Suap, Hadiah, dan Etika Publik: Fenomena Risywah dalam Kebijakan Modern

Mengurai perbedaan tipis antara hadiah, sedekah, dan risywah, dari dalil klasik hingga hukum positif bagi generasi Z.

Mondok Yu36 Views

[Cirebonrayajeh.com – Mondok Yu] Fenomena suap (risywah) bukanlah isu baru. Dari zaman Nabi Muhammad ﷺ hingga era digital yang dipenuhi generasi Z, praktik ini terus menjadi perbincangan dan perdebatan. Suap sering dibungkus dengan label yang lebih halus seperti hadiah, ucapan terima kasih, bahkan apresiasi. Namun, garis pemisah antara hadiah dan suap seringkali tipis, hingga membingungkan banyak orang.

Dalam sebuah hadits, Nabi ﷺ dengan tegas menyatakan:

عَنْ ثَوْبَانَ رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَلرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي وَالرَّائِشُ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا (رواه أحمد)

Artinya: “Diriwayatkan dari Tsauban ra, ia berkata: Rasulullah ﷺ melaknat penyuap, penerima suap, dan perantaranya.” (HR Ahmad).

Hadits ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya menolak praktik suap, tetapi juga mengutuk seluruh pihak yang terlibat di dalamnya. Namun, bagaimana jika pemberian itu hanya sekadar hadiah? Bagaimana pula jika hal itu terjadi dalam konteks pekerjaan modern—misalnya antara atasan dan bawahan, atau antara warga dengan pejabat publik?

Artikel ini mencoba mengurai lebih dalam perbedaan antara hadiah dan suap, dengan merujuk pada pandangan ulama klasik, tafsir modern, hingga regulasi hukum positif Indonesia.

Suap dalam Perspektif Ulama Klasik

Definisi Menurut Syekh Nawawi Al-Bantani

Syekh Nawawi Al-Bantani, seorang ulama Nusantara yang dikenal luas di Mekkah, mendefinisikan risywah (suap) sebagai pemberian kepada hakim atau pejabat untuk:

  • Membatalkan sebuah kebenaran.
  • Melegalkan sebuah kejahatan.

Dalam Nihayatuz Zain, beliau menulis:

وقبول الرشوة حرام وهي ما يبذل للقاضي ليحكم بغير الحق أو ليمتنع من الحكم بالحق وإعطائها كذلك لأنه إعانة على معصية

Baca Juga  Pendidikan Karakter Berbasis NU dan Pancasila dalam Membangun Generasi Akademik Unggul

Artinya: “Menerima suap hukumnya haram. Suap adalah sesuatu yang diberikan kepada qadhi agar menetapkan hukum yang tidak benar, atau agar menolak menetapkan hukum yang benar. Memberi suap juga haram karena termasuk membantu terjadinya maksiat.”

Dengan kata lain, baik pemberi maupun penerima sama-sama menanggung dosa.

Ibnu Katsir: Suap Lebih Luas dari Urusan Hakim

Ibnu Katsir dalam Mishbahul Munir memperluas makna suap. Menurutnya, suap tidak terbatas pada hakim, tetapi berlaku juga untuk pihak lain yang memiliki kewenangan.

الرِّشْوَةُ -بِالكَسْرِ- مَا يُعْطِيْهِ الشَّحْصُ الحَاكِمَ وَغَيْرَهُ لِيَحْكُمَ لَهُ أَو يَحْمِلُهُ عَلَى مَا يُرِيْدُ

Artinya: “Risywah adalah sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau pihak lain agar menetapkan hukum sesuai keinginan penyuap, atau agar mengikuti apa yang diinginkan penyuap.”

Di sini terlihat bahwa suap bukan sekadar praktik pengadilan, tetapi juga bisa terjadi dalam urusan pekerjaan, bisnis, birokrasi, bahkan kehidupan sehari-hari.

Batas Tipis antara Hadiah dan Suap

Generasi Z sering bertanya: “Kalau kasih hadiah ke guru, atasan, atau pejabat, itu termasuk suap nggak?” Pertanyaan ini sangat relevan karena dalam kehidupan sosial, memberi hadiah adalah hal yang lumrah.

Imam Al-Ghazali: Bedanya Ada pada Motif

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa semua pemberian (hibah) pada dasarnya memiliki unsur kerelaan. Namun, yang membedakan adalah motifnya:

  • Sedekah → jika tujuan utamanya adalah pahala ukhrawi.
  • Hadiah → jika tujuan utamanya adalah memuliakan atau menjaga hubungan baik.
  • Suap (Risywah) → jika tujuannya agar penerima melakukan sesuatu yang menguntungkan pemberi, meskipun bertentangan dengan kebenaran.
  • Ijarah (upah) → jika pemberian terkait kontrak kerja yang sah.

Beliau menegaskan:

قَوْلُهُ تَحْرُمُ الرِّشْوَةُ: قَالَ الْغَزَالِيُّ فِي الْإِحْيَاءِ الْمَالُ إنْ بُذِلَ لِغَرَضٍ آجِلٍ فَصَدَقَةٌ أَوْ عَاجِلٍ ، وَهُوَ مَالٌ فَهِبَةٌ بِشَرْطِ الثَّوَابِ أَوْ عَلَى مُحَرَّمٍ أَوْ وَاجِبٍ مُتَعَيِّنٍ فَرِشْوَةٌ

Baca Juga  Mengapa NU Menjaga Moderasi Islam? Rahasia Besar dalam QS. Al-Māidah Ayat 49

Artinya: “Risywah itu haram. Menurut Al-Ghazali, jika harta diberikan untuk tujuan akhirat maka disebut sedekah. Jika untuk balasan duniawi berupa harta maka disebut hibah bi tsawab. Jika pemberian itu untuk perkara haram atau kewajiban tertentu, maka dinamakan risywah.”

Dengan kerangka ini, jelas bahwa motif adalah faktor utama yang membedakan suap dari hadiah.

Perspektif Hukum Positif: Suap sebagai Tindak Pidana

Dalam hukum modern, khususnya di Indonesia, suap masuk kategori tindak pidana korupsi.

UU No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap

Pasal 2 UU ini menyebutkan:

“Barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya yang berlawanan dengan kewajibannya, dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun.”

Pasal 3 menegaskan hal serupa untuk penerima suap, dengan ancaman pidana maksimal 3 tahun.

Meeting of Minds: Konsep Konsensus dalam Suap

Prof. Eddy Omar Syarif (UGM) menjelaskan bahwa yang membedakan suap dari hadiah biasa adalah adanya meeting of minds—yakni kesepakatan antara pemberi dan penerima.

Contoh:

  • Suap → Seorang pegawai memberi “oleh-oleh” kepada atasannya agar dipromosikan.
  • Hadiah → Setelah dipromosikan murni karena kinerja, pegawai tersebut memberi hadiah sebagai bentuk terima kasih.

Dalam kasus pertama, ada kesepakatan terselubung (meeting of minds), sehingga termasuk suap.

Realitas Suap di Indonesia: Dari Birokrasi hingga Kehidupan Sehari-hari

Birokrasi yang “Berbiaya Tinggi”

Fenomena “uang pelicin” sudah lama menjadi rahasia umum di Indonesia. Dari mengurus izin usaha, SIM, hingga proyek besar, suap sering dianggap “jalan pintas”.

Dunia Pendidikan dan Generasi Z

Tak jarang, praktik suap masuk ke dunia pendidikan. Misalnya, orang tua memberi sesuatu pada guru agar anaknya diluluskan atau nilainya dinaikkan. Bagi generasi Z, hal ini membingungkan: apakah itu hadiah atau suap?

Jawabannya kembali pada motif. Jika pemberian dilakukan sebelum keputusan dan bertujuan memengaruhi, itu suap. Jika setelah keputusan, itu hadiah.

Baca Juga  Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam NU: Prinsip, Mazhab, dan Implementasinya

Perspektif Etika Publik dan Spirit Generasi Z

Generasi Z dikenal lebih vokal soal transparansi, keadilan, dan integritas. Dalam konteks ini, mereka cenderung menolak praktik suap. Namun, dilema sering muncul ketika suap dianggap sebagai “budaya” atau “tradisi”.

Contoh: “Kalau nggak kasih amplop, urusan bisa dipersulit.”

Di sinilah pentingnya pendidikan moral, literasi hukum, dan teladan dari pejabat publik.

Analisis Normatif: Antara Nilai Agama dan Realitas Sosial

Islam dengan jelas melarang suap, sementara hukum negara memberi sanksi tegas. Namun dalam realitas, praktik suap masih terjadi karena beberapa faktor:

  • Kultur balas budi dalam masyarakat.
  • Ketimpangan kekuasaan antara pejabat dan rakyat.
  • Lemahnya penegakan hukum.
  • Mentalitas pragmatis: “yang penting urusan beres”.

Padahal, dari perspektif maqashid syariah, suap merusak keadilan (adl), amanah (amanah), dan kemaslahatan publik (maslahah).

Refleksi: Mengganti Budaya Suap dengan Budaya Integritas

Jika generasi Z ingin membangun Indonesia yang lebih adil, maka suap harus dilawan bukan hanya dengan hukum, tetapi juga dengan budaya baru.

Beberapa langkah yang bisa ditempuh:

  • Pendidikan integritas sejak dini di sekolah.
  • Teladan pejabat publik yang menolak gratifikasi.
  • Digitalisasi layanan publik agar interaksi tatap muka (rawan suap) bisa diminimalisir.
  • Kampanye moral berbasis agama dan nilai lokal agar masyarakat paham bahwa hadiah ≠ suap.

Penutup

Dari seluruh kajian di atas, jelas bahwa:

  • Suap (risywah) adalah pemberian dengan motif menyimpang, baik dalam hukum Islam maupun hukum positif.
  • Hadiah dan sedekah tetap sah selama motifnya murni, tanpa ada kesepakatan tersembunyi.
  • Generasi Z memiliki peran besar untuk memutus rantai budaya suap melalui pendidikan, literasi hukum, dan semangat integritas.

Hadits Nabi ﷺ, pandangan ulama klasik, hingga hukum modern semuanya sepakat: suap merusak keadilan dan menodai etika publik. Maka, saatnya kita bersama menegakkan garis pemisah antara hadiah yang ikhlas dan suap yang penuh dosa.

Catatan Editorial: Artikel ini merupakan hasil kajian berbasis teks-teks klasik Islam (Nihayatuz Zain, Mishbahul Munir, Ihya Ulumuddin), hukum positif Indonesia (UU No. 11 Tahun 1980), serta analisis etika publik kontemporer. Disajikan dalam format News Policy Review agar lebih komunikatif dan relevan bagi pembaca generasi muda.

Leave a Reply