Presiden Prabowo Dengarkan Aspirasi Tokoh Lintas Agama dan Tegaskan Komitmen Perjuangkan RUU Perampasan Aset

Pertemuan lintas iman di Istana Negara menjadi simbol kebangsaan yang hidup, mempertemukan suara umat, moral agama, dan komitmen politik untuk menata bangsa.

Berita21 Views

[Cirebonrayajeh.com – Presiden Prabowo Subianto] Pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan para tokoh lintas agama, pimpinan partai, serikat buruh, dan organisasi pemuda lintas iman pada 1 September 2025 di Istana Negara, bukan sekadar acara formal. Ia menjadi momentum penting yang memotret kembali bagaimana kepemimpinan nasional berinteraksi dengan aspirasi masyarakat. Pertemuan ini berlangsung dalam suasana terbuka, hangat, dan egaliter, menandai sebuah tradisi politik musyawarah yang mengakar dalam budaya Indonesia.

Dalam bingkai khittah NU 1926, peristiwa ini merefleksikan prinsip dasar bahwa agama, negara, dan masyarakat harus berjalan beriringan, menjaga harmoni serta mengawal cita-cita keadilan sosial. NU sejak awal berdiri menegaskan peran ulama dalam merawat persatuan bangsa dan memberikan pandangan moral atas kebijakan publik. Maka, dialog Presiden dengan tokoh agama lintas iman dapat dibaca sebagai bentuk ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan), sekaligus strategi merajut kepercayaan publik pada pemerintah.

Silaturahmi Istana: Menyatukan Suara Umat dan Bangsa

Pertemuan ini memperlihatkan sebuah pola kepemimpinan partisipatif. Presiden Prabowo tidak hanya duduk sebagai pengambil keputusan, tetapi juga sebagai pendengar aktif. Kehadiran tokoh agama dari berbagai latar belakang menunjukkan bahwa politik kebangsaan tidak bisa dilepaskan dari peran moral dan nilai agama.

Dalam berita disebutkan:

“Presiden Prabowo Subianto menggelar pertemuan sekaligus silaturahmi bersama para tokoh lintas agama, pimpinan partai politik, pimpinan serikat buruh, serta perwakilan organisasi pemuda lintas iman di Istana Negara Jakarta, pada Senin, 1 September 2025. Pertemuan berlangsung hangat dan penuh keterbukaan, membahas beragam aspirasi masyarakat serta komitmen bersama menjaga persatuan bangsa.”

Dalam perspektif akademik, Habermas (1989) menekankan pentingnya public sphere atau ruang publik tempat masyarakat dapat menyampaikan aspirasi secara setara. Pertemuan ini, dalam kerangka teori tersebut, adalah bentuk konkret “ruang publik negara” yang dibuka Presiden untuk menyerap suara rakyat.

Baca Juga  Logo HUT RI ke-80: Peluncuran Simbolik yang Menyisakan Pertanyaan tentang Keterlibatan Publik

Peran Tokoh Agama: Aspirasi Umat sebagai Modal Kebijakan

Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf, menegaskan makna strategis dari forum tersebut. Baginya, pertemuan itu membuka peluang besar bagi ormas keagamaan untuk menyampaikan aspirasi umat langsung ke Presiden.

“Aspirasi-aspirasi, harapan-harapan telah disampaikan kepada Presiden dalam pertemuan yang cukup panjang tadi. Presiden juga rupanya sudah mendengar dan memahami sebagian besar dari aspirasi-aspirasi yang disampaikan itu. Bahkan beliau menunjukkan bahwa sudah ada langkah-langkah yang telah dilakukan, bukan hanya oleh Presiden tapi juga oleh lembaga-lembaga negara yang lain seperti DPR,” ujar Yahya.

Secara historis, NU selalu menempatkan diri sebagai jembatan antara masyarakat dan negara. Menurut Fealy & Barton (1996), khittah NU 1926 menggariskan bahwa NU hadir bukan untuk kekuasaan politik praktis semata, tetapi sebagai penjaga moral kebangsaan. Sikap Yahya mencerminkan kelanjutan peran itu: mengawal agar kebijakan negara tetap berakar pada aspirasi umat.

Optimisme dan Harapan: Gestur Politik yang Menenangkan

Pertemuan itu tidak hanya menghasilkan daftar aspirasi, tetapi juga menghadirkan optimisme baru. Yahya menyebut bahwa pemaparan visi Presiden terasa komprehensif dan menggugah harapan hadirin.

“Beliau menyampaikan gagasan-gagasan secara komprehensif, passion beliau terhadap bangsa dan negara, cita-cita beliau dan komitmen-komitmen beliau. Itu semua menggugah harapan dari hadirin. Yang kami harapkan selanjutnya adalah gestur pemenuhan keinginan rakyat itu semakin ditunjukkan lebih kuat lagi sehingga masyarakat menjadi lebih tenang,” lanjutnya.

Dalam literatur psikologi politik, Easton (1975) menyebut legitimasi politik terbentuk dari dua unsur: input legitimacy (aspirasi rakyat) dan output legitimacy (hasil kebijakan). Pertemuan ini memberikan sinyal bahwa Presiden berupaya memperkuat keduanya: mendengar suara rakyat (input) sekaligus menjanjikan realisasi kebijakan (output).

Suasana Kebersamaan: Modal Persatuan yang Harus Dijaga

Ketua Umum PGI, Pdt. Jacky Manuputty, menekankan pentingnya suasana guyub dan keterbukaan. Ia menilai pertemuan ini menjadi contoh ideal bagi model komunikasi politik yang egaliter.

Baca Juga  Presiden Prabowo Tetapkan Empat Pulau Jadi Wilayah Aceh: Penyelesaian Damai Sengketa Antardaerah

“Kami sangat mengapresiasi undangan Presiden dan pertemuan ini berlangsung dalam suasana yang tidak formal, sangat guyub,” ujar Jacky.

Dalam bingkai khittah NU, prinsip al-muwathanah (kebangsaan) mengajarkan bahwa persaudaraan bukan hanya sebatas agama, melainkan ikatan kebangsaan yang kokoh. Analisis Robert Putnam (2000) dalam konsep social capital juga relevan: rasa kebersamaan dan kepercayaan sosial adalah modal utama untuk pembangunan politik dan ekonomi. Jika kebersamaan ini bisa dilanjutkan di tingkat daerah, maka “modal sosial bangsa” akan semakin kuat.

Isu Publik yang Krusial: Pajak, Korupsi, dan Perilaku Pejabat

Dialog tersebut tidak berhenti pada simbol kebersamaan. Para tokoh lintas iman juga menyinggung isu nyata yang membebani rakyat: pajak, korupsi, perilaku pejabat, dan kenaikan tunjangan DPR.

Data Kementerian Keuangan (2024) mencatat bahwa tax ratio Indonesia masih sekitar 10,4%, jauh lebih rendah dibanding rata-rata Asia (15–18%). Namun beban pajak tidak selalu dirasakan adil, terutama oleh masyarakat menengah bawah.

Dalam isu korupsi, laporan Transparency International (2024) menempatkan Indonesia di peringkat 110 dari 180 negara dengan skor 34/100 pada Indeks Persepsi Korupsi. Artinya, tantangan pemberantasan korupsi masih serius.

Isu kenaikan tunjangan DPR juga menjadi sorotan etika publik. Menurut Prof. Syamsuddin Haris (BRIN, 2023), “ketika rakyat menghadapi tekanan ekonomi, kenaikan fasilitas pejabat tanpa akuntabilitas justru menggerus legitimasi politik.”

Komitmen Presiden: RUU Perampasan Aset sebagai Ujian Politik

Isu paling menonjol adalah janji Presiden untuk memperjuangkan RUU Perampasan Aset bersama DPR.

“Presiden berjanji untuk undang-undang perampasan aset, beliau akan sungguh-sungguh mengerjakan dan memperjuangkan itu bersama Dewan. Saya kira itu,” tegas Jacky.

Menurut Dr. Zainal Arifin Mochtar (UGM, 2024), RUU Perampasan Aset merupakan instrumen vital untuk menutup celah hukum yang selama ini membuat aset hasil korupsi sulit dikembalikan ke negara. Tanpa aturan khusus, banyak kasus korupsi berhenti pada vonis pidana tanpa pemulihan kerugian negara secara utuh.

Dari perspektif khittah NU, perjuangan melawan korupsi adalah bagian dari menjaga al-mashlahah al-‘ammah (kemaslahatan umum). Mengembalikan aset negara bukan hanya soal hukum, melainkan amanah moral untuk memastikan keadilan sosial tercapai.

Baca Juga  Strategi UMKM Menghadapi Tantangan Gelombang PHK di Indonesia

Peran Rutin Pertemuan: Menjadi Ruang Konsultasi Kebangsaan

Pertemuan ini direncanakan rutin digelar. Tokoh lintas iman menyambut baik inisiatif tersebut dan menyatakan siap berkontribusi menciptakan rasa aman di tengah masyarakat.

“Mereka menyatakan siap berkontribusi menciptakan rasa aman di tengah masyarakat, mendampingi umat menghadapi tantangan, serta mendoakan agar ikhtiar bangsa Indonesia mendapat perlindungan Tuhan.”

Rutinisasi pertemuan ini bisa dipandang sebagai bentuk policy consultation. Dalam literatur kebijakan publik, Dunn (2018) menekankan pentingnya konsultasi multi-stakeholder agar kebijakan tidak top-down, tetapi lahir dari proses deliberatif. Jika konsisten, pertemuan ini bisa menjadi forum checks and balances moral terhadap kebijakan negara.

Analisis Politik: Gestur Simbolik atau Komitmen Nyata?

Pertanyaan kritis muncul: apakah dialog ini sekadar gestur simbolik atau benar-benar akan diwujudkan dalam kebijakan nyata?

Menurut Prof. Firman Noor (BRIN, 2025), politik Indonesia kerap diwarnai simbolisasi. Namun, jika Presiden konsisten memperjuangkan RUU Perampasan Aset dan menindaklanjuti isu pajak serta perilaku pejabat, maka pertemuan ini bisa menjadi titik balik gaya kepemimpinan yang lebih responsif.

Secara teori, hal ini sejalan dengan konsep responsive governance dari UNDP (2019), di mana legitimasi politik hanya bisa bertahan jika pemimpin tidak sekadar mendengar, tetapi juga menindaklanjuti aspirasi rakyat dalam kebijakan nyata.

Perspektif Khittah NU 1926: Menjaga Moral Politik Bangsa

Khittah NU 1926 menjadi bingkai yang penting untuk membaca peristiwa ini. Prinsip dasar NU adalah menjaga tradisi kebangsaan, mengawal keadilan sosial, serta menempatkan agama sebagai penuntun moral dalam politik.

Dialog lintas agama di Istana menunjukkan praktik nyata dari prinsip itu: menjaga persatuan (ukhuwah wathaniyah), menegakkan keadilan (RUU Perampasan Aset), serta mengedepankan musyawarah sebagai jalan kebijakan.

Seperti ditulis K.H. Hasyim Asy’ari dalam Qanun Asasi (1926), menjaga negara dan memperjuangkan keadilan adalah bagian dari ibadah kolektif umat. Pertemuan Presiden dengan tokoh agama lintas iman ini, bila konsisten ditindaklanjuti, menjadi cermin aktualisasi prinsip khittah dalam konteks negara modern.

Penutup: Dari Aspirasi ke Implementasi

Pertemuan 1 September 2025 di Istana Negara adalah langkah penting, tetapi bukan akhir dari perjalanan. Aspirasi tokoh agama, janji Presiden memperjuangkan RUU Perampasan Aset, serta komitmen kebersamaan harus diwujudkan dalam kebijakan nyata.

Dari perspektif News Policy Review, pertemuan ini menunjukkan pola kepemimpinan partisipatif yang berpotensi memperkuat legitimasi politik. Namun, tantangan terbesar adalah konsistensi eksekusi. Tanpa realisasi nyata, optimisme masyarakat bisa berubah menjadi skeptisisme.

Dalam bingkai khittah NU 1926, bangsa Indonesia diajak menjaga nilai lama yang baik—persatuan, musyawarah, moral agama—seraya mengambil hal baru yang lebih baik: tata kelola pemerintahan bersih, keadilan sosial, dan kebijakan publik yang responsif.

Leave a Reply