Presiden Prabowo Gelar Silaturahmi dengan Tokoh Lintas Agama, Pimpinan Parpol, dan Serikat Buruh di Istana Negara

Menjaga Persatuan dalam Bingkai Khittah NU 1926

Berita18 Views

[Cirebonrayajeh.com – Presiden Prabowo Subianto] Dalam perjalanan sejarah bangsa, silaturahmi bukan hanya tradisi sosial, tetapi juga sarana politik kebangsaan. Di tengah dinamika kontestasi demokrasi, pertemuan lintas tokoh agama, politik, dan masyarakat sipil menjadi penting sebagai ruang dialog yang inklusif. Presiden Prabowo Subianto menyadari hal ini dengan menggelar pertemuan bersejarah di Istana Negara pada 1 September 2025.

Pertemuan ini menghadirkan tokoh lintas agama, pimpinan partai politik, serikat buruh, hingga organisasi kepemudaan lintas iman. Sebagaimana diberitakan, “Silaturahmi ini menjadi ruang dialog terbuka yang menegaskan komitmen Presiden untuk merawat persatuan bangsa, serta mendengar aspirasi dari seluruh elemen masyarakat.”

Jika ditarik ke dalam bingkai khittah NU 1926, silaturahmi lintas tokoh ini memiliki nilai historis. Khittah NU sejak awal berdiri mengajarkan pentingnya menjaga keutuhan bangsa melalui jalan musyawarah, tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), dan ta‘awun (gotong royong). Dengan demikian, acara ini tidak hanya sekadar seremoni politik, melainkan bagian dari upaya meneguhkan kembali semangat kebangsaan yang inklusif.

Lintas Agama dan Tradisi Persatuan

Dialog lintas agama di Istana Negara mencerminkan praktik nyata dari Pancasila sila pertama dan ketiga: Ketuhanan Yang Maha Esa dan Persatuan Indonesia. Dalam suasana yang akrab, para pemimpin agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu duduk bersama dalam satu forum kebangsaan.

Dalam berita dilaporkan: “Sejumlah tokoh lintas agama hadir dalam kesempatan tersebut, antara lain Rais ‘Aam PBNU KH. Miftachul Akhyar, Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf, Ketua PP Muhammadiyah Muhadjir Effendy, Ketua Umum MUI KH. Anwar Iskandar, Ketua Umum PGI Pendeta Jacklevyn Frits Manuputty, Ketua KWI Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, Ketua Umum PHDI Wisnu Bawa Tenaya, Ketua Umum PERMABUDHI Philip K. Widjaja, serta Ketua Umum Matakin Budi Santoso Tanuwibowo.”

Baca Juga  Prabowo Subianto Letakkan Karangan Bunga di Piskarovskoye Memorial, Simbol Diplomasi dan Penghormatan Sejarah Rusia

Sejarawan NU, Greg Fealy (ANU, 2018), menekankan bahwa NU sejak masa Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari selalu memandang keberagaman sebagai rahmat. Dalam Risalah Ahlus Sunnah wal Jama‘ah, Hasyim Asy‘ari menegaskan pentingnya ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) sebagai dasar mempertahankan keutuhan bangsa. Kehadiran lintas tokoh agama di Istana Negara kali ini merupakan manifestasi dari cita-cita itu.

Menurut Prof. Alwi Shihab (2019), pertemuan lintas agama memiliki efek psikologis kolektif yang signifikan: memperkuat rasa aman minoritas, mengurangi prasangka antar-iman, dan meningkatkan legitimasi pemerintah sebagai pengayom semua golongan. Dengan kata lain, pertemuan ini tidak hanya simbolik, tetapi berdampak langsung pada stabilitas sosial-politik.

Politik Partisipatif di Era Prabowo

Silaturahmi ini tidak hanya dihadiri tokoh agama, melainkan juga pimpinan partai politik, serikat buruh, dan organisasi kepemudaan. Hal ini menegaskan bahwa politik di era Prabowo mengarah pada model partisipatif. “Diskusi terbuka ini menjadi wadah bagi Presiden untuk mendengar langsung suara masyarakat dari berbagai latar belakang.”

Menurut Larry Diamond (Stanford University, 2020), demokrasi partisipatif adalah bentuk demokrasi yang tidak hanya berhenti pada pemilu, tetapi menuntut keterlibatan warga secara langsung dalam proses pembuatan kebijakan. Kehadiran serikat buruh, ormas kepemudaan, dan lintas partai di forum Istana Negara ini merupakan wujud konkret dari demokrasi partisipatif.

Dalam perspektif NU 1926, politik partisipatif ini sejalan dengan prinsip syura (musyawarah) yang menjadi nilai dasar Ahlus Sunnah wal Jama‘ah. Musyawarah bukan hanya mekanisme formal, melainkan sarana menyerap aspirasi dari seluruh elemen masyarakat. Dengan cara ini, legitimasi kebijakan negara menjadi lebih kuat karena berpijak pada kebutuhan nyata rakyat.

Suara Buruh dan Keadilan Sosial

Salah satu aspek penting dari silaturahmi ini adalah kehadiran pimpinan serikat buruh. Dalam berita disebutkan: “Selain tokoh agama, pimpinan partai politik, serikat buruh, dan organisasi kepemudaan juga ikut menyampaikan pandangan mereka.”

Buruh merupakan kelompok strategis yang sering kali berada di garis depan ketidakadilan ekonomi. Menurut data ILO (2024), masih terdapat 58% pekerja Indonesia di sektor informal dengan upah yang jauh di bawah standar layak. Kehadiran serikat buruh di Istana Negara adalah langkah penting untuk memastikan bahwa suara mereka tidak lagi terpinggirkan.

Baca Juga  Presiden Prabowo Jenguk Polisi dan Masyarakat Korban Aksi Demonstrasi

Pakar hubungan industrial, Prof. Payaman Simanjuntak (UI, 2022), menegaskan bahwa dialog langsung antara presiden dan serikat buruh dapat mengurangi potensi konflik industrial, sekaligus mempercepat lahirnya kebijakan pro-rakyat. Dalam bingkai khittah NU 1926, keberpihakan kepada kaum mustadh‘afin (kelompok lemah) merupakan amanah agama sekaligus amanat konstitusi.

Doa Lintas Iman sebagai Simbol Persatuan

Momen penutup dari pertemuan ini adalah doa bersama. “Menutup pertemuan, doa dipanjatkan oleh masing-masing pemuka agama sesuai dengan keyakinannya. Momen ini menjadi simbol kuat bahwa perbedaan iman bukanlah pemisah, melainkan kekuatan pemersatu dalam menjaga keutuhan bangsa.”

Doa lintas iman adalah representasi spiritual dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Menurut penelitian Robert W. Hefner (Boston University, 2017), doa bersama lintas agama memiliki fungsi ganda: memperkuat solidaritas sosial sekaligus menciptakan “ruang moral bersama” di tengah perbedaan.

Dalam tradisi NU, doa bersama lintas iman sejalan dengan ajaran tasamuh dan ta‘awun. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menegaskan bahwa doa bersama bukanlah kompromi teologis, melainkan pernyataan moral bahwa bangsa ini harus dijaga dengan nilai-nilai spiritual. Maka, momen doa di Istana Negara ini adalah perwujudan konkret dari nilai khittah NU 1926: merawat persatuan melalui spiritualitas kebangsaan.

Refleksi Khittah NU 1926 dalam Kepemimpinan Nasional

Berita ini menutup dengan pernyataan penting: “Silaturahmi lintas tokoh ini menunjukkan bahwa kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto terbuka terhadap dialog, partisipatif, dan berlandaskan pada nilai persatuan.”

Jika ditarik ke khittah NU 1926, pernyataan ini memiliki relevansi mendalam. NU sejak awal menolak politik identitas sempit dan menegaskan diri sebagai pengawal keutuhan NKRI. Dalam Muktamar 1984 di Situbondo, NU bahkan menegaskan kembali posisi khittah 1926 dengan tidak terlibat langsung dalam politik praktis, tetapi tetap menjadi penjaga moral kebangsaan.

Menurut Prof. Bahtiar Effendy (2019), khittah NU adalah konsep unik yang menempatkan agama sebagai inspirasi etis-politik, bukan alat perebutan kekuasaan. Dalam konteks ini, kepemimpinan Prabowo yang menekankan dialog partisipatif dapat dibaca sebagai kelanjutan dari tradisi khittah NU: menjaga jarak dari politik eksklusif, tetapi dekat dengan rakyat melalui musyawarah.

Baca Juga  Kenaikan UMP 2025: Apa yang Perlu Diketahui UMKM?

Data Premium dan Analisis Akademis

Untuk menilai makna silaturahmi ini secara lebih objektif, perlu menilik data empiris:

  • Survei LSI (2025): 72% responden menilai pentingnya dialog lintas agama dalam menjaga stabilitas nasional.
  • World Values Survey (2024): 68% masyarakat Indonesia percaya bahwa kerukunan antarumat beragama adalah faktor utama dalam menjaga demokrasi.
  • Jurnal Politik Indonesia (UI, 2023): Menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah meningkat 15% setelah adanya forum lintas agama dan lintas golongan.

Dari sisi akademis, Chantal Mouffe (2000) menyebutkan pentingnya agonistic pluralism—pluralisme yang tidak menghapus perbedaan, tetapi mengelola perbedaan melalui dialog konstruktif. Silaturahmi lintas tokoh di Istana Negara adalah praktik nyata dari pluralisme agonistik tersebut.

Menuju Silaturahmi Rutin sebagai Tradisi Politik Baru

Presiden Prabowo menyatakan bahwa “Ke depan, direncanakan pertemuan semacam ini akan digelar secara rutin sebagai sarana memperkuat komunikasi dan kebersamaan antar-elemen bangsa.”

Jika benar terlaksana secara rutin, maka forum ini bisa menjadi tradisi politik baru di Indonesia. Bukan sekadar seremonial, tetapi mekanisme konsultasi nasional yang inklusif. Dalam teori governance, ini sejalan dengan konsep deliberative democracy (Habermas, 1996), yaitu demokrasi yang mengedepankan musyawarah publik.

Dalam bingkai khittah NU 1926, silaturahmi rutin semacam ini adalah aktualisasi nilai ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah insaniyah. Dengan menjaga komunikasi lintas golongan, negara dapat memastikan bahwa kebijakan publik tidak kehilangan sentuhan moral dan kemanusiaan.

Penutup: Merawat Persatuan dengan Spirit Khittah

Silaturahmi lintas tokoh yang digelar Presiden Prabowo di Istana Negara bukan sekadar momentum politik. Ia adalah bagian dari narasi panjang bangsa Indonesia untuk merawat persatuan di tengah keberagaman. Dengan menghadirkan tokoh agama, pimpinan partai, serikat buruh, dan organisasi kepemudaan, acara ini membuktikan bahwa demokrasi Indonesia masih memiliki ruang untuk musyawarah.

Dalam bingkai khittah NU 1926, pertemuan ini adalah pengingat bahwa politik sejati bukan hanya soal perebutan kekuasaan, tetapi tentang merawat peradaban. Tradisi NU sejak awal berdiri adalah menjaga bangsa ini tetap utuh, meski berbeda-beda agama, suku, dan golongan.

Oleh karena itu, jika silaturahmi lintas tokoh ini dijadikan tradisi rutin, maka Indonesia sedang menapaki jalan yang benar: jalan musyawarah, jalan persatuan, jalan yang sejak 1926 telah ditunjukkan oleh para ulama pendiri bangsa.

Leave a Reply