Membebaskan Sains dari Politisasi: Refleksi atas Pernyataan Presiden Prabowo dalam KSTI 2025

Bagaimana wacana Presiden Prabowo dalam Konvensi Sains 2025 mengangkat urgensi menjaga forum ilmiah tetap murni dan bebas dari tekanan politik.

Berita87 Views

[Cirebonrayajeh.com] Tanggal 7 Agustus 2025, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pesan penting dalam pidato kuncinya di Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia (KSTI) 2025 yang digelar di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), Institut Teknologi Bandung. Dalam kesempatan tersebut, Presiden menegaskan bahwa forum ilmiah seperti KSTI harus dijaga dari segala bentuk politisasi. “Kita bicara ilmu, sains, teknologi,” ujarnya. “Biar lebih bebas. Jangan dipelintir. Jangan dipolitisasi.”

Pernyataan ini muncul sebagai respons terhadap pertanyaan media mengenai sesi tertutup dalam KSTI, yang disebut sebagai ruang diskusi bebas dan substantif antar peserta, tanpa kekhawatiran akan distorsi publik atau penggiringan opini.

Di satu sisi, sikap ini patut diapresiasi. Tapi di sisi lain, pendekatan ini tetap perlu dikritisi secara akademis agar tidak berhenti pada simbolisme belaka. Artikel ini menyajikan refleksi kritis—baik apresiasi maupun koreksi—atas retorika dan kebijakan terkait politisasi sains, serta menawarkan langkah-langkah nyata yang relevan.

Apresiasi atas Gagasan Memurnikan Forum Sains

Sebelum masuk ke ranah kritik, penting untuk terlebih dahulu mengapresiasi semangat yang dibawa Presiden Prabowo dalam pidatonya. Komitmen menjaga sains dari intervensi politik adalah sesuatu yang jarang diungkapkan secara terbuka oleh pemimpin negara. Hal ini memberikan sinyal positif bagi iklim akademik dan inovasi di Indonesia.

1. Kejelasan Retorika Publik

Presiden Prabowo menggunakan bahasa yang lugas dan langsung. Kalimat seperti “kita bicara ilmu” mengandung kekuatan simbolik yang menyederhanakan pesan kompleks tentang perlunya menjaga netralitas ilmu pengetahuan. Dalam konteks komunikasi politik, gaya seperti ini efektif untuk membangun kepercayaan publik.

Baca Juga  Pakar Peringatkan: Gugatan Hukum Ripple vs SEC Bisa Berlarut, Lebih Lama dari Coinbase!

2. Menjaga Ruang Aman untuk Ilmuwan

Sesi tertutup, jika digunakan dengan tepat, bisa menjadi ruang aman bagi ilmuwan untuk menyampaikan gagasan tanpa tekanan politis atau publik. Forum seperti ini juga memberi ruang bagi diskusi teknokratik yang mungkin terlalu kompleks untuk dipahami oleh publik secara langsung.

3. Mengangkat Posisi Strategis Sains dan Teknologi

Dengan menempatkan KSTI sebagai panggung nasional dan mengundang berbagai pelaku industri serta pembuat kebijakan, pemerintah mengakui bahwa sains bukan sekadar urusan akademik, tetapi pilar pembangunan nasional.

Kritik Konstruktif terhadap Narasi dan Implementasi

Setiap pernyataan kebijakan harus diikuti oleh pertanyaan kritis mengenai pelaksanaannya. Dalam hal ini, klaim bahwa forum KSTI bebas dari politisasi justru mengundang pertanyaan mengenai siapa yang sebenarnya mengendalikan narasi dalam acara tersebut.

1. Politisasi Tidak Selalu Eksplisit

Menghindari pelintiran opini adalah satu hal. Namun, politisasi tidak selalu hadir secara terang-terangan. Kadang, ia muncul lewat seleksi isu yang dibahas, undangan yang disaring secara ideologis, hingga bentuk sponsor acara. Pertanyaannya: Siapa yang menentukan agenda dalam KSTI? Siapa yang diundang dan siapa yang tidak? Jika semua ini dikontrol oleh institusi politik, maka pernyataan “bebas dari politisasi” justru berisiko menjadi retorika kosong.

2. Transparansi dan Akuntabilitas

Sesi tertutup memang dapat meningkatkan kedalaman diskusi, tetapi juga berpotensi mengurangi akuntabilitas publik. Dalam demokrasi, diskusi ilmiah tidak boleh lepas dari kontrol sosial. Apa yang didiskusikan secara tertutup tetap harus memiliki laporan terbuka—terutama jika menyangkut kebijakan publik.

3. Retorika Ilmiah vs Aksi Nyata

Menyerukan kemurnian sains harus diikuti oleh kebijakan yang menjamin kebebasan akademik, penguatan dana riset, dan pelindungan terhadap ilmuwan dari tekanan politis. Pernyataan saja tidak cukup. Diperlukan struktur kelembagaan yang menjamin hal tersebut.

Baca Juga  Prabowo Minta DKI Jakarta Patungan Proyek Tanggul Laut Rp 1.280 Triliun: Ambisi Infrastruktur 500 KM Dimulai

Tinjauan Akademik: Politisasi Sains dalam Perspektif Global

Untuk memahami konteks pernyataan Presiden secara lebih luas, kita perlu merujuk pada studi-studi akademik yang telah menelusuri fenomena politisasi sains dalam skala global. Indonesia bukan satu-satunya negara yang menghadapi tantangan ini.

Dalam studi ilmu sosial dan komunikasi politik, politisasi sains telah menjadi perdebatan panjang. Cass R. Sunstein (2006) menyoroti bahwa sains yang terlibat dalam kebijakan publik tidak bisa sepenuhnya steril dari nilai-nilai ideologis. Namun, upaya menjaga integritas sains tetap penting.

Penelitian oleh Pielke (2007) juga menunjukkan bahwa peran “honest broker”—yakni ilmuwan yang memberi pilihan tanpa mendorong preferensi politis—sangat krusial dalam sistem demokrasi. Dalam konteks Indonesia, tantangannya adalah bagaimana menciptakan institusi yang memungkinkan fungsi ini berjalan secara berkelanjutan.

Tindakan Nyata yang Bisa Dilakukan

Agar semangat memurnikan forum ilmiah tidak berhenti pada slogan, perlu ada serangkaian langkah nyata. Berikut ini adalah beberapa langkah yang secara praktis dan struktural dapat diterapkan pemerintah untuk menjamin netralitas sains.

1. Membangun Dewan Etik Ilmiah Independen

Presiden dapat mendorong pembentukan Dewan Etik Ilmiah Nasional yang berisi akademisi lintas bidang untuk mengawal diskusi kebijakan sains. Dewan ini bersifat non-partisan dan memiliki kewenangan untuk memberikan evaluasi kritis terhadap setiap agenda sains-pemerintah.

2. Menjamin Akses Publik atas Laporan KSTI

Setelah sesi tertutup, pemerintah wajib menerbitkan ringkasan substansi diskusi dalam bentuk laporan publik. Ini tidak hanya meningkatkan transparansi, tetapi juga memungkinkan masyarakat terlibat dalam validasi dan kritik.

3. Reformasi Pendanaan Riset

Salah satu bentuk politisasi terselubung adalah melalui alokasi dana riset yang bias. Perlu ada mekanisme kompetitif dan transparan, dengan standar evaluasi ilmiah yang dikawal oleh lembaga independen, bukan ditentukan oleh afiliasi politik atau narasi pemerintah.

Baca Juga  Strategi Ekonomi Nasional di Tengah Ketidakpastian Global: Rapat Presiden Prabowo dan DEN di Hambalang

4. Melindungi Kebebasan Akademik

Pemerintah dapat menerbitkan kebijakan tegas yang melindungi dosen, peneliti, dan mahasiswa dari tekanan politik atas hasil riset mereka. Ini bisa diatur melalui UU atau peraturan presiden yang bersifat mengikat.

Penutup: Antara Harapan dan Kenyataan

Pernyataan Presiden Prabowo di KSTI 2025 adalah sebuah sinyal positif bahwa pemerintah memahami pentingnya menjaga netralitas ilmu. Namun sinyal ini tidak boleh berhenti sebagai simbol politik. Ia harus diterjemahkan ke dalam sistem, regulasi, dan budaya lembaga negara yang sungguh-sungguh menghormati kemerdekaan berpikir.

Sebagaimana ilmu tidak boleh dibajak oleh politisi, begitu pula politisi harus belajar dari sains: bekerja berdasarkan bukti, bukan persepsi. Kuncinya ada pada tindakan.

Dan dalam demokrasi yang sehat, tindakan nyata selalu bisa diuji.

Leave a Reply