Cirebonrayajeh.com – Dalam kehidupan ini, manusia selalu dihadapkan pada pilihan—antara bekerja hanya untuk kepentingan diri sendiri atau mengabdikan diri demi kebaikan yang lebih luas. Dalam konteks keislaman, terutama dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU), tiga nilai utama menjadi fondasi perjuangan: keikhlasan, khidmah (pengabdian), dan perjuangan. Nilai-nilai ini bukan sekadar konsep ideal, melainkan pedoman nyata yang telah membentuk perjalanan NU sejak didirikannya oleh para ulama besar, seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah, dan KH. Bisri Syansuri.
Di tengah perubahan zaman, ketika pragmatisme sering kali mengalahkan idealisme, kita perlu kembali merenungkan mengapa nilai-nilai ini begitu penting. Keikhlasan menjadi energi utama dalam setiap perjuangan, memastikan bahwa setiap langkah yang diambil bukan untuk keuntungan pribadi, melainkan untuk kepentingan umat. Khidmah atau pengabdian merupakan manifestasi nyata dari keikhlasan, di mana seseorang rela memberikan tenaga, ilmu, dan waktunya demi kebaikan bersama tanpa mengharapkan balasan. Sementara itu, perjuangan bukan sekadar retorika, tetapi sebuah komitmen jangka panjang yang menuntut konsistensi, kesabaran, dan kesiapan menghadapi tantangan.
Sejarah mencatat bahwa NU lahir dalam situasi yang penuh gejolak. Pada awal abad ke-20, umat Islam di Nusantara menghadapi tantangan besar: kolonialisme yang menindas, gerakan pembaruan Islam yang mencoba menggantikan tradisi, serta ancaman terhadap keberlanjutan pendidikan pesantren. Para muassis NU tidak tinggal diam. Dengan penuh keikhlasan, mereka merancang strategi perjuangan yang tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga intelektual dan spiritual. Resolusi Jihad yang dicetuskan pada 22 Oktober 1945 menjadi bukti bahwa perjuangan NU bukan sekadar menjaga agama, tetapi juga mempertahankan tanah air dari penjajahan.
Kini, tantangan yang dihadapi umat berbeda bentuk. Kita tidak lagi berhadapan dengan kolonialisme dalam arti fisik, tetapi kita menghadapi bentuk penjajahan baru—baik dalam aspek ekonomi, budaya, maupun pemikiran. Kemajuan teknologi dan arus globalisasi membawa manfaat sekaligus ancaman bagi umat Islam. Media sosial, misalnya, bisa menjadi alat dakwah yang luar biasa, tetapi juga bisa menjadi ruang bagi fitnah, hoaks, dan perpecahan. Dalam situasi seperti ini, keikhlasan, khidmah, dan perjuangan tetap menjadi nilai yang harus dipegang teguh agar umat tidak terjebak dalam kepentingan sesaat.
Namun, menerapkan nilai-nilai ini dalam kehidupan modern tidak selalu mudah. Godaan akan popularitas, kekayaan, dan kekuasaan sering kali menggerus keikhlasan seseorang dalam berjuang. Bahkan, tidak sedikit yang mengatasnamakan perjuangan tetapi sejatinya hanya mencari keuntungan pribadi. Oleh karena itu, memahami kembali makna sejati dari keikhlasan, khidmah, dan perjuangan bukan hanya penting bagi kader NU, tetapi juga bagi setiap Muslim yang ingin hidup dalam keberkahan dan memberikan manfaat bagi sesama.
Artikel ini akan mengulas lebih dalam bagaimana ketiga nilai ini menjadi kunci dalam perjuangan NU, bagaimana ia relevan di era modern, serta bagaimana kita bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pemahaman yang mendalam, kita tidak hanya mengenang perjuangan para ulama terdahulu, tetapi juga melanjutkan warisan mereka dengan cara yang sesuai dengan tantangan zaman.
Keikhlasan: Fondasi Spiritual dalam Berjuang
Keikhlasan adalah pondasi utama dalam setiap perjuangan. Ia bukan sekadar niat baik, tetapi sebuah kesadaran spiritual bahwa segala perbuatan harus dilakukan semata-mata karena Allah SWT. Tanpa keikhlasan, perjuangan bisa melenceng dari tujuan awal, menjadi sekadar alat untuk mendapatkan pengakuan, kekuasaan, atau kepentingan duniawi lainnya.
Dalam konteks Nahdlatul Ulama (NU), keikhlasan telah menjadi nilai fundamental sejak awal pendiriannya. Para muassis NU tidak hanya membangun organisasi keagamaan, tetapi juga menanamkan semangat perjuangan yang tidak mengharap pamrih. Mereka mendidik, berdakwah, dan bahkan berjuang mempertahankan kemerdekaan tanpa menginginkan pujian atau keuntungan pribadi.
1. Keikhlasan dalam Perspektif Islam
Pengertian Keikhlasan. Dalam bahasa Arab, keikhlasan berasal dari kata “ikhlas” yang berarti “murni” atau “bersih dari campuran.” Secara istilah, keikhlasan adalah melakukan sesuatu hanya karena Allah SWT, tanpa mengharapkan balasan duniawi atau pujian manusia.
Keikhlasan adalah syarat utama diterimanya amal. Dalam Islam, tidak ada nilai dari sebuah perbuatan jika tidak dilandasi niat yang tulus. Hal ini ditegaskan dalam hadis Nabi Muhammad SAW:
“Sesungguhnya segala amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya seseorang hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari & Muslim)
Selain itu, Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…” (QS. Al-Bayyinah: 5)
a. Keikhlasan Sebagai Syarat Diterimanya Amal
Para ulama menyebutkan bahwa amal yang diterima oleh Allah SWT harus memenuhi dua syarat utama:
- Dilakukan dengan Ikhlas: Niat harus benar-benar hanya karena Allah, bukan karena ingin dipuji atau mendapatkan keuntungan duniawi.
- Sesuai dengan Tuntunan Syariat: Amal harus dilakukan dengan cara yang benar, sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW dan tidak menyimpang dari syariat Islam.
Jika seseorang melakukan amal besar tetapi niatnya tidak ikhlas, maka amal tersebut bisa sia-sia di sisi Allah. Bahkan dalam sebuah hadis qudsi, Allah SWT mengingatkan bahwa di hari kiamat ada tiga golongan yang masuk neraka pertama kali: seorang alim, seorang mujahid, dan seorang dermawan—bukan karena mereka kurang beramal, tetapi karena mereka tidak ikhlas (HR. Muslim).
2. Keikhlasan dalam Perjuangan Nahdlatul Ulama
Keikhlasan adalah ruh dari setiap perjuangan yang dilakukan oleh para ulama NU sejak awal pendiriannya. Ada beberapa aspek penting yang menunjukkan bagaimana nilai keikhlasan diterapkan dalam perjuangan NU:
a. Keikhlasan dalam Pendidikan dan Dakwah
Para ulama NU mendirikan pesantren bukan untuk mencari kekayaan atau ketenaran, tetapi untuk mendidik umat agar memahami Islam dengan benar. Banyak kiai dan guru yang hidup dalam kesederhanaan, bahkan rela mengorbankan harta dan tenaga demi keberlangsungan pendidikan Islam.
Pesantren menjadi pusat pendidikan yang mengajarkan Islam dengan pendekatan Ahlussunnah wal Jama’ah, menekankan keseimbangan antara ilmu, adab, dan pengabdian kepada masyarakat.
b. Keikhlasan dalam Mempertahankan Tanah Air
Salah satu bukti nyata dari keikhlasan perjuangan NU adalah Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Fatwa ini menegaskan bahwa mempertahankan kemerdekaan adalah kewajiban agama (fardhu ‘ain) bagi setiap Muslim yang mampu.
Santri dan ulama NU tidak hanya mengajarkan agama di pesantren, tetapi juga turun langsung ke medan perang. Mereka tidak berjuang untuk kepentingan pribadi atau kelompok, tetapi demi menjaga tanah air dari penjajahan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan kemanusiaan.
3. Tantangan Keikhlasan di Era Modern
Meskipun keikhlasan adalah prinsip utama dalam Islam, menjaganya di era modern tidaklah mudah. Beberapa tantangan yang sering muncul meliputi:
a. Popularitas dan Pengakuan di Media Sosial
Di era digital, seseorang bisa dengan mudah dikenal melalui media sosial. Hal ini bisa menjadi godaan bagi para pejuang dakwah, aktivis, atau pemimpin untuk mencari validasi dari manusia, bukan dari Allah SWT.
Misalnya, seseorang bisa saja berdakwah dengan tujuan mendapatkan banyak pengikut, like, dan komentar positif, bukan semata-mata untuk menyebarkan kebaikan. Jika tidak berhati-hati, media sosial bisa mengikis keikhlasan dan mengubah perjuangan menjadi ajang pencitraan.
b. Godaan Jabatan dan Kekuasaan
Seorang pejuang yang awalnya ikhlas bisa berubah ketika dihadapkan pada peluang jabatan atau kekuasaan. Ambisi untuk mendapatkan posisi strategis dalam organisasi atau pemerintahan bisa menggeser niat awal.
Dalam sejarah, kita melihat bagaimana banyak ulama NU tetap menjaga keikhlasan mereka meskipun memiliki peluang untuk mendapatkan jabatan tinggi. Mereka lebih memilih mengabdi di pesantren daripada terlibat dalam politik praktis yang bisa menggerus niat awal perjuangan.
4. Cara Menjaga Keikhlasan dalam Perjuangan
Agar perjuangan tetap murni dan penuh berkah, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menjaga keikhlasan:
- Rutin Melakukan Muhasabah (Introspeksi Diri), Evaluasi niat secara berkala: Apakah masih murni karena Allah atau sudah bercampur dengan ambisi duniawi?
- Menghindari Pujian yang Berlebihan: Jangan terlalu bergantung pada sanjungan manusia, karena bisa menjadi awal dari kesombongan dan kehilangan keikhlasan.
- Menjadikan Akhirat Sebagai Tujuan Utama: Yakini bahwa balasan terbaik bukan dari manusia, tetapi dari Allah SWT di akhirat.
- Bersama dalam Lingkungan yang Saling Mengingatkan: erada dalam komunitas yang sehat, seperti majelis ilmu dan pesantren, akan membantu menjaga niat tetap lurus.
Keikhlasan adalah fondasi utama dalam setiap perjuangan. Tanpa keikhlasan, amal sebesar apa pun bisa menjadi sia-sia. Para muassis NU telah menunjukkan keteladanan dalam menjaga keikhlasan dalam perjuangan mereka, baik dalam pendidikan, dakwah, maupun jihad fisabilillah.
Khidmah: Pengabdian Tanpa Batas untuk Umat
Makna Khidmah dalam Islam. Khidmah dalam Islam berarti pengabdian yang dilakukan dengan penuh keikhlasan tanpa mengharapkan imbalan duniawi. Konsep ini mengakar kuat dalam ajaran Islam dan menjadi salah satu cara untuk meraih keberkahan hidup. Rasulullah SAW bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)
Hadis ini menegaskan bahwa khidmah bukan hanya bentuk ibadah kepada Allah SWT, tetapi juga menjadi jalan untuk memberikan manfaat kepada orang lain. Di dalam Islam, seorang Muslim dianjurkan untuk membantu sesama dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam pendidikan, kesejahteraan sosial, maupun aspek keagamaan.
Bagaimana NU Mempraktikkan Khidmah?
Sejak didirikan, Nahdlatul Ulama (NU) menjadikan khidmah sebagai fondasi utama dalam perjuangannya. Pengabdian dilakukan dalam berbagai aspek kehidupan umat, mulai dari pendidikan, dakwah, sosial, hingga pemberdayaan ekonomi. Berikut adalah beberapa contoh nyata khidmah yang telah dilakukan NU:
Pendidikan dan Pesantren: Pesantren merupakan pusat pendidikan yang menjadi salah satu bentuk khidmah utama NU. Selain mengajarkan ilmu agama, pesantren juga membentuk karakter dan keterampilan santri untuk menghadapi tantangan kehidupan. Sistem pendidikan berbasis pesantren telah melahirkan banyak ulama, intelektual, dan pemimpin yang berkontribusi besar bagi masyarakat. Bahkan, pesantren NU juga mengembangkan program pemberdayaan ekonomi dan sosial untuk masyarakat sekitar.
- Dakwah dan Bimbingan Keagamaan: NU aktif dalam melakukan dakwah yang menyejukkan dan berlandaskan ilmu. Para kiai dan ulama NU secara konsisten mengajarkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah dengan metode yang mudah dipahami oleh masyarakat luas. Dakwah dilakukan melalui majelis taklim, pengajian rutin, khutbah Jumat, serta kajian kitab klasik yang menjadi ciri khas tradisi keilmuan NU.
- Aksi Sosial dan Kemanusiaan: NU melalui berbagai lembaganya, seperti Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sedekah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) dan Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim NU (LPBI NU), selalu aktif dalam membantu masyarakat yang terkena musibah. Bantuan diberikan tidak hanya kepada umat Muslim, tetapi juga kepada siapa saja yang membutuhkan, sebagai wujud Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
- Pemberdayaan Ekonomi Umat: NU juga terlibat dalam mengembangkan ekonomi berbasis syariah melalui koperasi NU, bank wakaf mikro, dan program UMKM berbasis pesantren. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi ketimpangan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan umat dengan cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
Transformasi Khidmah dalam Era Digital
Perkembangan teknologi membawa perubahan dalam cara umat Islam berkhidmah. NU juga turut beradaptasi dengan perkembangan zaman melalui berbagai inovasi digital dalam dakwah dan pengabdian sosial. Berikut adalah beberapa transformasi khidmah yang dilakukan NU di era digital:
- Dakwah Digital: NU memanfaatkan media sosial, seperti YouTube, Instagram, dan podcast untuk menyebarkan ajaran Islam yang moderat dan toleran. Banyak kiai dan asatidz NU yang aktif dalam menyampaikan ceramah dan kajian Islam secara online sehingga jangkauan dakwah semakin luas.
- Layanan Keagamaan Online: NU menyediakan berbagai platform konsultasi agama secara online, baik melalui situs web, aplikasi, maupun media sosial. Masyarakat bisa bertanya langsung tentang hukum Islam, fikih, dan berbagai persoalan kehidupan dengan mudah dan cepat.
- Ekonomi Digital dan Kesejahteraan Umat: NU mengembangkan marketplace halal, platform koperasi digital, dan program UMKM berbasis teknologi untuk membantu masyarakat meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka. Program ini membuka peluang usaha bagi umat Islam agar bisa mandiri secara finansial.
Membedakan Khidmah Sejati dan Kepentingan Pribadi
Di era modern ini, ada kecenderungan bahwa sebagian orang mengatasnamakan khidmah untuk kepentingan pribadi, politik, atau materi. Oleh karena itu, penting untuk mengenali perbedaan antara khidmah sejati dan pengabdian yang hanya sekadar kedok. Beberapa ciri khidmah yang sejati antara lain:
- Keikhlasan: Pengabdian yang tulus dilakukan tanpa mengharap pujian atau keuntungan pribadi. Jika seseorang berkhidmah dengan niat untuk mendapatkan popularitas atau kekuasaan, maka nilai pengabdiannya menjadi tidak murni.
- Kesinambungan: Khidmah sejati tidak dilakukan secara sporadis, tetapi secara berkelanjutan. Orang yang benar-benar mengabdi akan terus konsisten dalam perjuangannya, meskipun tanpa sorotan media atau penghargaan dari pihak lain.
- Manfaat untuk Umat: Pengabdian yang murni selalu membawa manfaat nyata bagi masyarakat luas. Jika suatu kegiatan lebih menguntungkan segelintir pihak daripada umat secara umum, maka itu bukanlah khidmah sejati.
Khidmah adalah inti dari perjuangan NU dan nilai fundamental dalam Islam. Sejarah telah membuktikan bahwa NU selalu istiqamah dalam mengabdi kepada umat melalui pendidikan, dakwah, dan aksi sosial.
Di era digital, tantangan utama umat Islam adalah bagaimana mempertahankan nilai khidmah agar tetap tulus dan tidak tercampur kepentingan pribadi. Oleh karena itu, kita harus terus berupaya menjalankan khidmah dengan niat yang lurus, agar pengabdian kita mendapat ridha Allah SWT dan membawa manfaat bagi masyarakat luas.
Mari kita jadikan khidmah sebagai bagian dari kehidupan kita, sehingga kebermanfaatan kita bisa terus dirasakan oleh umat dan menjadi bekal di akhirat kelak.
Perjuangan: Mengabdi dengan Tindakan Nyata
Perjuangan adalah inti dari setiap gerakan besar yang membawa perubahan bagi masyarakat. Dalam Nahdlatul Ulama (NU), perjuangan bukan hanya sekadar retorika, tetapi sebuah pengabdian yang nyata bagi agama, umat, dan negara. Perjuangan yang diusung NU mencakup berbagai aspek, mulai dari mempertahankan keutuhan bangsa, menjaga kemurnian ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, hingga membangun kesejahteraan umat di era modern.
Namun, perjuangan tidak selalu berarti peperangan atau konfrontasi fisik. Seiring dengan perubahan zaman, bentuk perjuangan pun ikut berkembang. Jika dahulu NU berperan dalam perjuangan fisik melawan penjajah, maka hari ini NU berjuang melalui pendidikan, dakwah digital, ekonomi syariah, dan keterlibatan dalam kebijakan publik.
1. Sejarah Perjuangan NU: Dari Resolusi Jihad hingga Perjuangan Sosial
Sejarah mencatat bahwa NU telah menjadi garda terdepan dalam membela agama dan bangsa. Salah satu peristiwa penting yang menunjukkan peran perjuangan NU adalah Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945.
a. Resolusi Jihad dan Perjuangan Fisik
Ketika Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya, ancaman dari pasukan Sekutu semakin nyata. KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, mengeluarkan fatwa bahwa membela kemerdekaan adalah kewajiban jihad bagi setiap Muslim yang mampu.
Resolusi Jihad ini memicu perlawanan rakyat, termasuk para santri dan kiai, melawan penjajah. Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya menjadi bukti nyata bagaimana fatwa ulama NU mampu menggerakkan perjuangan besar yang akhirnya mengukuhkan kedaulatan Indonesia.
Namun, setelah kemerdekaan, perjuangan NU tidak berhenti. Justru, tantangan baru muncul dalam berbagai bentuk:
- Era Orde Lama → Perjuangan dalam menjaga kemandirian umat Islam dalam politik dan pendidikan.
- Era Orde Baru → Beradaptasi dengan regulasi pemerintah sekaligus menjaga peran ulama dalam membimbing masyarakat.
- Era Reformasi → Menghadapi tantangan globalisasi, radikalisme, dan ketimpangan sosial.
2. Perjuangan Berbasis Ilmu dan Adab: Pilar Utama NU
Sejak awal, NU menempatkan ilmu dan adab sebagai dasar perjuangan. Ilmu menjadi pedoman dalam memahami realitas, sementara adab memastikan perjuangan berjalan dengan cara yang benar dan berakhlak.
a. Perjuangan Melalui Pendidikan Islam
NU telah lama memahami bahwa pendidikan adalah kunci utama dalam membangun peradaban yang kokoh. Oleh karena itu, sejak awal berdiri, NU telah aktif mendirikan pondok pesantren, madrasah, hingga universitas yang berbasis Islam Ahlussunnah wal Jama’ah.
Beberapa kontribusi NU dalam pendidikan:
- Pondok Pesantren NU: Sejak awal abad ke-20, pesantren NU menjadi pusat pendidikan Islam dan mencetak banyak ulama serta pemimpin bangsa.
- Lembaga Pendidikan Ma’arif NU: Berperan dalam menyediakan akses pendidikan bagi umat Islam di berbagai daerah.
- Perguruan Tinggi NU: Berkontribusi dalam mencetak intelektual Muslim yang siap menghadapi tantangan zaman.
Perjuangan melalui pendidikan bukan hanya tentang membangun sekolah, tetapi juga menanamkan nilai-nilai Islam moderat, toleransi, dan wawasan kebangsaan kepada generasi muda.
b. Perjuangan dalam Menjaga Adab dan Moderasi Islam
Di era modern, banyak orang mengaku berjuang untuk Islam tetapi melakukannya dengan cara yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri. Misalnya:
- Dakwah yang mengandung ujaran kebencian.
- Fanatisme yang berujung pada radikalisme dan terorisme.
- Perpecahan di antara sesama umat Islam karena perbedaan pandangan.
NU selalu mengedepankan Islam yang berlandaskan rahmatan lil ‘alamin, yakni Islam yang damai, beradab, dan menghargai perbedaan. Ini adalah bentuk perjuangan yang sangat penting di era saat ini, di mana disinformasi dan ekstremisme bisa menyebar dengan mudah melalui media sosial.
3. Tantangan Perjuangan di Era Modern
Di zaman modern, tantangan perjuangan semakin kompleks. NU tidak lagi menghadapi penjajah secara fisik, tetapi menghadapi tantangan yang lebih abstrak, seperti:
a. Dakwah Digital: Berjuang Melawan Hoaks dan Radikalisme
Media sosial menjadi medan dakwah baru, tetapi juga menjadi tempat suburnya berita palsu dan paham-paham ekstrem. NU memiliki tanggung jawab untuk:
- Menyebarkan konten edukatif berbasis Islam Ahlussunnah wal Jama’ah.
- Melawan narasi radikal yang membahayakan umat.
- Memanfaatkan teknologi untuk mendukung dakwah yang moderat dan mendidik.
b. Ekonomi Syariah: Perjuangan dalam Kemandirian Ekonomi Umat
NU telah mulai mendorong ekonomi berbasis syariah sebagai bentuk perjuangan baru. Mengapa? Karena kesejahteraan ekonomi adalah bagian dari jihad modern.
- Beberapa langkah nyata yang dilakukan NU dalam bidang ekonomi:
- Mendirikan koperasi syariah dan pesantrenpreneur untuk memberdayakan santri dalam wirausaha.
- Mendorong investasi halal agar umat Islam tidak terjebak dalam sistem ekonomi ribawi.
- Membangun infrastruktur ekonomi berbasis komunitas agar umat Islam bisa lebih mandiri.
c. Perjuangan dalam Kebijakan Publik
NU juga aktif dalam memastikan bahwa kebijakan pemerintah tetap berpihak kepada keadilan dan kesejahteraan umat. Ini meliputi:
- Advokasi terhadap kebijakan pendidikan Islam.
- Mendorong regulasi ekonomi syariah dan kesejahteraan sosial.
- Menjaga demokrasi agar tetap berlandaskan prinsip keadilan dan persatuan.
Perjuangan yang Harus Diteruskan. Perjuangan NU bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang masa depan. Setiap generasi memiliki tantangan dan medan perjuangannya sendiri.
Hari ini, kita semua bisa menjadi pejuang NU dengan cara yang berbeda:
- Guru yang mendidik generasi muda dengan ilmu dan adab adalah pejuang.
- Santri yang belajar dan mengamalkan ilmunya untuk umat adalah pejuang.
- Pengusaha yang membangun bisnis dengan prinsip ekonomi Islam adalah pejuang.
- Pemuda yang menyebarkan dakwah digital yang moderat adalah pejuang.
Perjuangan sejati bukan tentang mencari keuntungan pribadi, tetapi tentang memberi manfaat kepada umat. Mari lanjutkan perjuangan ini, sesuai dengan keahlian dan kapasitas kita masing-masing.
Karena sejatinya, perjuangan yang paling besar adalah perjuangan melawan hawa nafsu dan menjaga keikhlasan dalam berkhidmah.
Penutup: Mewarisi Nilai-Nilai Perjuangan untuk Generasi Selanjutnya
Dalam perjalanan panjang Nahdlatul Ulama (NU), nilai-nilai keikhlasan, khidmah (pengabdian), dan perjuangan telah menjadi pilar utama yang mengokohkan eksistensinya. Tidak hanya sebagai organisasi keagamaan, tetapi juga sebagai gerakan sosial yang terus memberikan manfaat bagi umat, bangsa, dan negara. Namun, dalam konteks zaman yang terus berubah, muncul pertanyaan penting: Bagaimana nilai-nilai ini dapat diwarisi dan diterapkan oleh generasi selanjutnya?
1. Keikhlasan: Antara Tantangan dan Keniscayaan
Keikhlasan adalah nilai yang paling sulit dipertahankan di tengah derasnya arus pragmatisme dan kepentingan pribadi. Dalam dunia modern yang serba terukur dengan popularitas, keuntungan materi, dan pengaruh politik, keikhlasan sering kali diuji.
Padahal, para muassis NU mengajarkan bahwa ikhlas adalah energi utama dalam berjuang. Ikhlas bukan berarti pasif, bukan pula sekadar meniadakan harapan imbalan duniawi, tetapi bekerja tanpa ketergantungan pada pengakuan manusia. Gus Dur pernah berkata, “Orang berjuang itu bukan untuk menang atau kalah, tapi untuk membela yang benar.” Artinya, kemenangan sejati bukan diukur dari hasil instan, tetapi dari konsistensi dalam menegakkan kebenaran.
Mewarisi keikhlasan berarti mengajarkan generasi muda untuk berkarya dan berjuang tanpa dihantui ekspektasi pribadi. Dalam konteks ini, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:
- Menanamkan nilai kerja lillahi ta’ala sejak dini – Pendidikan di pesantren dan lembaga pendidikan Islam harus tetap menanamkan nilai bahwa segala sesuatu dilakukan sebagai ibadah kepada Allah.
- Membangun budaya kerja berbasis kebermanfaatan – Generasi muda harus diarahkan untuk melihat pekerjaan dan perjuangan sebagai kontribusi, bukan hanya sebagai ajang mencari keuntungan.
- Menjaga kebersihan niat dalam setiap aktivitas sosial dan politik – Bekerja di ranah publik sering kali menggoda seseorang untuk mencari pengaruh atau keuntungan. Maka, setiap aktivis sosial dan pemimpin harus selalu mengoreksi niatnya secara berkala.
Keikhlasan sejati melahirkan kekuatan yang tak mudah goyah. Sejarah NU mencatat bagaimana para kiai, santri, dan ulama terus bergerak tanpa berharap imbalan, bahkan saat harus mengorbankan jiwa dan raga demi agama dan negara.
2. Khidmah: Dari Pesantren ke Masyarakat Digital
Khidmah atau pengabdian adalah ekspresi konkret dari keikhlasan. NU tidak hanya berdiri sebagai lembaga keagamaan, tetapi juga sebagai wadah pengabdian yang nyata dalam bentuk pendidikan, sosial, dan ekonomi. Tradisi pesantren yang mengajarkan santri untuk berkhidmah kepada masyarakat menjadi salah satu bukti bahwa NU bukan sekadar organisasi, tetapi sebuah gerakan kemanusiaan.
Namun, bagaimana konsep khidmah ini bisa diterapkan oleh generasi modern?
- Membawa semangat khidmah ke dunia digital – Di era media sosial, pengabdian tidak harus selalu dalam bentuk fisik. Banyak ulama muda dan akademisi NU yang kini berdakwah melalui platform digital, memberikan edukasi berbasis Islam dengan pendekatan yang relevan.
- Memanfaatkan teknologi untuk memperluas jangkauan khidmah – Konsep pengabdian bisa diperluas dengan memanfaatkan aplikasi, website, dan media online untuk membantu umat, seperti layanan konsultasi keagamaan online, beasiswa digital, atau ekonomi berbasis syariah yang memberdayakan masyarakat.
- Menjadikan khidmah sebagai budaya, bukan sekadar aktivitas temporer – Pengabdian tidak boleh berhenti pada momen-momen tertentu saja, tetapi harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Generasi muda NU perlu memahami bahwa pengabdian kepada umat adalah misi hidup yang tak terbatas ruang dan waktu.
Khidmah bukan hanya kewajiban kiai atau santri, tetapi tugas seluruh umat Islam. Semakin luas khidmah dilakukan, semakin besar manfaat yang bisa diberikan kepada masyarakat.
3. Perjuangan: Konsisten, Beradab, dan Berorientasi Jangka Panjang
Perjuangan dalam Islam dan NU bukanlah sekadar berhadapan dengan musuh secara fisik, tetapi juga melawan kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Jika dahulu NU berjuang dengan mengangkat senjata dalam Resolusi Jihad, kini tantangan perjuangan telah berubah.
Beberapa aspek perjuangan yang harus diwarisi oleh generasi selanjutnya antara lain:
- Perjuangan dalam pendidikan – NU harus terus melahirkan generasi intelektual yang menguasai ilmu agama dan ilmu dunia, sehingga mampu membangun peradaban Islam yang maju.
- Perjuangan dalam ekonomi – NU harus membangun kemandirian ekonomi berbasis keumatan agar umat Islam tidak mudah terjebak dalam ketergantungan finansial yang merugikan.
- Perjuangan dalam kebijakan publik – Generasi muda NU harus hadir dalam dunia kebijakan dan pemerintahan untuk memastikan kebijakan yang dibuat tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan keadilan sosial.
Namun, perjuangan harus tetap beradab. Islam mengajarkan bahwa perjuangan yang baik adalah yang berlandaskan ilmu, adab, dan strategi yang matang. Perjuangan yang dilakukan dengan emosi sesaat hanya akan menimbulkan kerusakan, bukan solusi.
Menjaga Nilai-Nilai Perjuangan dengan Kesadaran Kolektif
Nilai keikhlasan, khidmah, dan perjuangan tidak bisa diwariskan hanya melalui narasi sejarah atau ceramah motivasi. Nilai-nilai ini harus dihidupkan dalam realitas keseharian. Oleh karena itu, ada beberapa langkah strategis agar nilai-nilai ini tetap lestari:
- Menjadikan pesantren dan madrasah sebagai pusat pembentukan karakter generasi penerus NU.
- Mendorong partisipasi aktif generasi muda dalam organisasi keislaman dan sosial.
- Memperkuat literasi digital agar perjuangan dan khidmah bisa diperluas melalui teknologi.
Menanamkan kesadaran bahwa perjuangan bukan soal hasil instan, tetapi warisan jangka panjang untuk kebaikan umat.
Kesadaran kolektif ini harus terus dipupuk. NU telah membuktikan bahwa nilai-nilai yang dipegang teguh oleh para pendirinya tidak hanya bertahan dalam sejarah, tetapi terus berkembang dan relevan di setiap zaman.
Pada akhirnya, mewarisi nilai keikhlasan, khidmah, dan perjuangan bukanlah sekadar mengenang masa lalu, tetapi menghidupkan kembali semangat para muassis dalam kehidupan modern. Sebab, seperti yang sering diingatkan oleh para kiai, perjuangan tidak pernah selesai, hanya bentuknya yang berubah sesuai dengan tantangan zaman.
Maka, pertanyaan yang harus kita renungkan adalah: Sudahkah kita meneruskan perjuangan mereka dengan benar?