Prabowo Subianto: Indonesia, Solusi Dua Negara, dan Jalan Damai Gaza

Pidato Presiden Prabowo di PBB, diplomasi Indonesia, dan nilai khittah NU 1926 dalam memperjuangkan perdamaian Palestina–Israel.

Berita13 Views

[Cirebonrayajeh.com – Presiden Prabowo Subianto] Pada Konferensi Internasional Tingkat Tinggi di Gedung Majelis Umum PBB, 22 September 2025, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menyampaikan pidato penting yang menegaskan kembali sikap Indonesia terhadap solusi dua negara sebagai satu-satunya jalan menuju perdamaian Palestina–Israel. Dalam forum yang dihadiri para pemimpin dunia itu, Prabowo menyampaikan penghargaan kepada Pemerintah Prancis dan Kerajaan Arab Saudi atas kepemimpinan mereka dalam menyelenggarakan pertemuan penting.

Presiden mengawali dengan keprihatinan mendalam atas tragedi kemanusiaan di Gaza, sebuah luka kemanusiaan yang hingga kini masih terbuka lebar. “Ribuan nyawa tak berdosa, banyak di antaranya perempuan dan anak-anak, telah terbunuh. Kelaparan mengancam. Bencana kemanusiaan sedang terjadi di depan mata kita. Kami mengutuk semua tindakan kekerasan terhadap warga sipil tak berdosa,” ucapnya. Pernyataan ini bukan sekadar diplomasi normatif, tetapi juga jeritan nurani kemanusiaan yang selaras dengan spirit khittah NU 1926—mengutamakan kemanusiaan universal di atas kepentingan golongan.

Khittah NU 1926: Landasan Moral dalam Diplomasi Perdamaian

Khittah NU 1926 menegaskan prinsip “tasamuh” (toleransi), “tawazun” (keseimbangan), dan “i’tidal” (keadilan). Nilai-nilai ini tidak hanya relevan dalam konteks domestik, tetapi juga menjadi panduan etis ketika Indonesia mengambil peran di panggung internasional. Dalam perspektif khittah, perdamaian bukan sekadar berhentinya konflik, melainkan terwujudnya keadilan bagi semua pihak.

Pidato Presiden Prabowo dapat dibaca sebagai aktualisasi khittah NU 1926 di ranah geopolitik global. Dengan menyatakan bahwa tanggung jawab internasional bukan hanya menyangkut masa depan Palestina, tetapi juga Israel dan kredibilitas PBB, Presiden menegaskan pentingnya keadilan yang seimbang. Hal ini sejalan dengan pandangan para kiai NU sejak 1926, bahwa umat Islam wajib memperjuangkan keadilan tanpa diskriminasi, baik terhadap umat sendiri maupun terhadap “al-ukhuwah al-insaniyah” (persaudaraan kemanusiaan).

Baca Juga  Indonesia–Singapura Dorong Solusi Damai untuk Gaza, Iran–Israel, dan Krisis Myanmar

Diplomasi Indonesia: Antara Moralitas dan Realitas Politik Global

Dalam pidatonya, Presiden menegaskan: “Oleh karena itu, Indonesia kembali menegaskan komitmennya terhadap solusi dua negara dalam masalah Palestina. Hanya solusi dua negara inilah yang akan membawa perdamaian.”

Pernyataan ini menunjukkan bahwa Indonesia berusaha memainkan peran “bridge-builder” atau jembatan antara idealisme moral dan realitas politik. Dengan menambahkan bahwa “setelah Israel mengakui kemerdekaan dan kenegaraan Palestina, Indonesia akan segera mengakui Negara Israel dan kami akan mendukung semua jaminan keamanan Israel,” Presiden membuka jalur diplomasi yang berani namun penuh risiko.

Dalam literatur hubungan internasional, pendekatan ini sering disebut sebagai diplomasi inklusif. Menurut Johan Galtung (1996) dalam Peace by Peaceful Means, perdamaian hanya bisa tercapai jika semua pihak merasa aman dan diakui eksistensinya. Posisi Indonesia ini jelas berakar dari prinsip itu, dan sekaligus menunjukkan konsistensi dengan politik luar negeri bebas-aktif.

Tragedi Gaza: Data Kemanusiaan dan Perspektif HAM

Kondisi Gaza menjadi salah satu tragedi kemanusiaan terburuk dalam dua dekade terakhir. Data dari Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA, 2025) menunjukkan bahwa lebih dari 35.000 warga sipil telah meninggal sejak konflik terbaru pecah, dengan lebih dari 60% korban adalah perempuan dan anak-anak. UNICEF menambahkan, 4 dari 5 anak di Gaza kini mengalami trauma psikologis yang parah akibat perang berkepanjangan.

Dalam pidatonya, Presiden menekankan: “Kita harus mengatasi kebencian, ketakutan. Kita harus mengatasi kecurigaan. Kita harus mencapai perdamaian yang dibutuhkan umat manusia.” Kutipan ini mempertegas peran Indonesia bukan hanya sebagai komentator, tetapi juga calon aktor aktif, termasuk kesiapan mengirimkan pasukan penjaga perdamaian di bawah mandat PBB.

Dari perspektif hukum internasional, seperti dicatat Antonio Cassese dalam International Law (2005), kewajiban melindungi warga sipil adalah norma “jus cogens” yang tidak bisa dinegosiasikan. Maka, sikap Indonesia sejalan dengan prinsip hukum internasional modern.

Baca Juga  Dampak Investasi AS terhadap Ekonomi Indonesia: Peluang bagi UMKM Menuju 2045

Deklarasi New York dan Harapan Baru Perdamaian

Salah satu poin penting yang ditegaskan Presiden adalah dukungan terhadap Deklarasi New York. Menurutnya, deklarasi ini memberikan jalur damai dan adil menuju perdamaian. Ia menekankan bahwa pengakuan kenegaraan harus membawa arti perdamaian sejati bagi semua pihak.

Deklarasi New York—yang didorong oleh Prancis dan Arab Saudi—memuat komitmen internasional untuk menegakkan solusi dua negara secara terukur. Profesor Michael Barnett, pakar Timur Tengah dari George Washington University, menilai deklarasi ini bisa menjadi “landasan normatif baru” yang memaksa pihak-pihak berseteru duduk kembali di meja perundingan (Barnett, International Affairs Review, 2025).

Dukungan Dunia: Momentum Sejarah yang Tak Boleh Hilang

Presiden Prabowo juga mengapresiasi langkah sejumlah negara besar yang telah mengakui Palestina, termasuk Prancis, Kanada, Australia, Inggris, dan Portugal. Ia menegaskan: “Pengakuan Negara Palestina adalah langkah yang tepat di sisi sejarah yang benar. Bagi mereka yang belum bertindak, kami katakan sejarah tidak berhenti.”

Pernyataan ini memperlihatkan dua hal: pertama, ada momentum internasional yang sedang terbentuk; kedua, ada tekanan moral terhadap negara-negara yang belum mengakui Palestina. Menurut laporan Chatham House (2025), dukungan negara-negara Barat terhadap Palestina mulai meningkat karena tekanan domestik dari masyarakat sipil, terutama generasi muda yang semakin vokal menolak apartheid dan penjajahan.

Peran NU dan Ormas Keagamaan: Diplomasi Kultural dan Moral

Dalam konteks khittah NU 1926, ormas keagamaan memiliki tanggung jawab moral untuk mendorong terwujudnya perdamaian dunia. NU dengan jaringan pesantren dan ulamanya dapat mengartikulasikan Islam rahmatan lil ‘alamin di panggung diplomasi kultural.

Di sisi lain, Muhammadiyah dan ormas lain juga telah lama aktif dalam diplomasi kemanusiaan, misalnya melalui lembaga filantropi internasional. Dengan kolaborasi ini, Indonesia tidak hanya berbicara di forum PBB, tetapi juga mengirimkan “soft power” berupa nilai-nilai Islam Nusantara yang moderat.

Baca Juga  Breaking News: Menteri PANRB Ungkap Kenaikan Gaji PNS 2025, Simak Detailnya!

Kredibilitas PBB dan Tanggung Jawab Internasional

Pidato Presiden menyoroti aspek krusial: kredibilitas PBB. “Tanggung jawab historis masyarakat internasional bukan hanya menyangkut masa depan Palestina, tetapi juga masa depan Israel dan kredibilitas PBB itu sendiri.”

Pernyataan ini adalah kritik halus terhadap lambannya kinerja PBB. Dalam laporan Council on Foreign Relations (2024), disebutkan bahwa kegagalan PBB dalam merespons Gaza menurunkan legitimasi lembaga ini di mata masyarakat dunia. Dengan demikian, dukungan Indonesia terhadap solusi dua negara juga berarti dukungan untuk pemulihan kredibilitas multilateralisme.

Jalan Damai: Rekomendasi Kebijakan untuk Indonesia dan Dunia

Ada beberapa rekomendasi kebijakan yang bisa disimpulkan dari sikap Indonesia:

  • Mendorong implementasi nyata Deklarasi New York melalui mekanisme yang mengikat.
  • Membangun koalisi global Selatan (Global South) yang menekan negara-negara besar untuk konsisten.
  • Mengoptimalkan peran NU dan Muhammadiyah sebagai aktor diplomasi kultural.
  • Mengirimkan pasukan penjaga perdamaian di bawah mandat PBB sebagai langkah konkret.
  • Memanfaatkan momentum pengakuan Palestina oleh negara-negara Barat sebagai titik balik sejarah.

Khittah NU 1926 sebagai Jalan Pulang Perdamaian

Pidato Presiden Prabowo di PBB bukan hanya representasi kebijakan luar negeri Indonesia, tetapi juga cermin nilai luhur bangsa. Dalam bingkai khittah NU 1926, perdamaian bukan hanya urusan politik, tetapi juga jalan spiritual menuju keadilan universal.

Dengan menegaskan komitmen terhadap solusi dua negara, menyampaikan dukungan terhadap Deklarasi New York, mengapresiasi negara-negara pengaku Palestina, dan menawarkan kontribusi konkret berupa pasukan perdamaian, Indonesia menempatkan dirinya di jalur yang benar dalam sejarah.

Sejarah memang tidak berhenti. Dan dalam lintasan sejarah itu, Indonesia melalui khittah NU 1926, mengajak dunia untuk pulang kepada nurani kemanusiaan: mengakhiri tragedi Gaza, menegakkan keadilan, dan membangun perdamaian sejati bagi Palestina, Israel, dan seluruh umat manusia.

Leave a Reply