RUU TNI: Jalan Terjal Demokrasi Indonesia dalam Bayang-Bayang Militerisme

Membedah Dampak RUU TNI terhadap Demokrasi Indonesia: Ancaman Militerisme atau Reformasi Sektor Keamanan?

Cirebonrayajeh.com – Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang saat ini tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menimbulkan polemik di kalangan akademisi, aktivis hak asasi manusia (HAM), dan masyarakat sipil. Isu utama yang mengemuka adalah potensi ancaman terhadap supremasi sipil dan prinsip demokrasi yang telah diperjuangkan sejak Reformasi 1998. Jika tidak dikaji secara mendalam dan disusun dengan prinsip demokrasi yang kuat, regulasi ini berisiko menghidupkan kembali dwifungsi ABRI yang pernah menjadi simbol represifitas Orde Baru.

Koordinator BEM PTNU UNU Cirebon – Muh Akmal Ibrahim

Artikel ini akan mengkaji dampak RUU TNI dari perspektif hukum tata negara, HAM, politik, serta memberikan solusi konstruktif untuk menjaga keseimbangan antara peran militer dan supremasi sipil.

Analisis Hukum Tata Negara

Secara normatif, peran militer di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang menegaskan bahwa tugas utama TNI adalah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga keamanan dari ancaman luar. Namun, draf RUU TNI yang beredar menunjukkan adanya upaya untuk memperluas kewenangan militer ke ranah sipil, termasuk keterlibatan dalam urusan sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini berpotensi bertentangan dengan prinsip civil supremacy, yang merupakan elemen fundamental dalam negara demokratis.

Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dijelaskan bahwa setiap individu memiliki hak untuk bebas dari tindakan represif dan diskriminatif yang dapat muncul akibat kebijakan militer yang tidak terkendali. Konstitusi Indonesia, khususnya Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, juga menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, yang berarti bahwa segala bentuk kebijakan negara, termasuk revisi undang-undang TNI, harus tunduk pada prinsip supremasi hukum dan hak asasi manusia.

Jika RUU TNI disahkan tanpa kontrol ketat, maka dapat melemahkan prinsip checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XI/2013, dijelaskan bahwa prinsip demokrasi harus tetap dijaga dengan menegaskan pemisahan kewenangan antara sipil dan militer, sehingga tidak ada dominasi berlebihan dalam ranah politik dan sosial oleh institusi militer.

Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM)

Dari sudut pandang HAM, keterlibatan militer dalam urusan sipil dapat meningkatkan risiko pelanggaran hak-hak warga negara. Sejarah mencatat bahwa di era Orde Baru, dwifungsi ABRI berujung pada berbagai pelanggaran HAM, termasuk represi terhadap kebebasan berpendapat, kriminalisasi aktivis, dan praktik kekerasan negara terhadap masyarakat sipil. Jika RUU TNI tidak dirancang dengan batasan yang jelas, kekhawatiran serupa dapat muncul kembali, mengancam perlindungan HAM dan kebebasan sipil di Indonesia.

Secara hukum, perlindungan HAM di Indonesia telah diatur dalam Pasal 28A-28J UUD 1945, yang menjamin hak atas kebebasan berpendapat, berserikat, dan hak untuk bebas dari tindakan diskriminatif. Selain itu, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM mempertegas bahwa setiap kebijakan negara harus menghormati prinsip-prinsip HAM yang berlaku secara universal.

Indonesia juga telah meratifikasi beberapa instrumen HAM internasional, seperti International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan Convention Against Torture (CAT). ICCPR menekankan pentingnya perlindungan hak sipil dan politik, termasuk kebebasan berekspresi dan hak untuk tidak mengalami intervensi sewenang-wenang dari aparat negara. Sementara itu, CAT melarang segala bentuk penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi oleh otoritas negara, termasuk militer. Dengan demikian, perlu ada mekanisme hukum yang ketat untuk memastikan bahwa militer tidak melampaui batas kewenangannya dalam ranah sipil.

Dampak terhadap Demokrasi dan Stabilitas Politik

Dari perspektif politik, demokrasi Indonesia masih dalam tahap konsolidasi dan membutuhkan penguatan supremasi sipil. Jika militer kembali memiliki peran dominan dalam kebijakan publik, ada risiko bahwa keputusan-keputusan strategis negara lebih banyak diwarnai oleh kepentingan militer ketimbang aspirasi rakyat. Ini berpotensi menghambat proses demokratisasi dan melemahkan peran institusi sipil dalam tata kelola negara. Selain itu, peningkatan peran TNI dalam urusan sipil dapat memperburuk relasi sipil-militer, memicu konflik kepentingan dalam birokrasi, dan memperlemah akuntabilitas pemerintahan.

Secara hukum, prinsip demokrasi dan supremasi sipil ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Selain itu, Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa TNI sebagai alat pertahanan negara harus tunduk pada kebijakan politik negara yang dikendalikan oleh pemerintahan sipil.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, ditegaskan bahwa urusan keamanan dan pertahanan negara berada dalam ranah pemerintah pusat dan tidak boleh mencampuri urusan pemerintahan sipil di daerah. Hal ini menegaskan perlunya pemisahan tegas antara kewenangan sipil dan militer untuk menjaga keseimbangan demokrasi.

Kasus Nyata dan Implikasinya

Sebagai contoh, kasus di Myanmar menunjukkan bagaimana dominasi militer dalam pemerintahan dapat menghambat demokrasi dan menimbulkan krisis hak asasi manusia. Militer Myanmar menggunakan undang-undang keamanan nasional untuk membatasi kebebasan sipil dan menindas oposisi politik. Jika Indonesia tidak mengatur dengan jelas batasan peran TNI, ada kemungkinan efek serupa terjadi, meskipun dalam skala berbeda.

Sebaliknya, di negara-negara demokrasi maju seperti Jerman dan Jepang, peran militer sangat dibatasi dalam urusan sipil. Di Jepang, Pasal 9 Konstitusi Jepang secara eksplisit melarang penggunaan kekuatan militer dalam kebijakan domestik. Hal ini dapat menjadi referensi bagi Indonesia dalam menjaga keseimbangan antara kekuatan militer dan supremasi sipil.

Tegas! Mahasiswa NU Menolak RUU TNI

Secara tegas Muh. Akmal Ibrahim, Koordinator BEM PTNU Cirebon, menyatakan bahwa sebagai mahasiswa NU, kita mewarisi semangat Ahlussunnah wal Jamaah, di antaranya moderasi dan semangat kebangsaan yang kuat. Kita menolak dengan tegas RUU TNI yang berpotensi mengancam nilai-nilai luhur tersebut. Oleh karena itu, sebagai langkah preventif dan solutif, revisi RUU TNI harus didasarkan pada prinsip demokrasi, supremasi sipil, dan perlindungan HAM. Dampak positif dari pembatasan kewenangan militer adalah meningkatnya transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, sementara dampak negatifnya adalah potensi lemahnya respons negara dalam situasi darurat. Oleh karena itu, solusi terbaik adalah:

  • Revisi RUU TNI dengan Pendekatan Partisipatif – Melibatkan akademisi, aktivis HAM, dan masyarakat sipil dalam pembahasan RUU agar prinsip demokrasi tetap terjaga.
  • Mekanisme Pengawasan yang Kuat – Memperkuat fungsi DPR dan lembaga pengawas independen dalam mengontrol peran militer dalam urusan sipil.
  • Penegakan Prinsip Supremasi Sipil – Memastikan bahwa setiap kebijakan militer tetap berada di bawah kontrol sipil, sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
  • Penguatan Reformasi Sektor Keamanan – Mempercepat reformasi militer agar fokus pada pertahanan nasional dan tidak meluas ke ranah sipil.
  • Penerapan Model Negara Demokratis – Mengacu pada praktik negara-negara demokrasi maju dalam membatasi peran militer secara ketat dalam urusan sipil.

Penutup

RUU TNI adalah titik kritis bagi perjalanan demokrasi Indonesia. Jika disusun dengan prinsip demokrasi yang kuat, regulasi ini dapat menjadi instrumen reformasi sektor keamanan yang positif. Namun, jika disahkan tanpa kontrol dan mekanisme pengawasan yang ketat, RUU ini berpotensi mengembalikan Indonesia ke era militerisme yang mengancam kebebasan sipil dan supremasi hukum. Oleh karena itu, kajian kritis, partisipasi publik, dan mekanisme check and balance yang kuat harus menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses legislasi ini.

Cirebon Raya Jeh Team
Cirebon Raya Jeh adalah website yang hadir untuk mendukung dan mengembangkan potensi UMKM di Nusantara. Fokus utama kami adalah memberikan informasi yang relevan dan bermanfaat bagi pelaku usaha kecil dan menengah, dengan tujuan membantu mereka meraih kesuksesan dalam bisnis. Melalui berbagai konten yang inspiratif dan edukatif, Cirebon Raya Jeh berkomitmen untuk menjadi mitra strategis UMKM Indonesia.