Presiden Prabowo Panggil Dirut Pertamina, Bahas Distribusi BBM untuk SPBU Swasta

Pertemuan di Istana Merdeka bahas distribusi BBM ke SPBU swasta, Pertamina janji transparansi lewat mekanisme open book.

Berita62 Views

[Cirebonrayajeh.com, Presiden Prabowo] Presiden Prabowo Subianto memanggil Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, ke Istana Merdeka pada 19 September 2025 untuk membahas ketersediaan dan distribusi bahan bakar minyak (BBM) ke SPBU swasta. Pertemuan ini meliputi permintaan preparasi alokasi kebutuhan hingga akhir tahun, mekanisme bisnis yang terbuka (termasuk open book), langkah impor tambahan, serta upaya menjaga mutu BBM.

Dalam bingkai Khittah NU 1926, yang menekankan bahwa NU adalah organisasi sosial-keagamaan, bertindak atas prinsip keadilan, kemaslahatan umum, serta transparansi dan pengabdian kepada masyarakat, berita ini perlu dianalisis tidak hanya dari sisi teknis energi, tetapi juga dari perspektif nilai-nilai organisasi NU: apakah kebijakan seperti ini konsisten dengan prinsip Khittah?

Khittah NU 1926 – Nilai, Garis Perjuangan, dan Relevansi Kebijakan Publik

Khittah NU 1926 merupakan fondasi nilai bagi Nahdlatul Ulama sejak didirikan: sebagai jam’iyah diniyah-wajimah (sosial-keagamaan), dengan tujuan memelihara, mengembangkan, dan mengamalkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah dalam konteks kemasyarakatan Indonesia. Prinsip seperti keadilan, kesetaraan, persaudaraan, toleransi, dan kemaslahatan bersama adalah bagian integral dari khittah tersebut.

Dalam konteks kebijakan publik—seperti distribusi BBM—nilai‐nilai Khittah NU menuntut agar kebijakan dilaksanakan dengan sesuatu yang adil, transparan, tidak memihak kepada kelompok tertentu secara tidak wajar, serta menegakkan kemaslahatan umum, terutama bagi rakyat kecil dan masyarakat yang paling rentan.

Kebijakan Distribusi BBM & Transisi SPBU Swasta – Fakta & Kebutuhan Data

Sebelum menilai dari sudut keagamaan atau nilai, penting memahami gambaran nyata: berapa distribusi BBM saat ini, bagaimana mekanisme subsidi, seberapa besar keterlibatan SPBU swasta, dan bagaimana dampak ke konsumen. Data empiris dibutuhkan agar analisis kebijakan tetap berakar dan tidak spekulatif.

Data & Fakta:

1. Volume distribusi BBM

Berdasarkan laporan BPH Migas, distribusi BBM di Indonesia meningkat setiap tahun. Misalnya, sebuah artikel CNBC Indonesia mencatat bahwa distribusi BBM (semua jenis) mencapai sekitar 80,39 juta kiloliter (kl) dalam satu periode laporan.

Buku Statistik Migas Semester I 2024 dari Ditjen Migas menyajikan data produksi minyak dan gas serta penggunaan BBM, meskipun data precise distribusi ke SPBU swasta belum dirinci secara publik yang mudah diakses.
Ditjen Migas

2. Konsumsi Pertalite oleh masyarakat

  • Pertamina mencatat bahwa 78% pengguna Pertalite mengisi rata-rata 19,5 liter per hari, berdasarkan data Juni 2024.
  • Ini menggambarkan kebutuhan BBM subsidi bagi masyarakat menengah ke bawah cukup signifikan, dan bahwa volume pengisian harian tidak kecil.
Baca Juga  Prabowo Cabut PMN Rp3 Triliun untuk Waskita Karya: Babak Baru Arah Kebijakan Fiskal Indonesia

3. Penyalur SPBU (termasuk swasta)

  • Data “Data Agen Penyalur BBM Pertamina Patra Niaga” memuat banyak SPBU dan badan usaha sebagai agen penyalur, wilayah distribusi, jenis BBM yang disalurkan, namun publikasi umum jarang mengurai alokasi khusus BBM non‐subsidi vs subsidi untuk SPBU swasta secara granular.
    Ditjen Migas
  • Realisasi BBM non-subsidi di SPBU skala mini (swasta) menunjukkan bahwa jenis gasoline RON 92 mencapai penjualan 100-300 liter per hari pada beberapa lokasi, sebagaimana dalam publikasi terkait izin dan distribusi SPBU mini.
    Kementerian Ekonomi

4. Kualitas dan standar BBM

  • Ditjen Migas mengatur spesifikasi BBM yang wajib dipenuhi dan disalurkan ke SPBU melalui regulasi teknis. Mutu aditif dan resin pengolahan adalah bagian dari standar yang harus konsisten. (Regulasi teknis Migas).
  • Namun, publikasi independen yang mengukur kualitas BBM di lapangan (setelah distribusi ke SPBU swasta) jarang dipublikasikan dengan lengkap.

Kebutuhan Data Tambahan:

  • Alokasi BBM bersubsidi vs non‐subsidi untuk SPBU swasta vs milik Pertamina secara daerah.
  • Performa impor tambahan (berapa volume yang masuk, dari negara mana, biaya impor vs distribusi lokal).
  • Biaya logistik / distribusi (transport, penyimpanan) yang muncul dalam open book, supaya masyarakat bisa melihat bagaimana harga terbentuk.

Analisis Kebijakan: Transparansi dan Mekanisme Open Book dalam Distribusi BBM

Salah satu poin utama dalam berita adalah bahwa proses antara Pertamina dan SPBU swasta akan dilakukan secara terbuka (mekanisme open book) agar cost‐cost yang muncul terlihat, dan agar harga ke konsumen tidak berubah. Ini sangat penting sebagai instrumen kontrol publik dan dalam kerangka keadilan fiskal dan energi.

Analisis:

1. Open Book sebagai Instrumen Transparansi

Keputusan melakukan open book artinya bahwa semua biaya produksi, pengolahan, transport, margin SPBU swasta, biaya impor, hingga biaya aditif harus diperlihatkan. Jika dilakukan dengan jujur dan akuntabel, ini dapat mencegah praktek mark-up atau pungutan biaya tidak resmi.

Namun dalam praktiknya, open book memerlukan kemampuan administratif dan pengawasan: SPBU swasta harus memiliki pencatatan keuangan yang baik, pihak auditor eksternal harus dapat mengakses data, dan harus ada regulasi yang memaksa penerapan transparansi ini, bukan hanya janji.

2. Bisnis antar perusahaan (business‐to‐business) vs peran negara sebagai regulator

Pertamina sebagai BUMN tidak hanya sebagai pelaksana tapi juga regulator tidak langsung melalui penentuan alokasi dan standar mutu. Peran negara lewat ESDM dan Ditjen Migas harus memastikan bahwa SPBU swasta yang ikut distribusi punya kapasitas teknis dan mutu yang sesuai, agar tidak terjadi degradasi mutu untuk keuntungan jangka pendek.

Baca Juga  Prabowo Subianto Lanjutkan Lawatan dari Singapura ke Rusia: Indonesia Kian Aktif di Panggung Global

3. Subsidi & Kesetaraan

Karena sebagian besar kebutuhan masyarakat ada pada BBM subsidi (contohnya Pertalite), langkah kebijakan harus mempertimbangkan bahwa beban subsidi tidak dijadikan alasan untuk membebani konsumen secara tidak wajar. Bila impor tambahan dilakukan, biaya impor bisa lebih tinggi, dan distribusi ke daerah terpencil memiliki biaya logistik yang lebih besar. Jika mekanisme open book tidak mempertimbangkan ini, harga di daerah terpencil bisa menjadi beban besar bagi masyarakat kecil.

4. Potensi Korupsi & Kepentingan Bisnis

Transparansi penting juga agar praktek-praktek tertentu seperti penyusupan biaya tidak wajar, kolusi antara pihak-pihak distribusi, atau monopoli daerah tertentu tidak terjadi. SPBU swasta bisa menjadi alat tawar posisi jika kebijakan tidak kuat dalam regulasi dan pengawasan.

Khittah NU 1926 sebagai Landasan Etika dalam Kebijakan Energi

Jika NU berkhittah 1926, maka setiap kebijakan publik yang menyentuh masyarakat luas—termasuk distribusi energi—harus ditempatkan dalam kerangka etika dan agama: keadilan, kemaslahatan (maslahah), amanah, dan kepedulian terhadap fakir miskin serta masyarakat awam yang kurang. Kebijakan bukan hanya soal teknik, tetapi soal kehormatan, keadilan, dan pengabdian.

Analisis dari nilai-nilai Khittah:

1. Keadilan dan Kemaslahatan Umum

Khittah menuntut agar kebijakan BBM tidak diskriminatif, terutama kepada masyarakat yang tidak berkemampuan atau tinggal di wilayah terpencil. Jadi, alokasi dan distribusi harus mempertimbangkan pemerataan.

Misalnya, daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) sering mendapatkan BBM dengan harga/logistik lebih mahal. Jika proses open book mengungkap bahwa biaya untuk logistik ke daerah‐daerah tersebut memicu harga lebih tinggi, masyarakat NU sebagai jam’iyah harus mendorong agar subsidi atau regulasi mengurangi disparitas tersebut.

2. Transparansi dan Amanah

Amanah adalah nilai Islam pusat; memegang kepercayaan publik. Open book adalah salah satu bentuk amanah jika dilaksanakan dengan benar. Jika tidak, akan timbul mistrust masyarakat, terutama di kalangan yang sudah merasakan ketidakadilan panjang dalam distribusi sumber daya.

3. Peran Ulama dan Organisasi Sosial dalam Pengawasan

Salah satu aspek Khittah adalah bahwa NU sebagai organisasi sosial-keagamaan memiliki peran moral dan sosial dalam mengawasi kebijakan publik. Ulama dan warga NU bisa menjadi pengawas independen: meneliti, memberi masukan, atau kritik terhadap pelaksanaan distribusi BBM.

Selain itu, pendidikan pesantren dapat menjadi sarana untuk menyebarkan pemahaman tentang hak dan kewajiban warga terkait energi, subsidi, dan transparansi.

Potensi Manfaat dan Tantangan dari Kebijakan Pemerintah & Rekomendasi Khittah-Berbasis

Setiap kebijakan besar punya sisi manfaat dan tantangan. Jika dikelola dengan benar, kebijakan seperti ini bisa membawa kebaikan yang signifikan. Tetapi jika diabaikan aspek‐nilai dan pengawasan, bisa menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpercayaan. Dalam bingkai Khittah NU, rekomendasi harus berpijak pada nilai organisasi dan kepentingan rakyat banyak.

Baca Juga  Breaking News: Menteri PANRB Ungkap Kenaikan Gaji PNS 2025, Simak Detailnya!

Potensi Manfaat:

  • Efisiensi distribusi dan pengurangan biaya tersembunyi, bila open book berjalan dengan baik dan birokrasi logistik dioptimalkan.
  • Menjaga stabilitas harga di konsumen, khususnya masyarakat bersubsidi, agar tidak terbebani oleh markup atau biaya distribusi yang berlebihan.
  • Peningkatan ketahanan energi, melalui impor tambahan yang disiapkan sebagai cadangan jika stok domestik tertekan.
  • Penguatan kredibilitas pemerintah dan BUMN, jika transparansi dan akuntabilitas dijaga, yang berpotensi meningkatkan kepercayaan publik.

Tantangan:

  • Implementasi transparansi: tidak semua pihak siap menyediakan data keuangan dan biaya distribusi secara jelas. Ada resistensi karena potensi kehilangan “keuntungan tersembunyi”.
  • Regulasi & pengawasan yang lemah: jika standar dan regulasi tidak dipatuhi atau pengawasan tidak kuat—baik pemerintah maupun partai/pihak swasta—maka kebijakan bisa gagal memenuhi tujuan di lapangan.
  • Biaya logistik dan distribusi ke daerah terpencil yang tinggi: biaya transport BBM ke daerah 3T sering jauh lebih tinggi, dan ini harus diperhitungkan agar harga tidak memberatkan.
  • Potensi politik dan korporasi memanfaatkan situasi, terutama jika SPBU swasta memiliki jaringan politik atau bisnis yang kuat dan bisa mempengaruhi regulasi atau alokasi secara tidak adil.

Rekomendasi Khittah-Berbasis:

  • Patenkan regulasi open book secara legal, sehingga bukan hanya komitmen verbal, tetapi ada kewajiban hukum bagi Pertamina / SPBU swasta / badan usaha terkait untuk melaporkan seluruh biaya distribusi dan mark up harga.
  • Libatkan masyarakat NU, pesantren, dan organisasi kemasyarakatan sebagai mekanisme pengawas publik: misalnya melalui forum-forum perwakilan warga NU di berbagai daerah untuk menerima laporan, mengaudit lokal, atau setidaknya mendapatkan data distribusi BBM per kabupaten/kota.
  • Subsidi diferensial berdasarkan wilayah & kemampuan masyarakat, dijamin oleh negara agar kawasan terpencil tidak selalu membayar lebih tinggi. Ini sesuai dengan prinsip kemaslahatan umum dalam Khittah.
  • Peningkatan infrastruktur distribusi, misalnya depot BBM regional, untuk mengurangi biaya logistik, dan memperkuat mutu serta keamanan layanan.
  • Pendidikan dan literasi energi di masyarakat NU (melalui pesantren, pengajian, media NU) agar masyarakat memahami haknya sebagai konsumen dan pentingnya transparansi.

Integrasi Kebijakan dengan Spirit Khittah NU 1926

Dalam Khittah NU 1926, Nahdlatul Ulama berdiri sebagai jam’iyah sosial-keagamaan dengan tanggung jawab moral terhadap masyarakat, mengedepankan keadilan, kemaslahatan, toleransi, amanah, dan tanggung jawab publik. Berita tentang pendistribusian BBM ke SPBU swasta, dengan mekanisme terbuka, alokasi hingga akhir tahun, impor tambahan, dan menjaga mutu, jika dijalankan sesuai janji, bisa sangat konsisten dengan garis Khittah tersebut.

Namun, janji saja tidak cukup. Implementasinya harus diukur, diawasi, regulasinya ditegakkan, dan masyarakat, termasuk warga NU, harus ikut mengawasi agar kebijakan ini benar-benar tidak menjadi alat kekuasaan atau keuntungan bisnis semata, tetapi benar-benar untuk kemaslahatan rakyat banyak.

Kelak, upaya seperti ini—bila dijalankan dengan integritas—bisa menjadi model bagaimana kebijakan energi di Indonesia bukan hanya soal teknik dan ekonomi, tapi soal keagamaan dan moral: bahwa energi adalah hak dasar, dan negara serta BUMN adalah pengelola yang harus adil dan transformatif. Ini adalah spirit Khittah NU 1926: organisasi yang berkhidmah, berjuang bukan untuk kepentingan politik jangka pendek, tetapi untuk kepentingan rakyat dan kemaslahatan bersama.

Leave a Reply