Bagian 2: Paradigma Pendidikan Nusantara dalam Bingkai Khittah NU 1926

Membangun pendidikan inklusif berbasis kearifan lokal Nusantara sesuai Khittah NU 1926: persatuan, ukhuwah, dan kasih sayang.

Mondok Yu5 Views
Asrama Al Barri Ponpes Gedongan Cirebon
Asrama Al Barri Ponpes Gedongan Cirebon

[Cirebonrayajeh.com – Mondok Yu] Tahun 1926, Nahdlatul Ulama (NU) lahir sebagai organisasi keagamaan dan sosial-budaya yang membawa misi besar: menjaga Islam Ahlussunnah wal Jama’ah di Nusantara sekaligus mengawal harmoni kebangsaan. Salah satu rumusan penting yang hingga kini menjadi pedoman adalah kalimat khittah NU 1926:

“Persatuan, ikatan bathin, saling bantu-membantu dan kesatuan merupakan prasyarat dari tumbuhnya tali persaudaraan (al-ukhuwah) dan kasih sayang yang menjadi landasan bagi terciptanya tata kemasyarakatan yang baik dan harmonis.”

Kalimat ini tidak hanya relevan untuk konteks sosial-politik, melainkan juga sangat fundamental dalam bidang pendidikan. Pendidikan sejatinya bukan sekadar upaya transfer ilmu, tetapi juga pembentukan ikatan batin, persaudaraan, dan kasih sayang yang melahirkan manusia beradab.

Ki Hajar Dewantara (1935) pernah menegaskan, “Pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, maksudnya menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.” Pandangan ini sejalan dengan khittah NU 1926, di mana persatuan dan kasih sayang menjadi syarat terciptanya tata masyarakat yang harmonis.

Identifikasi Masalah dalam Pendidikan Nusantara

Sebelum membicarakan solusi, kita perlu jujur melihat problematika pendidikan di Indonesia. Banyak persoalan bukan hanya teknis, tetapi juga filosofis: bagaimana arah pendidikan kita membentuk manusia dan masyarakat. Tanpa pemahaman akar masalah, paradigma pendidikan Nusantara berbasis khittah NU 1926 akan sulit diwujudkan.

Krisis Individualisme dalam Dunia Pendidikan

Modernisasi dan globalisasi membawa tantangan serius. Nilai kompetisi sering lebih diutamakan daripada kolaborasi. Sekolah sibuk mengukur prestasi siswa lewat angka, ranking, dan ujian, sehingga solidaritas sosial kian terkikis.

Padahal, khittah NU 1926 dengan tegas menegaskan bahwa “persatuan, ikatan bathin, saling bantu-membantu dan kesatuan” adalah prasyarat lahirnya persaudaraan. Ketika pendidikan hanya menekankan aspek individual, maka nilai ukhuwah pun merosot. John Dewey (1916) dalam Democracy and Education mengingatkan, pendidikan seharusnya melatih anak hidup dalam demokrasi sosial, bukan sekadar berkompetisi secara individual.

Keterputusan Antara Pendidikan dan Kebudayaan Lokal

Kurikulum nasional masih cenderung seragam dan berorientasi pada standar global, sementara kearifan lokal kurang mendapat tempat. Hal ini membuat generasi muda semakin jauh dari tradisi luhur Nusantara yang menekankan gotong royong, musyawarah, dan tepa selira.

Clifford Geertz (1960) dalam The Religion of Java menyoroti peran pesantren sebagai benteng tradisi. Pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menumbuhkan ikatan batin antara kiai, santri, dan masyarakat. Sayangnya, nilai luhur seperti inilah yang tergerus ketika pendidikan formal memutus diri dari akar budaya.

Lemahnya Ikatan Bathin dalam Komunitas Pendidikan

Hubungan guru dan murid kerap menjadi formal dan transaksional. Ikatan emosional dan spiritual semakin lemah. Data PISA 2018 menunjukkan bahwa rasa memiliki siswa terhadap sekolah di Indonesia masih rendah, dengan skor di bawah rata-rata OECD. Ini berarti banyak siswa yang tidak merasa sekolah adalah rumah kedua mereka.

Padahal, khittah NU 1926 sudah menekankan pentingnya “ikatan bathin” sebagai fondasi kehidupan sosial. Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed menegaskan bahwa pendidikan tanpa hubungan dialogis hanyalah mekanisme kognitif, bukan transformasi kemanusiaan.

Paradigma Pendidikan Nusantara: Warisan Khittah NU 1926

Khittah NU 1926 memuat kalimat fundamental yang terus relevan sepanjang zaman:

“Persatuan, ikatan bathin, saling bantu-membantu dan kesatuan merupakan prasyarat dari tumbuhnya tali persaudaraan (al-ukhuwah) dan kasih sayang yang menjadi landasan bagi terciptanya tata kemasyarakatan yang baik dan harmonis.”

Kalimat ini tidak lahir dalam ruang kosong, melainkan berakar pada realitas sosial Nusantara yang plural: masyarakat dengan ratusan suku, bahasa daerah, tradisi, serta keragaman agama dan kepercayaan. Karena itu, paradigma pendidikan Nusantara yang bersumber dari khittah NU harus dipahami sebagai proyek peradaban yang merawat keberagaman, bukan menyeragamkan.

Pendidikan sebagai Penguat Persatuan dan Ikatan Bathin

Di tanah air, persatuan tidak pernah berarti keseragaman, melainkan kesediaan untuk hidup dalam perbedaan. Sejarah bangsa kita membuktikan bahwa pluralitas adalah kekayaan, bukan ancaman. Pendidikan Nusantara harus menjadi ruang untuk menanamkan kesadaran bahwa kebhinnekaan adalah bagian dari kodrat bangsa.

Khittah NU 1926 mengajarkan bahwa persatuan dan ikatan bathin adalah syarat munculnya al-ukhuwah (persaudaraan). Dalam konteks Nusantara, ukhuwah ini mencakup ukhuwah Islamiyah (persaudaraan antar-Muslim), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan lintas agama dan etnis), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan universal sesama manusia). Dengan demikian, paradigma pendidikan Nusantara bukan eksklusif hanya untuk kalangan Muslim, tetapi dapat menjadi etos bersama bagi semua kepercayaan.

Misalnya, tradisi mapalus di Minahasa (Sulawesi Utara) yang berakar dari budaya Kristen lokal menekankan kebersamaan dalam bertani; subak di Bali yang lahir dari filosofi Hindu Tri Hita Karana mengajarkan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama; serta gotong royong di Jawa yang sarat dengan nilai Islam dan budaya lokal. Semua tradisi ini menunjukkan bahwa pendidikan dapat menjadi sarana memperkuat ikatan batin antar komunitas yang berbeda latar agama maupun budaya.

Baca Juga  Metode Bandongan: Tradisi Keilmuan Pesantren yang Terus Relevan

Pendidikan Berbasis Gotong Royong dan Saling Membantu

Khittah NU menekankan saling bantu-membantu sebagai syarat terciptanya masyarakat harmonis. Dalam konteks Nusantara, nilai ini sangat selaras dengan praktik sosial berbagai suku dan budaya.

Di Papua, dikenal tradisi barapen (bakar batu) yang tidak hanya sekadar acara makan bersama, tetapi juga simbol kerjasama kolektif dalam membangun relasi sosial. Di Aceh, praktik meuseuraya (gotong royong membangun rumah atau fasilitas umum) menjadi manifestasi solidaritas sosial. Semua ini adalah contoh konkret bagaimana pendidikan dapat mengambil inspirasi dari tradisi lokal untuk menginternalisasi nilai kebersamaan dalam diri peserta didik.

Dengan mengintegrasikan nilai-nilai budaya tersebut ke dalam kurikulum dan praktik pembelajaran, pendidikan Nusantara akan melahirkan generasi yang tidak hanya pintar secara akademik, tetapi juga memiliki sensitivitas sosial dan kepedulian pada sesama.

Pendidikan yang Berakar pada Kearifan Lokal

Zamakhsyari Dhofier (1982) mencatat bahwa pesantren menjadi lembaga pendidikan yang bukan hanya mengajarkan agama, tetapi juga merawat nilai budaya Nusantara. Relasi kiai–santri yang dilandasi kasih sayang menjadi model pedagogi khas Indonesia yang mampu bertahan berabad-abad. Namun, kearifan lokal tidak hanya hidup di pesantren.

Di masyarakat adat Dayak, pendidikan nilai-nilai kehidupan ditanamkan melalui cerita rakyat, ritual adat, dan interaksi dengan alam. Sementara di Maluku, filosofi pela gandong (persaudaraan lintas desa, bahkan lintas agama) menjadi kurikulum sosial yang menanamkan kesadaran kebersamaan sejak dini.

Semua contoh ini menunjukkan bahwa paradigma pendidikan Nusantara yang bersumber dari khittah NU 1926 bersifat inklusif, mampu merangkul seluruh keragaman suku, agama, dan budaya. Pendidikan tidak boleh memutus anak bangsa dari akar budayanya. Sebaliknya, ia harus menjadikan keberagaman sebagai sumber kekuatan untuk membangun masyarakat harmonis.

Integrasi Agama dan Pluralitas dalam Pendidikan Nusantara

Islam dalam tradisi NU sendiri mengajarkan prinsip tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), dan i’tidal (keadilan). Nilai-nilai ini sangat cocok menjadi fondasi dalam merespons pluralitas Nusantara. Pendidikan yang berbasis khittah NU 1926 tidak hanya membentuk Muslim yang taat, tetapi juga warga bangsa yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain.

Contohnya, di Yogyakarta, sekolah-sekolah NU tidak jarang menerima murid non-Muslim, dan mereka diberi ruang untuk tetap menjalankan keyakinan masing-masing. Hal ini membuktikan bahwa paradigma pendidikan Nusantara mampu berjalan di atas prinsip inklusivitas dan menghormati keragaman.

Dengan demikian, pendidikan Nusantara yang berakar pada khittah NU 1926 dapat menjadi jalan tengah: berakar kuat pada nilai-nilai keagamaan, sekaligus terbuka pada pluralitas budaya dan keyakinan yang membentang dari Sabang hingga Merauke.

Tabel Perbandingan Tradisi Persaudaraan (Ukhuwah) di Nusantara

Daerah/Suku Tradisi Lokal Latar Kepercayaan/Agama Nilai yang Ditekankan Relevansi dengan Khittah NU 1926
Jawa Gotong Royong Islam & budaya Jawa Kebersamaan, solidaritas sosial, musyawarah Saling bantu-membantu dan kesatuan sebagai dasar masyarakat harmonis.
Bali Subak (sistem irigasi kolektif) Hindu Bali (Tri Hita Karana) Keseimbangan dengan alam, kerja kolektif, spiritualitas Ikatan bathin dan persatuan untuk kesejahteraan bersama.
Minahasa Mapalus Kristen lokal Minahasa Bekerja sama dalam bertani, berbagi hasil, solidaritas komunitas Saling bantu-membantu sebagai prasyarat terciptanya persaudaraan.
Maluku Pela Gandong Islam & Kristen (adat Maluku) Persaudaraan lintas agama dan desa, ikatan sosial Al-ukhuwah lintas iman dan kasih sayang antar komunitas.
Aceh Meuseuraya Islam Aceh Gotong royong membangun rumah/masjid, solidaritas sosial Kesatuan dan persatuan dalam membangun masyarakat.
Papua Barapen (bakar batu) Kepercayaan lokal Papua Kebersamaan, distribusi makanan, solidaritas antarkelompok Ikatan bathin dan kasih sayang lewat berbagi makanan bersama.
Minangkabau Badoncek (arisan tradisional) Islam Minang & adat matrilineal Saling menopang ekonomi keluarga/komunitas Persatuan dalam menghadapi beban ekonomi bersama.
Dayak Hudoq & Ritual Adat Kepercayaan Kaharingan (lokal) Ikatan spiritual komunitas, solidaritas melalui ritual kolektif Ikatan bathin antar anggota suku dan dengan alam.

Tabel ini memperlihatkan bahwa nilai “Persatuan, ikatan bathin, saling bantu-membantu, dan kesatuan” yang tertulis dalam khittah NU 1926 sejatinya sudah hidup dalam tradisi Nusantara lintas agama dan budaya. Dengan demikian, paradigma pendidikan Nusantara dapat mengambil inspirasi langsung dari kearifan lokal tersebut untuk merancang kurikulum, metode belajar, dan ekosistem pendidikan yang harmonis.

Analisis Sintesis: Benang Merah Tradisi Nusantara dalam Bingkai Khittah NU 1926

Jika kita amati secara mendalam, berbagai tradisi lokal yang tersebar di Nusantara—mulai dari gotong royong di Jawa, subak di Bali, pela gandong di Maluku, hingga barapen di Papua—memiliki ruh yang sama: membangun kehidupan sosial yang berlandaskan persatuan, ikatan batin, dan kasih sayang. Ruh inilah yang senada dengan kalimat Khittah NU 1926:

“Persatuan, ikatan bathin, saling bantu-membantu dan kesatuan merupakan prasyarat dari tumbuhnya tali persaudaraan (al-ukhuwah) dan kasih sayang yang menjadi landasan bagi terciptanya tata kemasyrakatan yang baik dan harmonis.”

1. Persatuan dalam Ragam

Meski tradisi berbeda-beda—dari agama Hindu Bali hingga Islam Aceh, dari Kristen Minahasa hingga kepercayaan lokal Papua—seluruhnya menekankan persatuan sebagai syarat utama keberlangsungan hidup komunitas. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Nusantara memiliki kesadaran kolektif lintas iman bahwa kehidupan yang tercerai-berai tidak akan membawa kebaikan.

Baca Juga  Spiritulitas dan Nasionalisme NU kepada Bangsa: Pilar Utama yang Menjaga Indonesia Tetap Kokoh!

2. Ikatan Batin sebagai Fondasi Sosial

Ikatan batin atau spiritualitas menjadi elemen penting yang menyatukan komunitas. Dalam subak, misalnya, petani tidak hanya berbagi air secara teknis, tetapi juga merasa terikat oleh ajaran Tri Hita Karana yang menekankan harmoni dengan Tuhan, sesama, dan alam. Hal ini serupa dengan ukhuwah bathiniyah dalam tradisi Islam yang menekankan ikatan hati antar manusia.

3. Saling Bantu-Membantu sebagai Budaya Universal

Hampir semua tradisi lokal memiliki bentuk gotong royong—baik membangun rumah (Aceh: meuseuraya), bertani bersama (Minahasa: mapalus), hingga berbagi makanan (Papua: barapen). Tradisi ini menegaskan bahwa nilai tolong-menolong bukan sekadar etika sosial, tetapi juga praktik hidup sehari-hari yang membangun daya tahan komunitas.

4. Kasih Sayang sebagai Landasan Keharmonisan

Tradisi Nusantara tidak hanya bersifat fungsional, tetapi juga emosional. Misalnya, dalam pela gandong di Maluku, ikatan persaudaraan lintas desa dan agama menumbuhkan rasa kasih sayang yang melampaui perbedaan identitas. Inilah yang ditegaskan Khittah NU 1926: kasih sayang bukan sekadar perasaan pribadi, tetapi pondasi peradaban harmonis.

Implikasi bagi Paradigma Pendidikan Nusantara

Dari sintesis ini, jelas bahwa pendidikan Nusantara tidak bisa dilepaskan dari kearifan lokal yang mengakar. Pendidikan tidak hanya mengajarkan pengetahuan kognitif, tetapi juga menumbuhkan:

  • Kesadaran persatuan di tengah keberagaman suku, agama, dan budaya.
  • Ikatan batin antara peserta didik dengan masyarakat dan lingkungannya.
  • Budaya tolong-menolong dalam kegiatan pembelajaran berbasis kolaborasi.
  • Kasih sayang sebagai etika dasar interaksi sosial di sekolah maupun masyarakat.

Paradigma pendidikan semacam ini tidak hanya melahirkan individu yang cerdas secara akademik, tetapi juga membentuk generasi yang memiliki jati diri Nusantara, yakni generasi yang kuat dalam keilmuan, matang dalam spiritualitas, dan bijak dalam membangun kehidupan sosial yang harmonis.

Solusi dan Rekomendasi Implementasi Paradigma Pendidikan Nusantara

Paradigma pendidikan Nusantara yang digali dari Khittah NU 1926 menegaskan bahwa “persatuan, ikatan bathin, saling bantu-membantu, dan kesatuan merupakan prasyarat dari tumbuhnya tali persaudaraan (al-ukhuwah) dan kasih sayang yang menjadi landasan bagi terciptanya tata kemasyrakatan yang baik dan harmonis.” Kalimat ini bukan hanya etika sosial, tetapi juga pedoman filosofis bagi dunia pendidikan.

Di tengah realitas Indonesia yang dihuni oleh lebih dari 1.340 suku bangsa, 700 bahasa daerah, dan berbagai agama serta kepercayaan, paradigma ini memberi arah bahwa pendidikan harus menjadi ruang pemersatu, bukan pemisah. Solusi yang ditawarkan tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga operasional melalui integrasi ke dalam kurikulum, pedagogi, hingga kebijakan pendidikan nasional.

1. Merancang Kurikulum Inklusif Berbasis Keberagaman

Solusi: Kurikulum harus membuka ruang untuk mengangkat kearifan lokal dari setiap daerah, baik berupa nilai agama, adat, maupun tradisi.

  • Di sekolah di Jawa, siswa bisa belajar tentang gotong royong dan musyawarah desa.
  • Di Bali, siswa belajar dari sistem subak sebagai contoh nyata manajemen sumber daya berbasis spiritualitas Hindu.
  • Di Maluku, nilai pela gandong bisa diintegrasikan dalam pelajaran PPKn sebagai model persaudaraan lintas agama.

Rekomendasi:

  • Kementerian Pendidikan dan lembaga pendidikan NU dapat menyusun modul tematik Nusantara yang berisi praktik kearifan lokal setiap daerah, lalu diintegrasikan dalam mata pelajaran nasional.
  • Setiap sekolah diberi kebebasan untuk menyesuaikan sesuai konteks budaya lokalnya.

2. Pedagogi Berbasis Kolaborasi dan Gotong Royong

Solusi: Metode pembelajaran tidak boleh hanya individualistik, tetapi harus memberi ruang untuk cooperative learning ala gotong royong Nusantara.

  • Contoh: Proyek kelas di SMP Minahasa bisa menggunakan mapalus (kerja sama bertani) sebagai model belajar kolaboratif.
  • Di Papua, praktik barapen (bakar batu) bisa dijadikan simbol pembelajaran berbagi dan distribusi adil.

Rekomendasi:

  • Guru dilatih untuk mendesain model pembelajaran yang menekankan tugas kelompok, proyek sosial, dan refleksi bersama.
  • Sekolah NU dapat menjadikan “kelas kolaboratif” sebagai ciri khas, di mana setiap siswa dilatih menginternalisasi nilai ukhuwah lewat pengalaman nyata.

3. Pendidikan Lintas Agama dan Budaya sebagai Laboratorium Persaudaraan

Solusi: Pendidikan harus menjadi ruang aman untuk mengenalkan keragaman iman dan budaya.

  • Sekolah di Cirebon, misalnya, dapat mengadakan Festival Persaudaraan Nusantara yang melibatkan pesantren, gereja, pura, dan klenteng.
  • Di Ambon, praktik pela gandong bisa diajarkan sebagai contoh nyata toleransi yang lahir dari kearifan lokal.

Rekomendasi:

  • Membentuk program pertukaran siswa lintas sekolah berbasis agama, misalnya santri NU belajar toleransi di sekolah Kristen, atau sebaliknya.
  • Menjadikan tradisi lintas budaya sebagai case study dalam pelajaran agama, sehingga siswa belajar bahwa perbedaan bukan ancaman, melainkan kekayaan.

4. Integrasi Spiritualitas dan Ikatan Batin dalam Pendidikan

Solusi: Pendidikan tidak hanya kognitif, tetapi juga harus membentuk dimensi spiritual dan emosional siswa.

  • Dalam Islam, nilai ukhuwah diajarkan melalui halaqah dan tadarus.
  • Dalam Hindu-Bali, harmoni diajarkan melalui Tri Hita Karana.
  • Dalam tradisi lokal Dayak, ikatan batin diwujudkan dalam ritual bersama yang menumbuhkan rasa memiliki komunitas.

Rekomendasi:

  • Setiap sekolah dapat membangun ruang refleksi lintas agama (halaqah, renungan, meditasi) sesuai tradisi masing-masing siswa.
  • Guru difasilitasi untuk menjadi role model spiritualitas sosial, bukan hanya pengajar materi.
Baca Juga  Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam NU: Prinsip, Mazhab, dan Implementasinya

5. Program Aksi Sosial sebagai Pendidikan Kasih Sayang

Solusi: Pendidikan harus menghubungkan siswa dengan realitas sosial masyarakat.

  • Siswa SMA di Aceh bisa diajak ikut meuseuraya (gotong royong membangun masjid).
  • Di Minangkabau, siswa dapat terlibat dalam badoncek (arisan tradisional) untuk membantu masyarakat miskin.
  • Di Papua, siswa bisa berpartisipasi dalam tradisi barapen untuk membagi makanan secara adil.

Rekomendasi:

  • Membuat program service learning di mana siswa wajib mengabdi ke masyarakat sesuai konteks lokal.
  • Mengintegrasikan nilai kasih sayang dalam kegiatan ekstrakurikuler, misalnya melalui bakti sosial lintas agama.

6. Penguatan Kebijakan Pendidikan Berbasis Khittah NU 1926

Solusi: Agar paradigma ini berkelanjutan, perlu ada kebijakan yang mengikat.

  • NU melalui LP Ma’arif dapat mendorong “Standar Pendidikan Rahmah” yang berbasis ukhuwah, kasih sayang, dan keberagaman.
  • Pemerintah dapat mengakui modul kearifan lokal sebagai bagian kurikulum nasional.

Rekomendasi:

  • Membentuk Forum Pendidikan Nusantara lintas agama dan budaya yang merumuskan kurikulum berbasis nilai lokal.
  • Menjadikan Khittah NU 1926 sebagai rujukan etis nasional dalam merancang kebijakan pendidikan yang inklusif.

Paradigma pendidikan Nusantara yang berangkat dari Khittah NU 1926 bukan sekadar idealisme, tetapi solusi konkret untuk membangun pendidikan yang inklusif, humanis, dan harmonis. Dari Aceh hingga Papua, dari Islam hingga Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, maupun kepercayaan lokal—semua memiliki tradisi persaudaraan, kasih sayang, dan gotong royong.

Dengan mengintegrasikan nilai-nilai tersebut ke dalam kurikulum, pedagogi, kegiatan sosial, dan kebijakan pendidikan, Indonesia akan melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berjiwa Nusantara: bersatu dalam keberagaman, berakar dalam budaya, dan berorientasi pada kasih sayang universal.

Pendidikan Nusantara sebagai Jalan Menuju Tata Masyarakat Harmonis

Khittah NU 1926 adalah warisan berharga yang relevan sepanjang zaman. Kalimatnya menegaskan:

“Persatuan, ikatan bathin, saling bantu-membantu dan kesatuan merupakan prasyarat dari tumbuhnya tali persaudaraan (al-ukhuwah) dan kasih sayang yang menjadi landasan bagi terciptanya tata kemasyarakatan yang baik dan harmonis.”

Inilah fondasi yang seharusnya menggerakkan sistem pendidikan kita. Pendidikan tidak boleh berhenti pada pencapaian akademik, melainkan harus membentuk manusia yang beradab, penuh kasih sayang, dan mampu hidup bersama dalam keberagaman.

Dengan paradigma pendidikan Nusantara berbasis khittah NU 1926, kita dapat melahirkan generasi yang tidak tercerabut dari akar budaya, tidak kehilangan jati diri, namun tetap siap menghadapi tantangan global. Pendidikan bukan hanya jalan menuju kecerdasan, melainkan jalan menuju persaudaraan, solidaritas, dan harmoni sosial.

Contoh Roadmap Implementasi Paradigma Pendidikan Nusantara

Visi Utama: Mewujudkan pendidikan Nusantara yang berbasis persatuan, ikatan batin, saling bantu-membantu, dan kasih sayang (Khittah NU 1926), yang mampu melahirkan generasi cerdas, berkarakter, dan harmonis dalam keberagaman.

1. Jangka Pendek (1–2 Tahun) – Pondasi Kesadaran

Tujuan: membangun pemahaman bersama tentang paradigma pendidikan Nusantara dan memperkenalkan nilai-nilai Khittah NU 1926 dalam konteks sekolah.

Kurikulum & Pembelajaran

  • Menyusun modul tematik berbasis kearifan lokal (misalnya: gotong royong, subak, pela gandong).
  • Mengintegrasikan tema ukhuwah, kasih sayang, dan persatuan ke dalam mata pelajaran PPKn, Agama, dan IPS.

Guru & Tenaga Pendidik

  • Pelatihan guru tentang metode cooperative learning ala Nusantara (gotong royong, mapalus, barapen).
  • Workshop reflektif lintas agama dan budaya untuk meningkatkan sensitivitas sosial guru.

Siswa & Lingkungan Belajar

  • Mengadakan Festival Budaya Nusantara tahunan di sekolah.
  • Program aksi sosial kecil-kecilan, seperti kelas peduli tetangga (siswa membantu warga sekitar).

2. Jangka Menengah (3–5 Tahun) – Penguatan Sistem

Tujuan: memperkuat kelembagaan pendidikan agar mampu menjalankan paradigma Nusantara secara berkelanjutan.

Kurikulum & Pembelajaran

  • Menyusun buku ajar nasional berbasis nilai Khittah NU 1926, dengan studi kasus dari berbagai daerah.
  • Implementasi service learning lintas budaya (misalnya siswa NU belajar dengan komunitas Kristen Minahasa, atau Hindu Bali).

Guru & Tenaga Pendidik

  • Sertifikasi guru “Pendidikan Nusantara Inklusif”.
  • Pertukaran guru antar daerah (misalnya guru pesantren di Jawa mengajar sebulan di Papua, dan sebaliknya).

Siswa & Lingkungan Belajar

  • Program pertukaran siswa lintas sekolah NU dan non-NU di seluruh Nusantara.
  • Pendirian Laboratorium Persaudaraan Nusantara di sekolah—ruang dialog, seni, dan penelitian kearifan lokal.

3. Jangka Panjang (6–10 Tahun) – Transformasi Nasional

Tujuan: menjadikan paradigma pendidikan Nusantara sebagai rujukan etis dan pedagogis bagi kebijakan pendidikan nasional.

Kurikulum & Pembelajaran

  • Integrasi paradigma Nusantara ke dalam Kurikulum Nasional sebagai standar wajib (seperti Pancasila & Profil Pelajar Pancasila).
  • Pendirian pusat studi Pendidikan Nusantara di perguruan tinggi NU dan negeri.

Guru & Tenaga Pendidik

  • Pengembangan Universitas Pendidikan Nusantara berbasis NU, fokus pada pedagogi multikultural dan inklusif.
  • Penelitian dan publikasi internasional tentang model pendidikan Nusantara.

Siswa & Lingkungan Belajar

  • Generasi muda Nusantara menjadi duta perdamaian lintas agama dan budaya di ASEAN.
  • Sekolah dan pesantren NU diakui sebagai model pendidikan multikultural dunia.

Ringkasan Roadmap dalam Tabel

Tahap Fokus Utama Contoh Implementasi
Jangka Pendek (1–2 thn) Kesadaran nilai Khittah NU 1926 Festival budaya, modul kearifan lokal, pelatihan guru.
Jangka Menengah (3–5 thn) Penguatan sistem kelembagaan Sertifikasi guru inklusif, pertukaran siswa, laboratorium persaudaraan.
Jangka Panjang (6–10 thn) Transformasi nasional & global Integrasi ke kurikulum nasional, pusat studi Nusantara, diplomasi budaya.

Dengan roadmap ini, implementasi paradigma pendidikan Nusantara tidak berhenti pada wacana, tetapi bisa bertahap, terukur, dan berkesinambungan. Ia dimulai dari ruang kelas kecil, berkembang menjadi sistem pendidikan NU yang kuat, dan pada akhirnya memberi kontribusi besar pada pendidikan nasional serta dunia.

Leave a Reply