menteri Keuangan, strategi menarik dana diaspora ke dalam negeri bisa membantu stabilitas rupiah, tetapi “tidak boleh berhenti pada insentif jangka pendek. Pemerintah harus memastikan iklim investasi domestik cukup menarik sehingga dana tidak keluar kembali” (Basri, Kompas Ekonomi, 2024).

Baca Juga  Presiden Prabowo Tetapkan Empat Pulau Jadi Wilayah Aceh: Penyelesaian Damai Sengketa Antardaerah

Dari sisi akademik, laporan LPEM FEB UI (2023) menunjukkan bahwa setiap peningkatan cadangan devisa sebesar USD 10 miliar dapat menurunkan volatilitas rupiah terhadap dolar sebesar 1,5%. Artinya, kebijakan penarikan dolar memiliki implikasi langsung pada daya tahan ekonomi nasional.

Perspektif Khittah NU 1926: Kemandirian, Nasionalisme, dan Etika Ekonomi

Khittah NU 1926 menegaskan pentingnya menjaga kemandirian bangsa melalui prinsip hubbul wathan minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman). Dalam konteks ekonomi, hal ini berarti mendorong setiap kebijakan pemerintah untuk berorientasi pada kepentingan rakyat banyak, bukan hanya segelintir pemilik modal.

Menurut KH. Ahmad Shiddiq dalam Khittah NU 1926: Antara Tradisi dan Transformasi (1994), khittah bukan hanya sebuah dokumen politik, tetapi juga landasan etika sosial-ekonomi. Ia menekankan bahwa NU harus mendukung kebijakan yang menjaga kedaulatan bangsa dari intervensi asing dan praktik ekonomi eksploitatif.

Maka, kebijakan insentif dolar tidak boleh semata-mata dipandang sebagai instrumen perbankan, melainkan juga sebagai manifestasi upaya bangsa Indonesia untuk tidak bergantung pada aliran dana asing. Dalam bingkai khittah, kemandirian devisa adalah bagian dari menjaga martabat bangsa.

Tantangan Struktural: Mengelola Arus Modal dan Devisa

Kebijakan menarik dolar kembali ke dalam negeri tidak lepas dari tantangan struktural. Data Bank Dunia (2024) menunjukkan bahwa lebih dari USD 8 miliar dana keluar dari Indonesia setiap tahun melalui transfer individu maupun korporasi. Sebagian besar mengalir ke Singapura, Hong Kong, dan Australia, yang menawarkan stabilitas finansial dan bunga kompetitif.

Menurut Aviliani, ekonom senior INDEF, “selama insentif di dalam negeri tidak mampu menandingi kemudahan birokrasi dan stabilitas di luar negeri, maka kebijakan ini hanya bersifat temporary inflow, bukan solusi jangka panjang” (Bisnis Indonesia, 2025).

Fenomena ini mirip dengan apa yang disebut capital flight. Riset Ndikumana & Boyce (2011) dalam African Development Review menjelaskan bahwa negara berkembang kerap kesulitan mengendalikan arus modal karena lemahnya governance dan tingginya ketidakpastian kebijakan. Indonesia berpotensi menghadapi tantangan serupa jika insentif tidak disertai perbaikan struktural.

Baca Juga  Indonesia–Singapura Dorong Solusi Damai untuk Gaza, Iran–Israel, dan Krisis Myanmar

Perbankan Domestik: Pasokan Dolar dan Proyek Strategis

Perbankan domestik memegang peran sentral dalam mengelola devisa yang kembali masuk. Laporan OJK (2024) mencatat bahwa kredit valas untuk sektor infrastruktur mencapai Rp 320 triliun, naik 12% dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, sebagian besar kebutuhan dolar masih dipenuhi melalui pinjaman luar negeri.

Jika insentif berhasil, maka perbankan nasional bisa memperoleh suplai dolar yang lebih stabil, sehingga pembiayaan proyek strategis—mulai dari pembangunan IKN hingga energi terbarukan—dapat ditopang dari dalam negeri. Hal ini sejalan dengan target pemerintah untuk menekan ketergantungan pada utang luar negeri.

Namun, ada risiko mismatch. Riset Claessens & Van Horen (2015) dalam Journal of Financial Intermediation menunjukkan bahwa ketergantungan bank pada simpanan valas jangka pendek berpotensi meningkatkan kerentanan likuiditas. Oleh karena itu, pemerintah perlu merancang skema insentif dengan tenor jangka menengah-panjang.

Dimensi Sosial: Uang, Mobilitas, dan Kesadaran Kebangsaan

Kebijakan finansial tidak berdiri sendiri. Ia terkait erat dengan dinamika sosial dan budaya masyarakat. Bourdieu (1986) menyebutkan bahwa modal tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga sosial dan simbolik. Menyimpan uang di luar negeri sering dipandang sebagai simbol status dan keamanan bagi kelas menengah-atas Indonesia.

Dalam kerangka NU, hal ini menimbulkan pertanyaan moral: apakah kepentingan individu untuk mencari keuntungan dan keamanan finansial boleh mengorbankan kepentingan kolektif bangsa? NU sejak awal berdirinya menekankan pentingnya ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) yang menuntut warga negara mendahulukan kepentingan bersama.

Giddens (1990) dalam The Consequences of Modernity menyebutkan bahwa globalisasi finansial menciptakan disembedding mechanisms, yaitu terlepasnya uang dari ruang lokal menuju ruang global. Di sinilah tantangan etis NU muncul: bagaimana membawa kembali kesadaran bahwa menyimpan dana di dalam negeri adalah bagian dari ibadah kebangsaan.

Peluang dan Risiko Kebijakan Insentif Dolar

Secara peluang, kebijakan ini dapat meningkatkan cadangan devisa secara cepat. India misalnya, melalui India Development Bonds (1991) berhasil menarik USD 1,6 miliar dari diaspora dalam waktu singkat. Filipina juga memanfaatkan remitansi diaspora sebagai pilar utama cadangan devisa, yang mencapai USD 40 miliar per tahun (World Bank, 2023).

Baca Juga  Meningkatkan Literasi Keuangan dan Inovasi untuk UMKM melalui Profesi Keuangan Expo 2024

Namun, risiko tetap besar. Menurut Joseph Stiglitz (2002) dalam Globalization and Its Discontents, kebijakan insentif finansial kerap gagal jika tidak dibarengi dengan kepastian hukum, tata kelola yang baik, dan stabilitas politik. Uang mudah masuk, tetapi juga mudah keluar ketika kondisi memburuk.

Pengamat INDEF, Eko Listiyanto, menegaskan bahwa kebijakan ini harus dilihat sebagai complementary measure, bukan solusi tunggal. “Kalau hanya memberi bunga lebih tinggi, orang tetap bisa keluar jika ada gejolak politik. Tetapi kalau kita perkuat governance dan kepastian hukum, dana itu akan bertahan” (Tempo Ekonomi, 2025).

Refleksi: Antara Khittah NU 1926 dan Ekonomi Modern

Dalam perspektif khittah NU 1926, kebijakan penarikan dolar harus dimaknai sebagai upaya menjaga kedaulatan ekonomi nasional. NU mendorong agar setiap kebijakan negara berorientasi pada keberpihakan rakyat, transparansi, dan keberlanjutan.

Menurut buku Ekonomi Politik Nahdlatul Ulama (Sulaiman, 2018), NU memiliki tradisi panjang dalam mengkritisi kebijakan ekonomi yang berpotensi merugikan rakyat kecil. Kemandirian ekonomi dianggap sebagai bagian dari jihad kebangsaan. Oleh karena itu, insentif dolar perlu diposisikan bukan hanya untuk kepentingan elit, tetapi juga memperluas akses pembiayaan bagi UMKM dan ekonomi pesantren.

Kebijakan devisa yang sejalan dengan khittah adalah kebijakan yang tidak sekadar menumpuk angka cadangan, tetapi juga memastikan distribusi manfaatnya. Inilah bentuk aktualisasi al-mashlahah al-‘ammah (kemaslahatan umum) dalam konteks ekonomi modern.

Penutup: Dari Kebijakan ke Kesadaran Kolektif

Rencana pemerintah untuk memberikan insentif bagi penarikan dolar WNI dari luar negeri adalah langkah strategis. Namun, keberhasilannya bergantung pada desain kebijakan yang realistis, tata kelola yang baik, dan dukungan sosial.

Dalam bingkai khittah NU 1926, kebijakan ini seharusnya dilihat sebagai ikhtiar menjaga martabat bangsa dan kemandirian ekonomi. NU menegaskan bahwa cinta tanah air tidak hanya diwujudkan melalui retorika, tetapi juga dalam pilihan ekonomi yang memperkuat negara.

Akhirnya, tantangan kita bukan hanya menarik dolar kembali, tetapi juga membangun kesadaran kolektif bahwa ekonomi nasional adalah tanggung jawab bersama. Seperti pesan Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, “agama dan negara adalah dua kekuatan yang saling menopang.” Dalam konteks hari ini, devisa dan kesadaran kebangsaan harus berjalan beriringan.

Leave a Reply