[Cirebonrayajeh.com – Presiden Prabowo Subianto] Pertemuan bilateral antara Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dengan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), António Guterres, pada 22 September 2025 di New York menjadi momentum penting dalam diplomasi global. Bukan sekadar pertemuan rutin antar-negara, tetapi sebuah sinyal bahwa Indonesia semakin menegaskan diri sebagai kekuatan moral sekaligus politik dalam percaturan internasional.
Indonesia sejak lama menempatkan politik luar negeri bebas aktif sebagai landasan diplomasi. Prinsip ini telah menuntun bangsa untuk tidak sekadar menjadi pengikut, tetapi ikut menginisiasi gagasan damai dan keadilan. Dalam konteks NU, khittah 1926 juga menekankan prinsip tawasuth (jalan tengah), tasamuh (toleransi), i’tidal (tegak lurus/berkeadilan), dan ta’awun (kerja sama). Nilai-nilai inilah yang relevan untuk membaca sikap Indonesia dalam mendukung Palestina, Gaza, dan perdamaian dunia.
Pertemuan Prabowo–Guterres di lantai 27 markas besar PBB memperlihatkan kesinambungan tradisi diplomasi Indonesia, sekaligus membuka ruang refleksi: bagaimana kita membaca peran Indonesia dengan kacamata NU 1926 yang berpihak pada kemanusiaan universal.
Pertemuan di Jantung PBB: Diplomasi Perdamaian Indonesia
Pertemuan bilateral di Gedung Sekretariat PBB, New York, berlangsung hangat. “Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto melakukan pertemuan bilateral dengan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), António Guterres, di lantai 27 Gedung Sekretariat PBB, New York, Amerika Serikat, pada Senin, 22 September 2025. Setibanya di lokasi pertemuan, Presiden Prabowo disambut langsung oleh Sekjen PBB Guterres. Setelahnya kedua pemimpin melakukan sesi foto bersama.”
Momentum ini bukan hanya simbolis, tetapi representasi politik luar negeri Indonesia yang konsisten. Prof. Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional UI, menyebut bahwa Indonesia termasuk kategori middle power yang dipercaya dunia untuk memainkan peran jembatan antar-negara besar. Dalam literatur Global Governance (Weiss, 2018), middle power seperti Indonesia sering berhasil memengaruhi agenda global melalui diplomasi moral dan kolektif.
Dalam perspektif NU, kehadiran Indonesia di forum PBB mencerminkan ukhuwah insaniyah—persaudaraan kemanusiaan. Prinsip ini menegaskan bahwa keterlibatan Indonesia bukan sekadar kepentingan nasional, tetapi juga komitmen universal pada perdamaian.
Solidaritas Global dan Komitmen Multilateral
Dalam pertemuan tersebut, Presiden Prabowo menekankan pentingnya kerja sama internasional. “Dalam pertemuan tersebut, beliau menyampaikan bahwa Indonesia tetap pada komitmennya untuk mendukung sistem multilateral dan tetap percaya bahwa PBB merupakan sebuah organisasi yang harus diperkuat dalam rangka menjaga kedamaian atas dunia,” ujar Menlu Sugiono dalam keterangannya.
Pernyataan ini memperlihatkan konsistensi politik luar negeri bebas aktif. Dewi Fortuna Anwar, peneliti senior CSIS, menegaskan bahwa sikap Indonesia selalu menolak dominasi unilateral, dan lebih memilih kerangka multilateral karena dinilai lebih adil bagi negara berkembang. Pandangan ini diperkuat oleh temuan Journal of Peace Research (Gleditsch, 2020) yang menunjukkan efektivitas kerja sama multilateral dalam menurunkan potensi konflik antar-negara.
Dalam bingkai NU 1926, komitmen pada multilateral sejalan dengan prinsip ta’awun—kerja sama kolektif untuk kebaikan bersama. Politik luar negeri Indonesia tidak berhenti pada retorika, tetapi mencari bentuk konkret solidaritas global.
Palestina dan Gaza: Komitmen Kemanusiaan Indonesia
Isu Palestina selalu menempati ruang istimewa dalam diplomasi Indonesia. Presiden Prabowo menegaskan hal ini dengan tegas: “Kepala Negara juga menekankan kesiapan Indonesia untuk berkontribusi pada misi perdamaian, khususnya terkait situasi di Gaza.”
Dr. Yon Machmudi, Kepala Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam UI, menjelaskan bahwa posisi Indonesia terhadap Palestina bukan semata-mata politik luar negeri, tetapi juga cerminan solidaritas umat dan kemanusiaan. Bagi Indonesia, mendukung Palestina adalah amanat konstitusi yang menolak penjajahan.
Data UN OCHA Gaza Crisis Overview 2024 menunjukkan kondisi tragis: lebih dari 37 ribu korban meninggal sejak pecahnya eskalasi terakhir, dengan lebih dari 70% adalah perempuan dan anak-anak. Angka ini menegaskan urgensi keterlibatan internasional, termasuk Indonesia, dalam mendorong gencatan senjata.
Bagi NU, sikap ini sangat dekat dengan prinsip i’tidal (berkeadilan). Solidaritas pada Palestina bukan soal agama semata, melainkan panggilan moral untuk membela hak-hak dasar manusia.
Diplomasi dalam Bingkai Khittah NU 1926
Khittah NU 1926 adalah fondasi moral yang relevan untuk membaca diplomasi Indonesia. Dalam dokumen-dokumen awalnya, NU menekankan pentingnya menjaga kemaslahatan umum dengan jalan tengah, toleransi, dan keadilan. Prinsip ini bukan hanya untuk konteks lokal Indonesia, tetapi juga dapat ditarik ke tataran global.
Fealy & Barton (1996) dalam bukunya Nahdlatul Ulama and the Struggle for Power within Islam and Politics in Indonesia menulis bahwa NU selalu menjaga keseimbangan antara agama, kebangsaan, dan kemanusiaan. Sikap inilah yang tampak dalam pertemuan Prabowo–Guterres.
Diplomasi Indonesia dalam mendukung Palestina dapat dilihat sebagai manifestasi amar ma’ruf nahi munkar dalam skala global. Bukan dengan senjata, tetapi dengan gagasan, solidaritas, dan kontribusi nyata.
Pasukan Perdamaian dan Tantangan Global
Indonesia juga menyatakan kesiapan untuk kontribusi lebih konkret. “Kemudian menyampaikan juga dukungan dan support kepada PBB dalam rangka menjalankan tugas-tugasnya dan termasuk juga dalam kaitannya dengan situasi yang ada di Gaza jika perdamaian dan gencatan senjata tercapai, Indonesia menyampaikan kehendak dan dukungannya dalam rangka mengirimkan pasukan perdamaian di sana,” imbuh Menlu Sugiono.
Kesiapan ini strategis. Connie Rahakundini Bakrie, pakar pertahanan, menilai bahwa partisipasi Indonesia dalam pasukan perdamaian adalah bagian dari soft power. Indonesia tidak menonjolkan kekuatan militer, tetapi menekankan komitmen pada perdamaian dunia.
Data United Nations Peacekeeping 2025 menunjukkan bahwa Indonesia adalah salah satu kontributor terbesar dari Asia Tenggara dengan lebih dari 3.000 personel aktif dalam berbagai misi. Kehadiran di Gaza akan memperkuat citra Indonesia sebagai negara Muslim demokratis yang mampu menjadi penengah.
Dalam bingkai NU, mengirim pasukan perdamaian adalah bentuk ta’awun yang nyata: membantu sesama manusia tanpa membedakan agama atau bangsa.
Tanggapan dan Kritik Konstruktif
Diplomasi Indonesia menuai apresiasi, tetapi kritik konstruktif tetap dibutuhkan. Usman Hamid dari Amnesty International mengingatkan bahwa pengiriman pasukan perdamaian harus diiringi dengan mandat yang jelas, termasuk perlindungan terhadap warga sipil dan pemantauan hak asasi manusia. Tanpa itu, misi bisa kehilangan legitimasi.
Akademisi hubungan internasional juga menyoroti tantangan implementasi solusi dua negara. Literatur International Security Journal (2022) mencatat bahwa proses perdamaian Palestina–Israel sering kandas karena perbedaan interpretasi batas wilayah dan lemahnya komitmen pihak-pihak besar.
NU mengajarkan pentingnya islah (perbaikan). Kritik tidak dilihat sebagai hambatan, melainkan pengingat agar perjuangan diplomasi tetap konsisten pada nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
Diplomasi NU 1926 untuk Dunia Modern
Pertemuan bilateral Prabowo–Guterres menegaskan peran Indonesia di panggung dunia. Komitmen pada multilateral, solidaritas untuk Palestina, kesiapan mengirim pasukan perdamaian, dan dorongan pada pembangunan berkelanjutan memperlihatkan arah politik luar negeri yang tidak sekadar transaksional, tetapi berlandaskan moral.
Dalam bingkai khittah NU 1926, sikap ini sejalan dengan nilai tawasuth, tasamuh, i’tidal, dan ta’awun. Diplomasi bukan sekadar kepentingan geopolitik, melainkan misi kemanusiaan. Indonesia melalui NU mengajarkan bahwa kekuatan terbesar bukan pada senjata, tetapi pada keberanian untuk menegakkan keadilan dan perdamaian.
Harapannya, langkah ini bukan hanya memberi kontribusi jangka pendek, tetapi juga memperkuat peran Indonesia sebagai jembatan dunia, sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa dan nilai-nilai luhur NU yang lahir sejak 1926.