Cirebonrayajeh.com – Sebagai organisasi Islam yang berperan dalam membimbing umat, Nahdlatul Ulama (NU) memiliki pandangan yang jelas dalam menyikapi politik. Politik bagi NU bukan sekadar perebutan kekuasaan, tetapi lebih pada upaya menegakkan kemaslahatan umat, menjaga persatuan bangsa, dan meneguhkan nilai-nilai keislaman serta kebangsaan.
Dalam perjalanan sejarahnya, NU telah mengalami berbagai dinamika politik, dari keterlibatan langsung dalam partai politik hingga kembali ke Khittah 1926, yang menegaskan NU sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang tetap peduli terhadap politik tanpa menjadi bagian dari kekuasaan politik praktis.
Untuk membimbing warganya dalam bersikap dan berperan dalam politik, NU merumuskan 9 Pedoman Berpolitik Warga NU yang menjadi prinsip dasar dalam menghadapi dinamika politik nasional. Pedoman ini menekankan politik kebangsaan, etika moral, dan nilai-nilai keislaman agar warga NU tidak terjebak dalam politik pragmatis yang dapat merusak persatuan umat dan bangsa.
Dengan pedoman ini, diharapkan warga NU mampu berpolitik secara santun, berorientasi pada ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah, serta selalu menjunjung tinggi prinsip keadilan, kejujuran, dan kemaslahatan bersama.
Semoga 9 Pedoman Berpolitik Warga NU ini menjadi pegangan yang kokoh bagi Nahdliyin dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang berlandaskan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah An-Nahdliyah serta tetap setia kepada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pedoman Berpolitik | Naskah Asli | Makna |
1 | Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. | Berpolitik bagi NU berarti berperan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh dengan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. |
2 | Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integritas bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat. | Politik bagi NU adalah jalan mewujudkan persatuan dan kesejahteraan bangsa dengan menjunjung nilai kebangsaan, keadilan, dan kemaslahatan umat sebagai bagian dari amal ibadah. |
3 | Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama | Politik bagi NU adalah sarana mengembangkan kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa dalam menyadari hak, kewajiban, serta tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersam. |
4 | Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi Persatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. | Berpolitik bagi warga NU harus berlandaskan moral, etika, dan budaya yang menjunjung nilai-nilai Pancasila serta berorientasi pada kemaslahatan umat dan persatuan bangsa. |
5 | Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama. | Berpolitik bagi warga NU harus berlandaskan kejujuran nurani dan moral agama, sesuai konstitusi serta peraturan yang berlaku, berorientasi pada keadilan, dan mengutamakan musyawarah dalam menyelesaikan masalah bersama. |
6 | Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan Akhlaq al-Karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunah wal jamaah. | Berpolitik bagi warga NU harus menjadi sarana untuk memperkokoh konsensus nasional—Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika—serta dijalankan dengan Akhlaq al-Karimah, menjunjung kejujuran, keadilan, dan kemaslahatan bersama sesuai ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. |
7 | Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apa pun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan. | Warga NU harus berpolitik dengan penuh tanggung jawab, menjunjung tinggi etika dan nilai-nilai Islam serta kebangsaan, tanpa mengorbankan kepentingan bersama atau memecah belah persatuan umat dan bangsa. |
8 | Perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap terjaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama. | Perbedaan aspirasi politik di kalangan warga NU harus tetap dijalankan dalam semangat persaudaraan, tawadlu’, dan saling menghargai, agar politik tidak menjadi sumber perpecahan, melainkan alat untuk menjaga persatuan, memperkuat ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah, serta mengedepankan kepentingan umat dan bangsa di atas kepentingan kelompok atau individu. |
9 | Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan. | Pedoman kesembilan dalam 9 Pedoman Berpolitik Warga NU menegaskan bahwa politik harus menjadi sarana pembangunan dengan komunikasi kemasyarakatan yang timbal balik, di mana NU berperan aktif dalam menjaga stabilitas sosial, mendorong kemandirian organisasi kemasyarakatan, menyalurkan aspirasi umat, serta berkontribusi dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim politik yang sehat, inklusif, dan berorientasi pada kemaslahatan bersama. |
Pedoman 1, Politik NU: Aktif, Pancasilais, untuk kemaslahatan bersama.
“Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.”
Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama bukan sekadar keterlibatan dalam partai politik atau kontestasi kekuasaan, tetapi memiliki makna yang lebih luas, yaitu partisipasi aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini mencakup berbagai aspek, seperti menjaga nilai-nilai kebangsaan, memperjuangkan keadilan, serta memastikan keberlangsungan kehidupan bernegara yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Sebagai organisasi keagamaan yang berperan dalam membimbing umat, NU memahami bahwa politik bukan hanya soal perebutan kekuasaan, tetapi juga ikhtiar untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Oleh karena itu, warga NU didorong untuk berperan aktif dalam politik dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, dan kepentingan bersama di atas kepentingan golongan.
Komitmen terhadap Pancasila dan UUD 1945 juga menjadi landasan utama dalam keterlibatan warga NU dalam politik. Pancasila sebagai dasar negara telah sejalan dengan nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, yang menekankan toleransi, keadilan, dan persatuan. Sementara itu, UUD 1945 menjadi pedoman dalam membangun sistem bernegara yang menjunjung tinggi demokrasi, hak asasi manusia, serta kesejahteraan sosial.
Dalam praktiknya, keterlibatan politik warga NU dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti:
✅ Menjadi pemilih yang cerdas dengan mempertimbangkan calon pemimpin yang amanah dan berpihak pada kepentingan rakyat.
✅ Bergabung dalam partai politik atau organisasi masyarakat dengan tujuan memperjuangkan aspirasi umat.
✅ Mengawal kebijakan publik agar tetap sesuai dengan prinsip keadilan dan kemaslahatan.
✅ Menjaga persatuan bangsa dengan menghindari politik identitas yang dapat memecah belah umat dan negara.
Dengan demikian, pedoman pertama ini menegaskan bahwa NU tidak anti-politik, tetapi juga tidak terjebak dalam politik praktis yang hanya mengedepankan kepentingan kelompok tertentu. Warga NU diajak untuk berpolitik dengan bijak, menjadikan politik sebagai sarana untuk memperkuat nilai-nilai kebangsaan, dan tetap menjunjung tinggi moralitas dalam kehidupan bernegara.
Pedoman 2, Politik NU: Persatuan, Keadilan, Kemaslahatan, dan Ibadah.
“Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integritas bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat.”
Pedoman ini menegaskan bahwa politik dalam pandangan NU bukan sekadar alat untuk memperoleh kekuasaan, tetapi harus memiliki wawasan kebangsaan yang berorientasi pada kepentingan nasional, persatuan, dan kesejahteraan rakyat. Politik tidak boleh dijalankan dengan cara-cara yang merusak tatanan sosial, memecah belah umat, atau mengorbankan kepentingan bangsa demi ambisi pribadi atau kelompok.
1. Politik Berwawasan Kebangsaan
Wawasan kebangsaan berarti bahwa politik NU harus selalu selaras dengan nilai-nilai kebangsaan dan keindonesiaan. Hal ini mencakup:
- Menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara.
- Menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari segala bentuk ancaman disintegrasi.
- Mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan atau individu.
NU melihat politik sebagai sarana untuk membangun bangsa dan bukan sekadar ajang persaingan kekuasaan. Oleh karena itu, politik harus dijalankan dengan prinsip mashlahah ‘ammah (kemaslahatan umum) untuk seluruh rakyat Indonesia.
2. Politik yang Menjaga Persatuan dan Kesatuan
Dalam sejarahnya, NU selalu berperan sebagai perekat sosial di tengah keberagaman suku, agama, dan budaya di Indonesia. Oleh karena itu, NU menolak segala bentuk politik yang:
- Mengadu domba antar kelompok masyarakat.
- Menggunakan politik identitas yang memecah belah bangsa.
- Mempraktikkan politik kebencian, fitnah, dan hoaks.
Sebaliknya, NU menekankan pentingnya ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan) dalam setiap langkah politiknya.
3. Politik Sebagai Jalan Mewujudkan Masyarakat Adil dan Makmur
NU tidak melihat politik sebagai tujuan, tetapi sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Politik harus berorientasi pada:
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
- Kemakmuran yang merata, tidak hanya untuk segelintir elit.
- Membangun sistem ekonomi yang berpihak pada rakyat kecil.
Dalam konteks ini, politik NU sejalan dengan konsep keadilan dalam Islam yang menghendaki kehidupan yang sejahtera lahir dan batin, baik dalam aspek ekonomi, sosial, maupun spiritual.
4. Politik sebagai Amal Ibadah
Salah satu aspek unik dari pedoman ini adalah bahwa politik bukan sekadar urusan duniawi, tetapi juga bagian dari ibadah. Berpolitik dengan cara yang benar dapat menjadi amal shalih yang mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini bisa diwujudkan dengan:
- Menggunakan politik untuk menegakkan keadilan dan menyejahterakan umat.
- Menjalankan politik dengan niat yang lurus, bukan karena ambisi pribadi.
- Menghindari praktik politik yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, seperti korupsi, manipulasi, dan kedzaliman.
Pedoman kedua ini mengajarkan bahwa NU memandang politik sebagai bagian dari perjuangan menuju keadilan dan kesejahteraan, bukan sekadar perebutan kekuasaan. Politik harus selalu dijalankan dengan niat yang baik, cara yang benar, dan tujuan yang mulia, sehingga tidak hanya membawa manfaat di dunia, tetapi juga menjadi amal ibadah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah di akhirat kelak.
Dengan menjunjung tinggi persatuan, keadilan, dan kemaslahatan umat, NU berharap warga Nahdliyin dapat berpolitik secara santun, cerdas, dan bermartabat demi mewujudkan Indonesia yang lebih baik.
Pedoman 3, Politik NU: kemerdekaan, demokrasi, kedewasaan, hak, kewajiban, tanggung jawab, kemaslahatan.
Dalam perspektif Nahdlatul Ulama (NU), politik bukan sekadar alat untuk mencapai kekuasaan, melainkan sebuah instrumen untuk mengembangkan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis. Kemerdekaan yang dimaksud tidak hanya terbatas pada aspek fisik atau kebebasan dari penjajahan, tetapi juga mencakup kemerdekaan berpikir, bersikap, dan berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dan kebangsaan.
1. Politik sebagai Sarana Mendidik Kedewasaan Bangsa
NU memandang bahwa salah satu peran politik adalah mendidik masyarakat agar memiliki kedewasaan dalam berpolitik, yaitu:
- Menyadari hak-haknya sebagai warga negara, seperti hak untuk memilih pemimpin yang amanah, hak untuk menyampaikan aspirasi, dan hak untuk mendapatkan keadilan.
- Memahami kewajibannya, yaitu menjaga persatuan, menaati hukum, serta ikut berkontribusi dalam membangun bangsa.
- Menjalankan tanggung jawabnya, seperti menghindari politik yang destruktif, menolak politik uang, serta tidak terprovokasi oleh isu-isu yang dapat memecah belah umat dan bangsa.
Dengan pendekatan ini, politik bukan lagi sekadar perebutan kekuasaan, tetapi menjadi sarana pendidikan politik yang membangun karakter bangsa agar lebih beradab, matang, dan bertanggung jawab.
2. Demokrasi yang Sejalan dengan Nilai Islam
NU meyakini bahwa demokrasi merupakan sistem yang paling sesuai dengan ajaran Islam dalam konteks kehidupan modern, karena mengandung prinsip:
- Syura’ (musyawarah) dalam pengambilan keputusan, sebagaimana dianjurkan dalam Al-Qur’an (QS. Asy-Syura: 38).
- Keadilan (‘adl) dalam hukum dan kebijakan.
- Kebebasan (hurriyyah) yang bertanggung jawab dalam berekspresi dan berpartisipasi.
Dalam praktiknya, NU mendorong warga Nahdliyin untuk berperan aktif dalam demokrasi dengan cara yang santun, bermartabat, dan tidak merusak nilai-nilai kebangsaan. Demokrasi harus tetap berada dalam koridor ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah, sehingga perbedaan politik tidak menjadi penyebab perpecahan.
3. Mewujudkan Kemaslahatan Bersama
Tujuan utama politik dalam pandangan NU adalah tercapainya kemaslahatan bagi seluruh masyarakat, bukan hanya kepentingan kelompok atau golongan tertentu. Oleh karena itu, warga NU diajarkan untuk:
- Mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan politik praktis.
- Menghindari politik adu domba dan fitnah yang dapat merusak persaudaraan.
- Berperan aktif dalam politik, tetapi tetap menjunjung tinggi akhlakul karimah dan prinsip Islam rahmatan lil ‘alamin.
Pedoman ketiga ini menegaskan bahwa bagi NU, politik harus menjadi sarana untuk mengembangkan kedewasaan masyarakat, memperjuangkan demokrasi yang berkeadilan, dan mencapai kemaslahatan bersama. Dengan prinsip ini, diharapkan warga NU tidak hanya menjadi pelaku politik yang cerdas, tetapi juga mampu menjaga moralitas dan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pedoman 4, Politik NU: Berpolitik dengan moral, etika, budaya, dan Pancasila.
“Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi Persatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Nahdlatul Ulama (NU) memahami bahwa politik bukanlah sekadar arena perebutan kekuasaan, tetapi lebih dari itu, politik adalah sarana untuk menegakkan nilai-nilai luhur dan mewujudkan kemaslahatan bersama. Dalam berpolitik, warga NU harus menjunjung tinggi moral, etika, dan budaya bangsa yang berpijak pada ajaran Islam dan nilai-nilai Pancasila.
Sebagai organisasi yang menjunjung Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, NU menegaskan bahwa politik harus berlandaskan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial. Dengan demikian, warga NU diharapkan mampu menjadi teladan dalam berpolitik, dengan tetap menjaga akhlakul karimah dan menghindari praktik politik yang merusak tatanan sosial.
Berikut adalah lima prinsip utama yang menjadi landasan dalam berpolitik bagi warga NU:
1. Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa
Sebagai organisasi Islam, NU menempatkan nilai ketuhanan sebagai dasar utama dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam berpolitik. Politik tidak boleh dijalankan dengan mengabaikan prinsip-prinsip agama, karena Islam mengajarkan kejujuran, keadilan, dan amanah dalam setiap tindakan.
- Politik harus menjadi jalan ibadah, bukan sekadar alat untuk meraih kekuasaan.
- Setiap keputusan politik yang diambil harus berpijak pada nilai-nilai keislaman yang menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran, dan tanggung jawab.
- NU menolak praktik politik kotor, seperti: 1. Money politics (politik uang) – membeli suara rakyat demi kepentingan politik jangka pendek; 2. Fitnah dan hoaks – menyebarkan informasi palsu demi menjatuhkan lawan politik; 3. Kecurangan pemilu – tindakan seperti manipulasi suara atau intimidasi terhadap pemilih.
- Politik yang baik adalah politik yang dilandasi oleh ketakwaan kepada Allah SWT dan bertujuan untuk menyejahterakan rakyat.
2. Ber-Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Politik bukan hanya tentang kepentingan individu atau kelompok tertentu, tetapi juga tentang bagaimana memperjuangkan hak-hak rakyat dengan adil dan beradab. NU menegaskan bahwa dalam berpolitik, warga NU harus selalu mengedepankan nilai kemanusiaan, keadilan, dan akhlak yang baik.
- Politik harus menghormati hak asasi manusia dan martabat setiap individu, tanpa diskriminasi.
- Warga NU tidak boleh terlibat dalam politik yang menggunakan kekerasan, ancaman, atau propaganda kebencian.
- NU menolak keras praktik politik yang tidak beradab, seperti: 1. Black campaign (kampanye hitam) – menyebarkan kebohongan untuk menyerang lawan politik; 2. Politik kekerasan – mengintimidasi atau menekan lawan politik dengan cara yang tidak demokratis; 3. Eksploitasi agama – menggunakan agama untuk kepentingan politik yang tidak bertanggung jawab.
- NU menegaskan bahwa politik yang benar adalah politik yang mengedepankan akhlakul karimah dan menjaga martabat kemanusiaan.
3. Menjunjung Tinggi Persatuan Indonesia
Sebagai organisasi Islam yang lahir dari rahim bangsa Indonesia, NU memandang persatuan sebagai prinsip utama dalam berpolitik. Politik yang memecah belah rakyat bertentangan dengan nilai-nilai NU dan ajaran Islam. Oleh karena itu, warga NU harus menjadikan politik sebagai sarana untuk memperkuat persatuan nasional.
- Politik harus digunakan untuk menyatukan rakyat, bukan memecah belah.
- Warga NU harus menjaga ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama Muslim), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan).
- NU menolak politik identitas yang ekstrem, seperti: 1. Menggunakan agama sebagai alat untuk menyerang kelompok lain; 2. Memprovokasi perpecahan berdasarkan suku, ras, atau agama; 3. Menganggap hanya satu kelompok yang benar dan menolak keberagaman.
- Politik yang sehat adalah politik yang memperkuat persaudaraan dan membangun kebersamaan, bukan politik yang memperuncing perbedaan.
4. Ber-Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Dalam Islam, kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang mendengarkan aspirasi rakyat dan mengambil keputusan dengan bijaksana. Oleh karena itu, politik harus berlandaskan musyawarah dan demokrasi, bukan pemaksaan kehendak.
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang:
- Bijaksana dalam mengambil keputusan, tidak tergesa-gesa dan mempertimbangkan kemaslahatan bersama.
- Mendengarkan suara rakyat, bukan hanya mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
- Tidak bersikap otoriter, tetapi mengutamakan musyawarah dalam menyelesaikan masalah.
Warga NU harus mendukung sistem demokrasi yang sehat dengan:
- Menghormati mekanisme pemilihan yang jujur dan adil.
- Menghindari politik transaksional, yaitu politik yang hanya mengutamakan keuntungan pribadi tanpa memikirkan kepentingan rakyat.
- Menjaga kehormatan lembaga perwakilan rakyat, baik di tingkat lokal maupun nasional.
5. Ber-Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Islam mengajarkan bahwa keadilan adalah pilar utama dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, politik yang dijalankan oleh warga NU harus memihak kepada kesejahteraan rakyat dan menegakkan keadilan sosial.
- Politik harus menjadi alat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, bukan hanya bagi segelintir elite.
- Warga NU harus berpihak kepada kelompok yang lemah dan terpinggirkan, seperti: 1. Petani, nelayan, buruh, dan pekerja kecil yang sering kali kurang mendapat perhatian dari pemerintah; 2. Kelompok masyarakat yang mengalami kesenjangan sosial dan ekonomi.
- NU menolak sistem politik yang hanya menguntungkan kaum elite dan oligarki, sementara rakyat kecil semakin sulit mendapatkan hak-haknya.
- Keadilan sosial harus menjadi tujuan utama dalam setiap kebijakan politik, sehingga rakyat dapat merasakan manfaat dari pembangunan yang merata.
Pedoman keempat ini menegaskan bahwa politik bagi warga NU harus didasarkan pada nilai-nilai moral, etika, dan budaya yang berlandaskan Pancasila. Politik bukanlah alat untuk mencari keuntungan pribadi atau golongan, tetapi harus menjadi sarana untuk menegakkan kebaikan, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan menjunjung tinggi prinsip ini, warga NU diharapkan dapat menjadi contoh dalam berpolitik yang berakhlak, berintegritas, dan mengutamakan kemaslahatan umat dan bangsa.
Pedoman 5, Politik NU: jujur, adil, konstitusional, bermusyawarah.
“Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.”
Dalam pandangan Nahdlatul Ulama (NU), politik bukan sekadar alat untuk meraih kekuasaan, tetapi harus menjadi sarana menegakkan nilai-nilai moral dan keadilan. Oleh karena itu, NU menegaskan bahwa berpolitik bagi warga NU harus dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, serta berlandaskan prinsip konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma yang disepakati, serta mengedepankan musyawarah dalam menyelesaikan masalah bersama.
Pedoman ini memiliki beberapa poin penting yang perlu dipahami lebih lanjut:
1. Kejujuran Nurani dan Moral Agama dalam Politik
Dalam Islam, kejujuran (ṣidq) dan amanah adalah nilai utama dalam kepemimpinan dan politik. Allah SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar.” (QS. Al-Ahzab: 70)
Dalam konteks politik, kejujuran nurani berarti memiliki niat yang tulus dalam berpolitik untuk kepentingan umat dan bangsa, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok semata. Moral agama juga menjadi penuntun dalam bersikap, sehingga warga NU harus menghindari praktik politik yang kotor seperti manipulasi, kebohongan, korupsi, dan fitnah.
Seorang pemimpin atau politisi NU harus meneladani Rasulullah SAW, yang selalu jujur, amanah, dan bertanggung jawab dalam memimpin umat. Dengan demikian, berpolitik bukan sekadar strategi meraih kekuasaan, tetapi juga bagian dari ibadah dan perjuangan menegakkan keadilan.
2. Konstitusional dan Sesuai Peraturan yang Berlaku
NU adalah organisasi yang menjunjung tinggi konstitusi negara. Oleh karena itu, dalam berpolitik, warga NU harus selalu berpegang pada konstitusi (UUD 1945) dan hukum yang berlaku. NU menolak segala bentuk politik yang melanggar hukum, bertentangan dengan etika, atau menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan.
Prinsip ini juga berarti bahwa warga NU harus aktif dalam mendorong kebijakan yang berpihak kepada rakyat, mengawasi jalannya pemerintahan, serta menolak praktik politik yang bertentangan dengan Pancasila dan demokrasi.
3. Politik yang Adil dan Berorientasi pada Kemaslahatan
Salah satu nilai utama dalam Islam adalah keadilan. Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan serta memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 90)
Dalam politik, keadilan berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya, tidak memihak secara zalim, dan mengutamakan kepentingan rakyat banyak. Warga NU yang berkiprah dalam politik harus menjadi pejuang keadilan, menolak diskriminasi, dan memperjuangkan hak-hak rakyat kecil.
4. Mengembangkan Musyawarah dalam Memecahkan Masalah
Salah satu prinsip penting dalam Islam adalah musyawarah (syura) dalam menyelesaikan masalah. Allah SWT berfirman:
“Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka…” (QS. Asy-Syura: 38)
Dalam politik, musyawarah menjadi cara terbaik untuk menyelesaikan konflik, mencari solusi bersama, dan merumuskan kebijakan yang maslahat. NU mendorong warganya untuk menghindari politik yang bersifat otoriter, individualistik, atau penuh intrik, dan lebih mengedepankan dialog, kebersamaan, serta mencari solusi dengan kepala dingin.
Pedoman kelima ini menegaskan bahwa politik bagi warga NU harus dijalankan dengan nilai-nilai moral, kejujuran, dan keadilan, serta berpegang pada konstitusi dan hukum yang berlaku. Dalam berpolitik, warga NU harus selalu mengedepankan musyawarah sebagai solusi konflik, sehingga politik dapat menjadi sarana membangun bangsa, bukan alat untuk merusaknya.
Dengan memahami dan mengamalkan pedoman ini, warga NU dapat berkontribusi dalam politik secara bermartabat, beretika, dan tetap dalam koridor ajaran Islam serta nilai-nilai kebangsaan.
Pedoman 6, Politik NU: Konsensus nasional dan akhlak mulia.
Pedoman ini menegaskan bahwa politik dalam pandangan NU bukanlah sekadar perebutan kekuasaan, tetapi lebih pada upaya menjaga persatuan dan kesepakatan nasional yang telah menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara.
1. Konsensus Nasional yang Harus Diperkuat
Sebagai warga NU, berpolitik harus selaras dengan konsensus-konsensus nasional yang telah menjadi pilar utama dalam menjaga keutuhan bangsa. Konsensus tersebut meliputi:
🔹 Pancasila sebagai Dasar Negara
NU menerima Pancasila sebagai falsafah negara yang sejalan dengan nilai-nilai Islam. Para ulama NU, termasuk KH. Wahid Hasyim, telah berperan dalam perumusan Pancasila, sehingga warga NU wajib menjaga dan mengamalkannya sebagai bentuk komitmen kebangsaan.
🔹 NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)
Bagi NU, NKRI adalah bentuk final dari negara Indonesia. Konsep ini didasarkan pada prinsip Darul Mitsaq (Negara Kesepakatan), di mana umat Islam dan seluruh elemen bangsa telah sepakat untuk hidup bersama dalam persatuan.
🔹 UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara
UUD 1945 menjadi dasar hukum tertinggi dalam kehidupan bernegara. NU mendukung konstitusi ini sebagai instrumen yang harus dijalankan untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
🔹 Bhinneka Tunggal Ika sebagai Prinsip Kebangsaan
Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman. NU mengajarkan bahwa perbedaan agama, suku, dan budaya bukanlah pemisah, tetapi anugerah yang harus dikelola dengan semangat persaudaraan (ukhuwah wathaniyah).
Dengan memahami dan memperkokoh konsensus ini, warga NU diharapkan tidak terjebak dalam politik yang dapat merusak persatuan, seperti politik identitas yang memecah belah bangsa.
2. Akhlaq al-Karimah sebagai Panduan dalam Berpolitik
Selain menjaga konsensus nasional, NU menekankan bahwa berpolitik harus dilakukan dengan Akhlaq al-Karimah, yaitu berpolitik dengan etika dan moralitas yang luhur. Beberapa prinsip utama dalam menjalankan politik yang berakhlak antara lain:
✅ Menghindari politik kebencian, fitnah, dan adu domba
✅ Mengutamakan musyawarah dan dialog dalam menyelesaikan perbedaan
✅ Menjunjung tinggi kejujuran, keadilan, dan kemaslahatan umat
✅ Tidak menjadikan politik sebagai alat untuk kepentingan pribadi atau golongan
Dalam konteks ini, warga NU diharapkan tidak terjebak dalam politik pragmatis yang hanya mengejar kepentingan sesaat, tetapi menjadikan politik sebagai jalan pengabdian untuk kesejahteraan umat dan bangsa.
3. Implementasi dalam Kehidupan Berpolitik
Sebagai organisasi yang memiliki banyak kader di berbagai lini politik, NU memberikan arahan agar warganya berpolitik dengan niat yang benar dan tindakan yang maslahat. Beberapa bentuk implementasi pedoman keenam ini antara lain:
📌 Menjaga kesantunan dalam berpolitik – Tidak menggunakan cara-cara kasar, provokatif, atau memecah belah dalam berkompetisi politik.
📌 Menghindari praktik politik uang dan korupsi – NU mengajarkan bahwa jabatan adalah amanah, bukan sekadar alat untuk mencari keuntungan pribadi.
📌 Mendukung pemimpin yang amanah dan berintegritas – Warga NU harus memilih dan mendukung pemimpin yang berkomitmen terhadap kepentingan rakyat, bukan sekadar popularitas.
📌 Menjadi pemersatu, bukan pemecah belah – Dalam menghadapi perbedaan politik, warga NU diharapkan tetap menjaga persaudaraan, baik sesama Muslim (ukhuwah Islamiyah) maupun dengan seluruh elemen bangsa (ukhuwah wathaniyah dan basyariyah).
Pedoman keenam dalam 9 Pedoman Berpolitik Warga NU mengajarkan bahwa politik bukan sekadar perebutan kekuasaan, tetapi alat untuk memperkokoh persatuan bangsa.
NU menegaskan bahwa berpolitik harus sesuai dengan konsensus nasional—Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika—serta dilakukan dengan Akhlaq al-Karimah yang mencerminkan nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah.
Pedoman 7, Politik NU: Menjaga Kepentingan Bersama dan Persatuan.
Pedoman ini menegaskan bahwa dalam berpolitik, warga NU tidak boleh menggunakan cara-cara yang merusak persatuan umat, bangsa, dan negara. NU melihat politik sebagai jalan untuk kemaslahatan, bukan sebagai alat untuk kepentingan pribadi atau kelompok yang dapat menciptakan perpecahan.
1. Landasan Keislaman
Prinsip ini sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya menjaga ukhuwah (persaudaraan) dan persatuan.
- Al-Qur’an menegaskan pentingnya persatuan umat Islam: “Dan berpegang teguhlah kalian semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai…” (QS. Ali ‘Imran: 103).
- Rasulullah ﷺ bersabda: “Seorang Muslim itu saudara bagi Muslim lainnya, tidak boleh menzalimi dan tidak boleh membiarkannya dizalimi.” (HR. Bukhari & Muslim).
- Ijma’ ulama sepakat bahwa menjaga persatuan umat adalah kewajiban, karena perpecahan hanya akan melemahkan Islam.
- Qiyas menunjukkan bahwa jika dalam kehidupan sehari-hari kita dilarang melakukan tindakan yang merugikan orang lain, maka dalam politik—yang dampaknya lebih luas—larangan ini harus lebih ditekankan.
2. Bagaimana Warga NU Harus Berpolitik?
Berpegang pada pedoman ini, warga NU diharapkan menjalankan politik dengan cara-cara yang beradab, beretika, dan tetap menjaga nilai-nilai Islam serta kebangsaan. Beberapa prinsip yang harus dijaga antara lain:
1. Menjauhi Politik Identitas yang Memecah Belah
NU menolak praktik politik yang menggunakan agama, suku, atau golongan sebagai alat pemecah belah demi kepentingan politik tertentu. Sebaliknya, politik harus menjadi sarana untuk memperkuat persaudaraan dan kebangsaan.
2. Tidak Menjadikan NU sebagai Alat Politik Praktis
NU adalah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang tidak boleh ditarik-tarik dalam kepentingan partai politik. Warga NU boleh berpolitik, tetapi tidak boleh menggunakan nama NU untuk kepentingan politik tertentu.
3. Menjaga Ukhuwah dalam Berpolitik
Dalam berpolitik, warga NU harus tetap menjunjung tiga ukhuwah:
✅ Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama Muslim)
✅ Ukhuwah Wathaniyah (persaudaraan dalam bingkai kebangsaan)
✅ Ukhuwah Basyariyah (persaudaraan antar sesama manusia)
4. Mengutamakan Musyawarah dan Kemaslahatan Bersama
Dalam Islam, politik harus berbasis musyawarah (syura) dan mempertimbangkan kemaslahatan umum. Tidak boleh ada keputusan yang hanya menguntungkan sekelompok orang tetapi merugikan umat secara keseluruhan.
Pedoman ketujuh ini menegaskan bahwa warga NU harus menjalankan politik dengan penuh tanggung jawab, etika, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam serta kebangsaan. Politik yang merusak persatuan dan mengorbankan kepentingan bersama bukanlah politik yang sesuai dengan ajaran Islam maupun prinsip NU.
Pedoman 8, Politik NU: Politik santun, persaudaraan terjaga, persatuan utama.
Dalam kehidupan berdemokrasi, perbedaan aspirasi politik adalah sesuatu yang lumrah. Warga Nahdlatul Ulama (NU) yang berasal dari berbagai latar belakang tentu memiliki pilihan politik yang beragam. Namun, perbedaan ini tidak boleh menjadi sumber perpecahan, melainkan harus disikapi dengan bijak agar tetap terjaga ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah.
Pedoman kedelapan dalam 9 Pedoman Berpolitik Warga NU menekankan bahwa perbedaan pandangan di antara aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’ (rendah hati), dan saling menghargai satu sama lain. Dengan begitu, dalam berpolitik pun persatuan dan kesatuan di lingkungan NU tetap terjaga.
1. Mengapa Persaudaraan dalam Politik Itu Penting?
Politik adalah bagian dari kehidupan sosial, tetapi jika tidak disikapi dengan bijak, perbedaan pilihan politik bisa memicu konflik. Oleh karena itu, penting bagi warga NU untuk:
✅ Menghindari perpecahan akibat perbedaan pandangan.
✅ Menjaga marwah NU sebagai organisasi Islam yang menjunjung tinggi persatuan.
✅ Mengedepankan kepentingan umat dan bangsa di atas kepentingan politik pribadi atau kelompok.
2. Cara Menjaga Persatuan dalam Perbedaan Politik
1️⃣ Hindari Fanatisme Berlebihan
Jangan sampai dukungan terhadap partai atau tokoh tertentu membuat kita buta dan sulit menerima perbedaan pendapat. Fanatisme berlebihan bisa menutup ruang dialog dan merusak ukhuwah.
2️⃣ Utamakan Musyawarah dan Dialog
Jika terjadi perbedaan pandangan, selesaikan dengan musyawarah dan dialog yang santun. Sikap ini mencerminkan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah yang mengedepankan kebijaksanaan.
3️⃣ Jaga Adab dalam Berbeda Pendapat
Jangan sampai perbedaan politik membuat kita menebar ujaran kebencian, fitnah, atau mencela sesama Nahdliyin. Ingat, perbedaan adalah rahmat jika disikapi dengan bijak.
4️⃣ Fokus pada Kepentingan Umat dan Bangsa
Sebagai warga NU, loyalitas utama kita adalah kepada NKRI, bukan kepada kelompok atau partai politik tertentu. Jangan sampai kepentingan politik mengorbankan persatuan umat.
5️⃣ Jangan Bawa Perbedaan Politik ke dalam Organisasi NU
NU adalah organisasi keagamaan dan sosial, bukan partai politik. Oleh karena itu, jangan menjadikan NU sebagai ajang pertarungan politik praktis yang bisa merusak keharmonisan di dalamnya.
Pedoman kedelapan ini mengajarkan bahwa politik harus dijalankan dengan santun, penuh rasa hormat, dan tetap dalam bingkai persaudaraan. Sebagaimana pesan para ulama NU:
“Bersatu dalam hal yang disepakati, saling menghargai dalam hal yang diperselisihkan.”
Dengan menerapkan prinsip ini, warga NU bisa tetap aktif berpolitik tanpa mengorbankan nilai-nilai persatuan dan ukhuwah. Karena pada akhirnya, politik hanyalah alat, sementara persaudaraan dan kebersamaan adalah nilai yang lebih utama.
Pedoman 9, Politik NU: Dialog, Kemandirian, Aspirasi, Pembangunan, Kemaslahatan.
Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peran strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. NU bukan sekadar organisasi keagamaan, tetapi juga memiliki tanggung jawab dalam menjaga stabilitas sosial dan politik. Oleh karena itu, dalam 9 Pedoman Berpolitik Warga NU, pedoman kesembilan menegaskan pentingnya komunikasi kemasyarakatan yang timbal balik dalam pembangunan nasional.
NU percaya bahwa politik harus menjadi sarana untuk menciptakan kesejahteraan, bukan sekadar alat perebutan kekuasaan. Bagaimana konsep ini diterapkan? Berikut adalah prinsip-prinsip utama yang terkandung dalam pedoman kesembilan.
1. Politik sebagai Sarana Membangun Bangsa
Dalam pandangan NU, politik seharusnya berorientasi pada kemaslahatan umat dan keutuhan bangsa. Ini berarti:
✅ Menjaga stabilitas politik dan sosial, agar demokrasi berjalan sehat dan tidak terjebak dalam konflik kepentingan.
✅ Mendorong komunikasi antara pemerintah dan masyarakat, sehingga kebijakan yang dibuat benar-benar mencerminkan kebutuhan rakyat.
✅ Menjaga persatuan nasional, dengan menolak politik identitas yang dapat memecah belah bangsa.
NU tidak ingin politik hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, NU menegaskan bahwa politik harus berlandaskan moralitas, keadilan, dan kepentingan bersama.
2. Mendorong Organisasi Kemasyarakatan yang Mandiri
NU menekankan pentingnya organisasi kemasyarakatan (ormas) yang kuat dan mandiri. Organisasi seperti NU, Muhammadiyah, dan lainnya harus memiliki kebebasan dalam menjalankan perannya tanpa intervensi politik praktis.
🔹 Mandiri dari kepentingan politik praktis, sehingga tetap fokus pada kepentingan umat.
🔹 Menjadi wadah aspirasi masyarakat, agar suara rakyat tersalurkan dengan baik.
🔹 Menolak politisasi organisasi, sehingga tidak digunakan sebagai alat kepentingan sesaat.
Dengan kemandirian ini, ormas dapat berperan lebih efektif dalam pembangunan tanpa harus terjebak dalam kepentingan politik kelompok tertentu.
3. Menjadi Saluran Aspirasi Umat
Sebagai organisasi dengan jutaan anggota, NU memiliki tanggung jawab besar dalam menyalurkan aspirasi umat kepada pemangku kebijakan. NU tidak hanya diam melihat kebijakan yang kurang berpihak pada rakyat, tetapi aktif dalam menyuarakan kepentingan umat.
💡 Dialog dengan pemerintah untuk memastikan kebijakan yang diambil menguntungkan masyarakat luas.
💡 Membimbing kader NU yang berpolitik, agar tetap menjunjung tinggi etika dan nilai keislaman.
💡 Menjadi penjaga stabilitas nasional, dengan mengedepankan dialog, toleransi, dan persatuan.
Melalui komunikasi yang baik dengan pemerintah dan masyarakat, NU berperan sebagai penjaga keseimbangan antara kepentingan negara dan kepentingan rakyat.
4. Partisipasi dalam Pembangunan Nasional
NU menyadari bahwa pembangunan nasional bukan hanya tugas pemerintah, tetapi tanggung jawab bersama. Oleh karena itu, NU berperan aktif dalam berbagai aspek pembangunan, seperti:
🏫 Pendidikan – Meningkatkan kualitas SDM melalui pesantren dan lembaga pendidikan NU.
💰 Ekonomi – Memberdayakan ekonomi umat melalui koperasi dan usaha mikro berbasis Nahdliyin.
🏥 Kesehatan – Menyediakan layanan kesehatan bagi masyarakat melalui rumah sakit dan klinik NU.
Dengan kontribusi nyata ini, NU membuktikan bahwa politik yang sehat adalah politik yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Pedoman kesembilan dalam 9 Pedoman Berpolitik Warga NU menegaskan bahwa politik harus bersifat dialogis, inklusif, dan membawa manfaat bagi umat. NU bukan sekadar pengamat politik, tetapi juga mitra strategis dalam pembangunan nasional.
Dengan menegakkan komunikasi yang sehat, mendorong kemandirian ormas, menyalurkan aspirasi umat, dan berkontribusi dalam pembangunan, NU membuktikan bahwa politik dapat menjadi alat untuk memperkuat bangsa, bukan untuk memecah belah umat.
Penutup
Nahdlatul Ulama (NU) menegaskan bahwa politik bukan sekadar perebutan kekuasaan, tetapi harus menjadi sarana menjaga persatuan, menegakkan keadilan, dan mewujudkan kesejahteraan umat serta bangsa. Dalam 9 Pedoman Berpolitik Warga NU, ditekankan bahwa warga NU harus berpolitik dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah An-Nahdliyah, menjaga ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah, serta tetap setia pada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
NU menolak praktik politik yang destruktif dan pragmatis, serta mendorong politik kebangsaan yang berlandaskan etika, moral, dan keadilan sosial. Dengan pedoman ini, NU berharap agar setiap warga Nahdliyin dapat berperan aktif dalam demokrasi tanpa mengorbankan nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan. NU bukan sekadar peserta politik, tetapi juga penjaga moral dan stabilitas bangsa, memastikan bahwa politik tetap menjadi alat untuk memperjuangkan kemaslahatan bersama.
💡 Mari kita berpolitik dengan bijak, beradab, dan penuh tanggung jawab! Sebagai warga NU, kita memiliki peran besar dalam menjaga persatuan bangsa dan memastikan bahwa politik tetap menjadi jalan untuk membangun negeri. Saatnya bergerak bersama, mengawal demokrasi, dan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia! 🚀✨
Referensi: Download PDF Khittah Nahdlatul Ulama (Khittah NU)