Rahasia Belajar Efektif: 5 Level Kompleksitas Menurut SOLO Taxonomy

Cirebonrayajeh.com – Dalam dunia pembelajaran yang terus berkembang, menemukan cara belajar yang efektif menjadi kunci untuk menguasai berbagai materi dengan lebih mendalam. Banyak dari kita yang sering merasa kebingungan saat harus memahami konsep yang kompleks atau menghubungkan informasi yang tersebar. Di sinilah peran SOLO Taxonomy muncul sebagai alat bantu yang sangat berguna.

SOLO Taxonomy, atau Structure of the Observed Learning Outcome, menawarkan kerangka kerja yang mengklasifikasikan tingkat pemahaman dari pembelajaran secara bertahap. Dengan mengenal 5 level kompleksitas dalam kerangka ini, Anda tidak hanya bisa mengukur sejauh mana pemahaman yang telah dicapai, tetapi juga mengetahui langkah-langkah untuk meningkatkan kemampuan berpikir secara sistematis dan kritis.

Artikel ini dirancang untuk membantu Anda mengeksplorasi rahasia di balik pembelajaran efektif melalui pendekatan SOLO Taxonomy. Baik Anda seorang pelajar yang ingin meningkatkan prestasi akademis atau seorang pendidik yang ingin merancang strategi pembelajaran yang lebih efisien, pemahaman mendalam mengenai 5 level dalam SOLO Taxonomy akan membuka jalan bagi cara berpikir yang lebih terstruktur dan solusi yang lebih tepat dalam menghadapi tantangan pembelajaran.

Mari kita telusuri bersama bagaimana konsep ini dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga setiap langkah belajar Anda semakin bermakna dan penuh dengan pencapaian yang memuaskan.

Taxonomy SOLO, singkatan dari “structure of observed learning outcome“, adalah alat inovatif dalam dunia pendidikan yang dirancang untuk menilai kedalaman pemahaman siswa. Dengan kerangka kerja yang sistematis ini, para pendidik tidak hanya mengukur kemampuan menghafal siswa, tetapi juga mengevaluasi seberapa mendalam mereka memahami konsep yang diajarkan. Pendekatan ini memungkinkan identifikasi tahap-tahap pembelajaran dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks, sehingga guru dapat menyusun strategi pengajaran yang lebih tepat dan efektif sesuai dengan kebutuhan setiap siswa.

SOLO taxonomy dikembangkan oleh John Biggs sebagai alternatif dari taksonomi pengetahuan Bloom. Sistem ini dianggap lebih praktis karena menekankan pada hasil yang dapat diamati dari proses belajar, bukan hanya pada proses kognitif internal yang sulit diukur.

Secara garis besar, SOLO taxonomy terdiri dari lima tingkatan pengetahuan yang disusun secara berurutan dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks, yaitu:

  • Prestruktural: Pada tahap ini, pemahaman siswa masih sangat terbatas dan belum menunjukkan hubungan yang jelas antara konsep-konsep yang ada.
  • Unstruktural: Siswa mulai mengidentifikasi informasi, namun belum mampu mengintegrasikannya secara menyeluruh.
  • Multistruktural: Siswa sudah bisa mengumpulkan dan menyusun beberapa informasi, namun masih melihatnya secara terpisah-pisah.
  • Relasional: Pada tingkatan ini, siswa mampu menghubungkan berbagai konsep sehingga membentuk pemahaman yang lebih utuh.
  • Extended Abstract: Siswa tidak hanya memahami hubungan antar konsep, tetapi juga dapat menerapkan pengetahuan tersebut dalam konteks yang lebih luas dan abstrak, serta mengembangkan ide-ide baru.

Di tingkat yang lebih rendah, siswa cenderung menunjukkan kemampuan kognitif dasar dengan mengenali dan mengingat fakta. Sementara itu, pada tingkatan yang lebih tinggi, mereka mampu menggunakan strategi penalaran induktif yang kompleks untuk menganalisis, menyintesis, dan mengevaluasi informasi secara mendalam. Pendekatan inilah yang membuat SOLO taxonomy menjadi kerangka kerja yang efektif dalam menilai perkembangan pembelajaran secara menyeluruh dan terukur.

Definisi Taksonomi (Taxonomy) SOLO

Struktur taksonomi hasil belajar yang diamati (SOLO taxonomy) adalah alat canggih yang memudahkan pengukuran seberapa mendalam pemahaman siswa terhadap suatu materi pembelajaran.

Baca Juga  Rahasia Sukses Dosen: Roadmap Publikasi yang Mengangkat Karier Akademik Anda!

Konsep ini memaparkan lima tingkatan pemahaman, dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks. Pendekatan ini banyak digunakan untuk merancang hasil pembelajaran dan tugas penilaian yang tingkat kesulitannya meningkat seiring siswa maju dalam pendidikan.

5 Tingkat Taksonomi Solo

Taksonomi ini memiliki lima tingkat, yaitu:

  • Prestruktural
  • Unistruktural
  • Multistruktural
  • Relasional
  • Abstrak Lanjutan

Tiga tingkat pertama mencerminkan cara berpikir secara kuantitatif—di mana, menurut Biggs, biasanya didasari oleh penalaran deduktif dan analisis permukaan. Sedangkan dua tingkat terakhir mengadopsi pendekatan kualitatif yang menekankan pemahaman mendalam dan penguasaan pengetahuan tentang suatu topik.

1. Prastruktural

Pada tahap prastruktural, siswa belum memiliki pemahaman sama sekali tentang topik tersebut. Hal ini bisa terjadi karena mereka belum pernah mempelajarinya sebelumnya.

Biggs berpendapat bahwa “respon prastruktural tidak menangkap inti permasalahan” dan “hampir tidak menunjukkan adanya pembelajaran yang relevan” (Biggs & Tang, 2007, hlm. 87).

Kita dapat mengenali bahwa seorang siswa berada pada tahap prastruktural ketika mereka menjawab pertanyaan dengan cara yang sangat sederhana, seperti:

  • “Saya tidak tahu.”
  • “Saya hanya mengulang apa yang seharusnya saya katakan.”
  • Memberikan komentar yang tidak relevan.

Jawaban-jawaban ini menunjukkan bahwa siswa belum memahami konsep yang dibahas secara mendalam.

Contoh: Saat saya menilai tugas, saya sering menemui hal ini. Ada paragraf yang sama sekali tidak relevan, penuh dengan kesalahan fakta, atau bahkan disalin langsung dari sumber lain. Ini menunjukkan bahwa siswa benar-benar tidak memahami materi.

Perhatikan: Biggs mengingatkan kita bahwa terkadang seseorang bisa memberikan jawaban panjang dan terdengar meyakinkan, tetapi sebenarnya masih berada pada tahap pemahaman yang sangat rendah.

Ia memberi contoh seorang politisi yang berbicara banyak, tetapi sebenarnya tidak menjawab pertanyaan yang diajukan.

2. Unistruktural

Seorang siswa dengan pemahaman unistruktural biasanya hanya mengerti satu atau dua bagian dari tugas, tetapi belum memahami keseluruhannya.

Pada tahap ini, seorang siswa mungkin dapat mengenali dan menyebutkan beberapa hal serta mengikuti prosedur sederhana yang telah diajarkan kepada mereka.

Namun, pemahaman mereka masih terbatas. Meskipun mereka mungkin mengetahui beberapa bagian dari suatu topik, masih banyak aspek penting yang terlewat sehingga mereka belum benar-benar memahaminya secara menyeluruh.

Ketika menjawab pertanyaan dengan pemahaman unistructural, seorang siswa kemungkinan besar akan:

  • Memberikan jawaban yang masih umum atau samar.
  • Mengetahui beberapa istilah yang berkaitan dengan topik tersebut.
  • Tidak mampu menjelaskan istilah tersebut secara mendalam ketika diminta penjelasan lebih lanjut.

Seperti yang dijelaskan oleh Biggs: “Respon unistructural berkaitan dengan pengenalan istilah, mulai memahami jalurnya, tetapi tidak lebih dari itu” (Biggs & Tang, 2007, hlm. 87).

3. Multistruktural

Pada tahap multistruktural, seorang siswa mulai mengumpulkan banyak pengetahuan, tetapi belum mampu menghubungkannya secara keseluruhan.

Pemahaman mereka masih sebatas mengingat, menghafal, dan mengulangi apa yang telah dipelajari tanpa benar-benar memahaminya secara mendalam. Akibatnya, mereka hanya memiliki pemahaman dangkal dan belum bisa menerapkan konsep tersebut dengan cara baru atau kreatif karena belum sepenuhnya menguasainya.

Baca Juga  Rahasia Meningkatkan Sitasi Jurnal: Strategi Jitu untuk Dosen dan Akademisi

Contoh: Bayangkan seorang pekerja bangunan yang memiliki semua bahan dan komponen yang diperlukan, tetapi tidak tahu cara merangkainya menjadi sebuah bangunan. Atau seperti saat Anda membuka kotak furnitur IKEA—semua bagian sudah ada di depan Anda, tetapi tanpa petunjuk yang jelas, sulit untuk menyusunnya menjadi sesuatu yang utuh.

4. Relasional

Tahap relasional adalah tahap pertama di mana seseorang mulai memahami suatu topik secara lebih mendalam dan menunjukkan keterampilan berpikir yang lebih kompleks.

Pada tahap ini, siswa mulai melihat bagaimana berbagai bagian dalam suatu topik saling terhubung. Mereka mampu:

  • Mengenali pola yang ada dalam suatu konsep.
  • Menjelaskan bagaimana berbagai elemen dalam suatu topik saling berkaitan.
  • Membandingkan dan mencari perbedaan antara berbagai aspek suatu topik.
  • Melihat suatu topik dari berbagai sudut pandang.

Inti dari pemahaman relasional adalah kemampuan untuk membangun struktur dan sistem dalam mengorganisir pengetahuan. Siswa mulai mampu menjelaskan hubungan antar konsep dengan pendekatan yang lebih sistematis dan bahkan menggunakan model teori sederhana.

Kutipan: Seperti yang dikemukakan oleh Biggs: “Terjadi perubahan kualitatif dalam pembelajaran dan pemahaman. Tidak lagi sekadar mencantumkan fakta dan detail.” (Biggs & Tang, 2007, hlm. 87).

5. Extended Abstract

Pada tahap extended abstract, mahasiswa memiliki pemahaman yang mendalam tentang suatu topik dan mampu menerapkannya dalam berbagai situasi.

Menurut Biggs, inti dari respons extended abstract adalah bahwa mahasiswa tidak hanya mengulang informasi yang diberikan, tetapi mampu melampaui batasan materi yang ada (Biggs & Tang, 2007, hlm. 87). Dengan kata lain, mereka dapat menciptakan pengetahuan baru dan menggunakannya dalam berbagai konteks karena sudah memiliki pemahaman yang kuat.

Contoh Penerapan: Misalnya, seorang mahasiswa yang mempelajari konsep tertentu di kelas dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dalam situasi yang sangat berbeda dari lingkungan akademik.

Selain itu, mahasiswa juga dapat merancang ide-ide teoretis dan menggunakannya untuk membuat prediksi atau asumsi tentang kejadian di masa depan.

Taksonomi SOLO vs Taksonomi Bloom

Taksonomi Biggs dikenal luas sebagai alternatif yang sangat dihormati dari taksonomi Bloom dalam menilai perilaku dan tujuan pembelajaran siswa.

Berbeda dengan taksonomi Bloom yang sering mencakup keterampilan kognitif yang tidak dapat diamati secara langsung, pendekatan SOLO lebih menitikberatkan pada bukti nyata dari pemahaman siswa. Hal ini membuatnya sangat efektif dalam mengevaluasi seberapa baik siswa memahami suatu topik.

Dalam taksonomi Bloom, sering kali ditemukan kata kerja yang sulit diamati dan dinilai dalam menggambarkan pengetahuan serta pemahaman. Beberapa contohnya adalah sebagai berikut:

Bloom's Taxonomy Cirebon Raya Jeh

Berbeda dengan taksonomi lainnya, Taksonomi SOLO lebih menekankan pada hasil pemahaman daripada sekadar mendeskripsikan pengetahuan itu sendiri. Taksonomi ini menyediakan istilah yang jelas untuk menggambarkan apa yang seharusnya dapat ditunjukkan oleh siswa setelah menyelesaikan suatu mata kuliah.

Karena itulah, pendekatan Biggs sangat bermanfaat dalam merancang tujuan pembelajaran yang dapat diukur dalam asesmen. Berikut ini adalah kumpulan kata kerja yang dapat diamati yang direkomendasikan oleh pendekatan SOLO.

Kerja SOLO (Cara Menggunakan Kerangka Kerja dalam Desain Kurikulum)

John Biggs mengembangkan model SOLO sebagai alat dalam merancang kurikulum di pendidikan tinggi. Model ini merupakan bagian dari konsep yang lebih luas, yaitu constructive alignment.

Baca Juga  Apa Itu Psikologi? Rahasia di Balik Pikiran dan Perilaku Manusia!

Apa itu Constructive Alignment?

Secara sederhana, constructive alignment memastikan bahwa pengajaran yang kita berikan dalam kelas:

✅ Selaras dengan materi yang akan diujikan.
✅ Mempersiapkan mahasiswa untuk menghadapi penilaian dengan baik.
✅ Sesuai dengan tingkat kesulitan yang diharapkan dalam ujian akhir.
✅ Menantang secara kognitif agar meningkatkan pemahaman.
✅ Menggunakan strategi pembelajaran berbasis konstruktivisme.

Peran Model SOLO dalam Pembelajaran

Sebagai bagian praktis dari constructive alignment, model SOLO membantu kita dalam:

📌 Menyusun capaian pembelajaran yang jelas.
📌 Menilai sejauh mana pemahaman mahasiswa berkembang.

Menurut Biggs, taksonomi ini dapat digunakan untuk menentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai serta mengevaluasi tingkat pemahaman mahasiswa secara akurat (Biggs & Tang, 2007, hlm. 87).

Agar lebih efektif, kita dapat menggunakan kata kerja yang sesuai dengan setiap tingkat pemahaman dalam model SOLO. Kata kerja ini akan memandu kita dalam merancang capaian pembelajaran yang memiliki tingkat kesulitan yang tepat.

Kelebihan dan Kekurangan Model Bigg

Keunggulan Taksonomi SOLO:

  • Memudahkan Perancangan Tujuan Pembelajaran: Pendidik dapat menggunakan kata kerja dalam taksonomi SOLO untuk merancang tujuan pembelajaran yang jelas. Berbeda dengan taksonomi Bloom, kata kerja dalam taksonomi SOLO semuanya dapat diamati, sehingga lebih efektif untuk penilaian.
  • Membantu Penyusunan Kurikulum Bertahap: Taksonomi ini memberikan kerangka kerja untuk menyusun kurikulum yang berkembang secara bertahap, dari materi yang lebih sederhana hingga tingkat kesulitan yang lebih tinggi.
  • Menentukan Tahapan Pemahaman Siswa: Dengan taksonomi SOLO, pendidik dapat lebih mudah merancang strategi pembelajaran berdasarkan apa yang perlu dipahami siswa di setiap tahap perkembangannya.
  • Panduan dalam Menilai Pemahaman Siswa: Taksonomi ini membantu guru dalam menentukan nilai siswa dengan lebih objektif, karena memberikan panduan untuk mengidentifikasi tingkat kedalaman pemahaman mereka.

Kekurangan model ini antara lain:

  • Tidak mempertimbangkan tingkat kesulitan topik: Model ini tidak memperhitungkan bahwa beberapa topik secara alami lebih sulit daripada yang lain. Misalnya, ilmu bedah otak membutuhkan usaha luar biasa untuk mencapai level 3 atau 4 dalam taksonomi ini. Sementara itu, ada topik lain yang lebih mudah dipahami dan dianalisis hingga level 5 (tingkat abstrak lanjutan). Akibatnya, bahkan kurikulum tingkat pascasarjana yang sangat menantang mungkin masih menggunakan kata kerja dengan tingkat berpikir yang lebih rendah dalam tujuan pembelajarannya.
  • Menekankan hasil belajar dan penilaian: Model ini mengasumsikan bahwa setiap kursus harus memiliki tujuan pembelajaran yang jelas dan menempatkan penilaian sebagai bagian penting dari proses belajar. Namun, tidak semua pendidik setuju dengan pendekatan ini. Beberapa dari mereka berpendapat bahwa penilaian dan tujuan pembelajaran yang terlalu ketat justru bisa membatasi kreativitas dan menghambat pembelajaran yang dipimpin oleh siswa.

References

  • Biggs, J.B., and Collis, K.F. (1982). Evaluating the Quality of Learning. New York: Academic Press.
  • Biggs, J. (1999). Teaching for Quality Learning at University. SHRE and Open University Press.
  • Biggs, J., & Tang, C. (2007). Teaching for quality learning at university. What the student does (3rd Ed.). Berkshire: Society for Research into Higher Education & Open University Press.
  • Brabrand, C., & Dahl, B. (2009). Using the SOLO model to analyze competence progression of university science curricula. Higher Education, 58(4), 531-549.
Cirebon Raya Jeh Team
Cirebon Raya Jeh adalah website yang hadir untuk mendukung dan mengembangkan potensi UMKM di Nusantara. Fokus utama kami adalah memberikan informasi yang relevan dan bermanfaat bagi pelaku usaha kecil dan menengah, dengan tujuan membantu mereka meraih kesuksesan dalam bisnis. Melalui berbagai konten yang inspiratif dan edukatif, Cirebon Raya Jeh berkomitmen untuk menjadi mitra strategis UMKM Indonesia.