Mengenal Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah: Warisan Keilmuan Imam Asy’ari dan Maturidi

Menelusuri konsep dasar Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang dianut Nahdlatul Ulama melalui pemikiran Imam Asy’ari dan Imam Maturidi.

NU Sejati1427 Views

Cirebonrayajeh.com – Aqidah adalah fondasi utama dalam Islam, menentukan bagaimana seorang Muslim memahami dan meyakini keberadaan serta sifat-sifat Allah. Dalam perjalanan sejarah, berbagai pemikiran teologi berkembang, tetapi Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) tetap menjadi arus utama yang dipegang teguh oleh mayoritas umat Islam, termasuk Nahdlatul Ulama (NU).

Nahdlatul Ulama mengikuti manhaj Aswaja dengan merujuk pada pemikiran Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi, dua tokoh besar yang meletakkan dasar pemikiran Islam yang moderat, seimbang antara akal dan wahyu. Pemikiran mereka menjadi benteng bagi umat Islam dari paham ekstrem, baik yang terlalu rasional maupun yang tekstualis.

Namun, bagaimana sebenarnya konsep aqidah yang mereka bangun? Mengapa pemikiran mereka tetap relevan di era modern? Dan bagaimana Aswaja NU menjaga keseimbangan di tengah dinamika pemikiran Islam?

Artikel ini akan mengajak Anda menyelami warisan keilmuan Imam Asy’ari dan Imam Maturidi, memahami prinsip dasar Aqidah Aswaja, serta relevansinya bagi umat Islam masa kini.

Siapkan diri Anda untuk menggali pemahaman mendalam yang tidak lekang oleh waktu! 🚀

Definisi & Konsep Utama Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja)

Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) merupakan pemahaman Islam yang berpegang teguh pada ajaran Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya, serta diwariskan oleh ulama-ulama besar yang menjaga keseimbangan antara dalil naqli (wahyu) dan dalil aqli (akal sehat). Aswaja menjadi arus utama (mainstream) dalam Islam dan tetap eksis hingga kini karena fleksibilitas dan moderasinya dalam menghadapi berbagai tantangan zaman.

1. Definisi Ahlussunnah Wal Jama’ah

Apa Itu Ahlussunnah Wal Jama’ah? Secara harfiah, Ahlussunnah Wal Jama’ah terdiri dari tiga kata:

  • Ahl → berarti golongan atau kelompok
  • Sunnah → berarti ajaran, tradisi, dan tuntunan Rasulullah ﷺ
  • Jama’ah → berarti kelompok mayoritas umat Islam yang berpegang teguh pada sunnah dan bersatu dalam keyakinan yang benar

Jadi, Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah golongan umat Islam yang mengikuti ajaran Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya, serta menjaga persatuan dalam Islam.

🔹 Tokoh utama yang merumuskan konsep ini:

✅ Imam Abul Hasan al-Asy’ari (874–936 M) → Pendiri Asy’ariyah
✅ Imam Abu Manshur al-Maturidi (853–944 M) → Pendiri Maturidiyah

2. Konsep Utama Ahlussunnah Wal Jama’ah

Ahlussunnah Wal Jama’ah memiliki konsep utama yang membedakannya dari aliran-aliran lain dalam Islam. Konsep ini merupakan prinsip dasar yang menjadikan Aswaja tetap relevan sepanjang zaman.

2.1. Jalan Tengah dalam Berpikir

Aswaja menolak ekstremitas dalam pemahaman Islam. Ada dua kelompok yang berkembang di luar Aswaja:

  • Mu’tazilahTerlalu rasional, menekankan akal di atas wahyu.
  • Salafi-WahabiTerlalu tekstualis, menolak peran akal dalam memahami agama.

🔹 Aswaja mengambil jalan tengah, di mana akal digunakan tetapi tetap tunduk pada wahyu.

2.2. Keseimbangan antara Akal dan Wahyu

Dalam memahami Islam, Aswaja menggunakan pendekatan:

  • Dalil Naqli (Wahyu) → Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber utama
  • Dalil Aqli (Akal) → Digunakan untuk memahami wahyu secara lebih luas dan kontekstual

🔹 Contoh penerapannya: Dalam memahami sifat-sifat Allah, Aswaja menolak pemahaman yang terlalu tekstual (tajsim) dan yang terlalu rasional (ta’thil). Mereka menerima bahwa Allah memiliki sifat, tetapi sifat-Nya tidak menyerupai makhluk.

2.3. Prinsip Moderasi dalam Agama

Aswaja mengajarkan 4 prinsip utama dalam kehidupan beragama:

Prinsip Penjelasan
Tawassuth (Moderat) Tidak condong ke ekstremisme, baik dalam pemikiran maupun praktik agama.
Tawazun (Seimbang) Menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, serta akal dan wahyu.
Tasamuh (Toleran) Menghormati perbedaan pendapat dan tidak mudah mengafirkan orang lain.
I’tidal (Adil) Bersikap adil dalam setiap aspek kehidupan, baik dalam beragama maupun bermasyarakat.

🔹 Contoh penerapannya:

  • Dalam fiqih, Aswaja tidak fanatik terhadap satu mazhab, tetapi tetap mengikuti mazhab yang sudah mapan seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
  • Dalam akhlak, Aswaja mengutamakan tasamuh (toleransi) dalam berinteraksi dengan sesama Muslim maupun non-Muslim.

3. Kekuatan dan Kelemahan Ahlussunnah Wal Jama’ah

Tidak ada sistem pemikiran yang sempurna. Meskipun Aswaja memiliki banyak keunggulan, tetap ada tantangan dan kelemahan yang harus dihadapi dalam perkembangannya.

Aspek Kekuatan Kelemahan
Metodologi Pemikiran Moderat, menyeimbangkan akal dan wahyu, dapat diterima oleh mayoritas umat Islam. Sulit diterima oleh kelompok yang cenderung ekstrem dalam berpikir.
Relevansi di Zaman Modern Fleksibel dalam menghadapi perubahan zaman tanpa kehilangan esensi Islam. Tantangan dalam menghadapi ideologi radikal dan pemikiran liberal yang berkembang pesat.
Hubungan dengan Kelompok Lain Mengedepankan toleransi dan dialog antarmazhab. Sering disalahpahami oleh kelompok tekstualis atau rasional ekstrem.
Stabilitas dalam Kehidupan Beragama Menciptakan harmoni dalam kehidupan beragama, sosial, dan politik. Tantangan dalam menjaga persatuan di tengah perbedaan pemikiran.

🔹 Tantangan terbesar Aswaja di era modern

  • Serangan dari pemikiran ekstrem → baik dari radikalisme agama maupun sekularisme yang berlebihan.
  • Kurangnya pemahaman yang mendalam di kalangan umat Islam → banyak yang hanya ikut-ikutan tanpa memahami esensi Aswaja.
  • Pengaruh media sosial → hoaks dan propaganda sering kali menyerang ajaran Aswaja.

Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) adalah jalan tengah dalam Islam yang menjaga keseimbangan antara akal dan wahyu, tradisi dan inovasi, serta toleransi dan ketegasan dalam prinsip agama.

Sebagai umat Islam, memahami dan mengamalkan Aswaja adalah kunci untuk menjaga harmoni dalam keberagamaan di tengah tantangan pemikiran modern.

➡ Mari kita kuatkan pemahaman tentang Aswaja, bukan hanya sebagai warisan sejarah, tetapi sebagai pedoman hidup yang moderat dan rahmatan lil ‘alamin! 🚀

Dua Tokoh Utama: Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi

Dalam sejarah Islam, ada dua tokoh yang menjadi tonggak utama dalam merumuskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja), yaitu Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Keduanya merespons perkembangan pemikiran Islam yang saat itu diwarnai oleh dua kutub ekstrem:

  • Mu’tazilah → yang mengedepankan akal secara mutlak dan menolak sebagian sifat Allah.
  • Kaum tekstualis → yang menolak peran akal dalam memahami teks-teks agama.

Asy’ariyah dan Maturidiyah hadir sebagai jalan tengah yang tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadis, tetapi juga mengakui peran akal dalam memahami agama. Meskipun ada perbedaan dalam pendekatan mereka, keduanya tetap dalam koridor Aswaja.

Berikut adalah profil lengkap kedua imam beserta kontribusi dan perbandingan pemikirannya.

1. Imam Abul Hasan al-Asy’ari (874–936 M)

Peletak Dasar Teologi Asy’ariyah. Imam Abul Hasan al-Asy’ari adalah sosok yang menjembatani pemikiran rasional dan tekstual dalam Islam. Beliau lahir dan dibesarkan dalam lingkungan Mu’tazilah, tetapi kemudian meninggalkan ajaran tersebut setelah melihat kelemahannya. Beliau mengembangkan metode teologi Asy’ariyah, yang kemudian menjadi rujukan bagi mayoritas umat Islam, khususnya di kalangan mazhab Syafi’i dan Maliki.

Biografi Singkat

  • Nama lengkap: Ali bin Ismail al-Asy’ari
  • Tempat & Tahun Lahir: Basrah, Irak – 874 M
  • Latar Belakang: Awalnya pengikut Mu’tazilah, tetapi kemudian menolaknya dan membangun pemikiran Asy’ariyah
  • Karya terkenal: Maqālāt al-Islāmiyyīn, al-Ibānah ‘an Uṣūl ad-Diyānah

Konsep Pemikiran Imam Asy’ari

  • Menolak Rasionalisme Ekstrem Mu’tazilah: Imam Asy’ari mengkritik Mu’tazilah yang terlalu mengutamakan akal hingga menafsirkan Al-Qur’an dengan cara yang mengabaikan dalil-dalil naqli (wahyu).
  • Menyeimbangkan Akal dan Wahyu: Menurutnya, akal memiliki peran penting, tetapi tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis.
  • Menetapkan Sifat-sifat Allah tanpa Menyerupakan-Nya dengan Makhluk (Tanzih): Berbeda dengan Mu’tazilah yang menolak sifat-sifat Allah, Asy’ariyah menetapkannya sesuai dengan dalil, tetapi tanpa menyerupakannya dengan makhluk.
  • Konsep Kasb (Usaha Manusia dalam Takdir): Imam Asy’ari menjelaskan bahwa manusia memang memiliki usaha, tetapi tetap dalam kehendak dan ketetapan Allah.

2. Imam Abu Manshur al-Maturidi (853–944 M)

Filsuf Rasional dalam Aqidah Aswaja. Jika Imam Asy’ari lebih moderat dalam pendekatan antara akal dan wahyu, Imam Maturidi cenderung lebih rasional dalam memahami aqidah. Beliau adalah ulama besar di wilayah Samarkand, Uzbekistan, dan pemikirannya banyak dianut oleh pengikut mazhab Hanafi.

Biografi Singkat

  • Nama lengkap: Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi
  • Tempat & Tahun Lahir: Samarkand, Uzbekistan – 853 M
  • Latar Belakang: Berpegang teguh pada madzhab Hanafi dan mengembangkan pemikiran Maturidiyah
  • Karya terkenal: Kitab at-Tauhid, Ta’wilāt Ahl as-Sunnah

Konsep Pemikiran Imam Maturidi

  • Peran Akal yang Lebih Besar dibandingkan Asy’ariyah: Imam Maturidi menegaskan bahwa manusia bisa mengetahui kebaikan dan keburukan menggunakan akal, tanpa harus menunggu wahyu.
  • Konsep Taklif (Tanggung Jawab Manusia): Manusia bertanggung jawab atas perbuatannya, dan Allah memberi mereka kebebasan dalam memilih.
  • Definisi Iman yang Berbeda dari Asy’ariyah: Menurut Maturidiyah, iman cukup dengan keyakinan dalam hati, sedangkan amal adalah penyempurna iman, bukan bagian dari definisi iman itu sendiri.
  • Pendekatan Rasional dalam Memahami Sifat Allah: Imam Maturidi menafsirkan sifat-sifat Allah dengan lebih rasional, berbeda dengan Asy’ariyah yang lebih tekstual dalam hal ini.

3. Perbandingan Imam Asy’ari dan Imam Maturidi

Aspek Imam Asy’ari Imam Maturidi
Pendekatan Moderat antara akal & wahyu Lebih rasional dalam memahami aqidah
Sumber Kebenaran Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan akal Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, akal lebih dominan
Konsep Iman Iman terdiri dari keyakinan dan amal Iman cukup dengan keyakinan, amal hanya penyempurna
Sifat Allah Menetapkan sifat Allah tanpa menyerupai makhluk (tanzih) Menafsirkan sifat Allah dengan pendekatan rasional
Takdir & Usaha Manusia Manusia memiliki usaha (kasb), tetapi tetap dalam kehendak Allah Manusia memiliki akal untuk memahami baik dan buruk
Pengaruh Dianut mayoritas Syafi’iyah & Malikiyah Dianut mayoritas Hanafiyah

4. Kekuatan dan Kelemahan Pemikiran Asy’ariyah & Maturidiyah

Aspek Kekuatan Kelemahan
Asy’ariyah Seimbang antara dalil wahyu dan akal, diterima luas oleh umat Islam Beberapa konsepnya kurang sistematis dibandingkan Maturidiyah
Maturidiyah Lebih rasional dan sistematis dalam menjelaskan aqidah Cenderung lebih filosofis, sehingga sulit dipahami masyarakat awam

Dua Pilar Aqidah Aswaja yang Tak Lekang oleh Zaman

Imam Asy’ari dan Imam Maturidi adalah dua raksasa pemikiran Islam yang meletakkan fondasi teologi Ahlussunnah Wal Jama’ah. Meskipun ada perbedaan dalam pendekatan mereka, keduanya sama-sama mempertahankan kemurnian aqidah Islam dengan pendekatan moderat.

Di tengah gempuran pemikiran Islam modern yang cenderung ke ekstremisme atau liberalisme, warisan keilmuan mereka tetap menjadi benteng aqidah Islam yang kokoh. Maka, memahami pemikiran Asy’ariyah dan Maturidiyah bukan hanya soal mengenal sejarah, tetapi juga mempertahankan Islam sebagai agama yang seimbang, inklusif, dan tetap dalam koridor wahyu Allah.

🚀 Saatnya kita memperdalam pemahaman dan meneruskan warisan keilmuan Aswaja dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab!

Sumber Akidah Aswaja

Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) merupakan landasan utama dalam beragama bagi umat Islam yang mengikuti ajaran yang diwariskan oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dalam memahami dan menetapkan keyakinan, Aswaja menggunakan empat sumber utama, yaitu Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas.

Keempat sumber ini tidak berdiri sendiri, melainkan saling melengkapi untuk memastikan bahwa pemahaman akidah tetap lurus dan tidak menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Berikut adalah penjelasan lebih rinci mengenai setiap sumber beserta keunggulan dan keterbatasannya.

1. Al-Qur’an – Sumber Utama Akidah

Al-Qur’an adalah wahyu langsung dari Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagai pedoman utama dalam Islam, termasuk dalam menetapkan akidah. Semua prinsip keimanan, seperti keesaan Allah (Tauhid), sifat-sifat Allah, kehidupan setelah mati, dan takdir, memiliki dasar yang kuat dalam Al-Qur’an.

Dalil dan Contoh dalam Akidah

📖 Tauhid (Keimanan kepada Allah)

“Katakanlah (Muhammad): Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah tempat bergantung segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al-Ikhlas: 1-4)

📖 Kehidupan setelah Mati

“Dan sesungguhnya kehidupan akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya.” (QS. Al-Ankabut: 64)

Kekuatan Al-Qur’an sebagai Sumber Akidah

✅ Otentik & Terjaga – Tidak ada perubahan atau penyimpangan dalam Al-Qur’an sejak diturunkan.
✅ Sumber Wahyu Langsung – Semua ajaran dalam Islam merujuk pada Al-Qur’an.

Kelemahan dalam Pemahaman

❌ Mengandung Ayat Mutasyabihat – Ada ayat yang bersifat simbolik sehingga membutuhkan tafsir lebih lanjut.
❌ Memerlukan Konteks Historis – Beberapa ayat turun dalam kondisi tertentu sehingga perlu dipahami dengan ilmu tafsir.

2. Hadis – Penjelas Al-Qur’an dalam Akidah

Hadis adalah perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad ﷺ yang berfungsi sebagai penjelas bagi ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat umum. Dalam akidah, hadis menjadi sumber penting untuk memahami sifat-sifat Allah, konsep takdir, dan tanda-tanda akhir zaman.

Dalil dan Contoh dalam Akidah

📖 Hadis tentang Rukun Iman

“Iman itu adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim)

📖 Hadis tentang Sifat Allah

“Allah memiliki 99 nama, siapa yang menghafalnya akan masuk surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kekuatan Hadis sebagai Sumber Akidah

✅ Menjelaskan Ayat Al-Qur’an – Hadis memberikan rincian tentang konsep akidah yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Al-Qur’an.
✅ Memiliki Sanad yang Dapat Diverifikasi – Keabsahan hadis bisa diteliti melalui ilmu musthalahul hadis.

Kelemahan dalam Pemahaman

❌ Harus Diuji Keasliannya – Tidak semua hadis sahih, sehingga harus diteliti sanad dan matannya.
❌ Bisa Disalahpahami – Tanpa bimbingan ulama, hadis bisa ditafsirkan secara keliru dan digunakan untuk kepentingan tertentu.

3. Ijma’ – Kesepakatan Ulama dalam Akidah

Ijma’ adalah kesepakatan para ulama dalam suatu masa mengenai suatu permasalahan akidah yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Hadis. Ijma’ memastikan bahwa pemahaman akidah tetap konsisten dan tidak menimbulkan perpecahan dalam umat Islam.

Dalil dan Contoh dalam Akidah

📖 Dalil tentang Ijma’

“Barang siapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)

📖 Ijma’ tentang Nabi Muhammad sebagai Nabi Terakhir

Para ulama sepakat bahwa tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad ﷺ, berdasarkan dalil dalam QS. Al-Ahzab: 40.

📖 Ijma’ tentang Sifat Allah

Ulama sepakat bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang sempurna, seperti Maha Mendengar dan Maha Melihat, tanpa menyerupai makhluk.

Kekuatan Ijma’ sebagai Sumber Akidah

✅ Menghindari Perbedaan Pendapat – Menyatukan pemahaman akidah sehingga tidak terjadi perpecahan.
✅ Dibangun oleh Ulama yang Kompeten – Berdasarkan pemahaman mendalam tentang Al-Qur’an dan Hadis.

Kelemahan dalam Pemahaman

❌ Tidak Semua Umat Islam Memahami Ijma’ – Konsep ini lebih dipahami oleh ulama dan tidak selalu terdokumentasi dalam satu kitab.
❌ Beberapa Kelompok Menolak Ijma’ – Kelompok yang hanya berpegang pada Al-Qur’an dan Hadis sering kali mengabaikan ijma’.

4. Qiyas – Analogi dalam Memahami Akidah

Qiyas adalah metode analogi yang digunakan dalam ilmu fiqh dan akidah untuk menyimpulkan hukum atau prinsip berdasarkan kesamaan sebab atau karakteristik. Dalam akidah, qiyas membantu menjelaskan konsep-konsep yang bersifat abstrak, seperti keberadaan Allah dan kehidupan setelah mati.

Dalil dan Contoh dalam Akidah

📖 Dalil tentang Penggunaan Akal dalam Qiyas

“Maka ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Al-Hasyr: 2)

📖 Qiyas dalam Memahami Keberadaan Allah

Angin tidak terlihat, tetapi dapat dirasakan keberadaannya. Begitu pula dengan Allah, meskipun tidak dapat dilihat dengan mata, keberadaan-Nya dapat dibuktikan melalui akal dan wahyu.

Kekuatan Qiyas sebagai Sumber Akidah

✅ Mempermudah Pemahaman – Menjelaskan konsep akidah yang abstrak dengan analogi sederhana.
✅ Dapat Digunakan dalam Berbagai Situasi – Membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan baru dalam akidah.

Kelemahan dalam Pemahaman

❌ Tidak Semua Hal Bisa Diqiyaskan – Sifat Allah tidak bisa diqiyaskan dengan sifat makhluk.
❌ Bisa Menimbulkan Kesalahpahaman – Jika dilakukan tanpa dasar ilmu yang kuat, bisa menyebabkan penyimpangan akidah.

📊 Tabel Ringkasan Sumber Akidah Aswaja

Sumber Fungsi Utama Keunggulan Kelemahan
Al-Qur’an Wahyu utama Terjaga keasliannya Membutuhkan tafsir
Hadis Penjelas Al-Qur’an Dapat diverifikasi sanadnya Harus diteliti keasliannya
Ijma’ Kesepakatan ulama Menghindari perpecahan Tidak semua orang memahami
Qiyas Analogi pemahaman Mempermudah pemahaman Tidak semua hal bisa diqiyaskan

Keempat sumber ini bekerja secara harmonis, memastikan bahwa pemahaman akidah tetap benar dan tidak menyimpang. Pemahaman yang salah terhadap sumber ini bisa menyebabkan kesesatan, sehingga bimbingan ulama Aswaja sangat diperlukan. 🚀

Prinsip Utama Aqidah Aswaja

Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) yang dipegang teguh oleh Nahdlatul Ulama memiliki prinsip-prinsip yang membedakannya dari aliran-aliran lain dalam Islam. Prinsip ini dirumuskan berdasarkan pemikiran Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi, yang menekankan keseimbangan antara dalil naqli (wahyu) dan dalil aqli (akal).

Keempat prinsip utama ini adalah Tawhid (Keimanan kepada Allah), Nubuwwah (Kenabian), Ma’ad (Hari Akhir), dan Keseimbangan Akal & Wahyu. Masing-masing memiliki peran penting dalam menjaga kemurnian keimanan serta memastikan umat Islam tetap berada di jalur Islam yang moderat, toleran, dan rahmatan lil ‘alamin.

Berikut adalah rincian lebih dalam mengenai empat prinsip utama Aqidah Aswaja.

1. Tawhid (Keimanan kepada Allah)

Tawhid adalah inti dari ajaran Islam. Dalam Aswaja, konsep tauhid menolak dua kutub ekstrem: antropomorfisme (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) dan ta’til (meniadakan sifat Allah secara total). Aswaja berada di tengah, mengakui sifat-sifat Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadis, tetapi tidak menyerupakan-Nya dengan makhluk.

Aspek Penjelasan dalam Aqidah Aswaja
Dzat Allah Allah ada tanpa menyerupai makhluk-Nya. Tidak berbentuk, tidak terikat ruang dan waktu.
Sifat Allah Allah memiliki sifat yang disebut Asmaul Husna dan sifat 20, tetapi tidak boleh dipahami secara antropomorfis (menyerupai manusia).
Perbuatan Allah Semua yang terjadi di alam semesta adalah kehendak-Nya, tetapi manusia tetap memiliki ikhtiar (usaha).

📌 Kekuatan: Menjaga keseimbangan antara tauhid dan pemahaman sifat Allah, menghindari penyimpangan ekstrem.
⚠ Kelemahan: Sulit dipahami bagi orang yang terbiasa dengan pemikiran tekstual atau filosofis ekstrem.

2. Nubuwwah (Kenabian)

Aswaja meyakini bahwa kenabian adalah pilihan Allah, bukan hasil usaha manusia. Nabi Muhammad ﷺ adalah penutup para nabi (khatamun nabiyyin), yang ajarannya berlaku sepanjang zaman. Berbeda dengan kelompok yang menafikan kenabian setelah Rasulullah ﷺ atau yang menuhankan nabi, Aswaja menghormati nabi sebagai manusia pilihan tetapi tetap makhluk Allah.

Aspek Penjelasan dalam Aqidah Aswaja
Sifat Nabi Para nabi memiliki sifat wajib (shidiq, amanah, tabligh, fathanah) dan mustahil memiliki sifat sebaliknya.
Mukjizat Mukjizat adalah bukti kenabian yang diberikan Allah kepada para nabi.
Kedudukan Nabi Muhammad ﷺ Nabi terakhir dan pembawa syariat yang sempurna bagi seluruh umat manusia.

📌 Kekuatan: Menghormati nabi sebagai manusia pilihan, tetapi tetap menegaskan bahwa beliau bukan makhluk yang setara dengan Allah.
⚠ Kelemahan: Ada kelompok yang berlebihan dalam memuliakan atau justru meremehkan kenabian.

3. Ma’ad (Hari Akhir dan Kehidupan Setelah Mati)

Aswaja menanamkan keyakinan bahwa kehidupan di dunia hanyalah sementara, dan manusia akan menghadapi kehidupan akhirat yang kekal. Dalam aqidah Aswaja, hari kiamat, kebangkitan, hisab, serta surga dan neraka adalah realitas yang pasti terjadi. Keimanan kepada kehidupan setelah mati memberikan motivasi moral bagi umat Islam untuk menjalani kehidupan dengan penuh tanggung jawab.

Aspek Penjelasan dalam Aqidah Aswaja
Kehidupan setelah mati Manusia akan mengalami alam kubur (barzakh), kiamat, kebangkitan, hisab, dan pembalasan di surga atau neraka.
Syafaat Nabi Muhammad ﷺ diberikan izin oleh Allah untuk memberikan syafaat kepada umatnya.
Surga dan Neraka Tempat balasan bagi manusia sesuai amal perbuatannya. Neraka bersifat adil, dan surga adalah bentuk kasih sayang Allah.

📌 Kekuatan: Menanamkan keyakinan akan kehidupan setelah mati sebagai bentuk motivasi untuk berbuat baik.
⚠ Kelemahan: Sulit diterima bagi mereka yang terpengaruh paham materialisme dan skeptisisme.

4. Keseimbangan Akal dan Wahyu

Salah satu ciri khas Aswaja adalah menjaga keseimbangan antara akal dan wahyu. Aswaja menolak paham yang hanya mengandalkan akal seperti Mu’tazilah, dan juga menolak paham yang hanya mengandalkan teks tanpa pemahaman mendalam seperti Hanbali ekstrem. Dalam aqidah Aswaja, akal digunakan untuk memahami wahyu, bukan untuk menentangnya.

Aspek Penjelasan dalam Aqidah Aswaja
Akal Diberikan untuk memahami wahyu, bukan untuk mengubahnya.
Wahyu Sumber utama kebenaran, tetapi bisa dijelaskan dengan akal yang sehat.
Ijma’ dan Qiyas Kesepakatan ulama dan analogi digunakan untuk menjawab persoalan yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam nash (teks suci).

📌 Kekuatan: Menjadi solusi bagi perbedaan pendapat dalam pemahaman agama, fleksibel tetapi tetap berpegang pada prinsip syariat.
⚠ Kelemahan: Memerlukan kedalaman ilmu untuk memahami batas antara penggunaan akal dan otoritas wahyu.

Keempat prinsip ini menjadi fondasi utama dalam aqidah Aswaja yang dipegang oleh Nahdlatul Ulama. Dengan pendekatan yang moderat dan seimbang, aqidah ini tetap relevan di berbagai zaman dan dapat menjawab tantangan pemikiran yang berkembang.

➡ Dengan memahami prinsip-prinsip ini, kita dapat memperkuat aqidah dan menjadikannya sebagai kompas dalam menghadapi dinamika pemikiran Islam modern. 🚀

Sikap Moderat (Tawassuth) dalam Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah

Dalam perkembangan pemikiran Islam, sering muncul dua kutub ekstrem: satu kelompok menolak peran akal dan hanya berpegang pada teks secara harfiah, sementara kelompok lain mengutamakan akal hingga mengabaikan teks wahyu.

Nahdlatul Ulama (NU), sebagai pengikut Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja), memilih jalan tengah (tawassuth), yaitu pendekatan moderat yang menyeimbangkan akal dan wahyu. Sikap ini didasarkan pada pemikiran Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi, yang menegaskan bahwa Islam tidak boleh terjebak dalam ekstremisme pemikiran, baik dalam bentuk rasionalisme berlebihan (ta’aqqul) maupun tekstualisme kaku (taqleed literal).

1. Definisi Tawassuth dalam Aqidah

Tawassuth berasal dari kata wasath yang berarti tengah-tengah, adil, dan seimbang. Dalam konteks aqidah, tawassuth berarti tidak berpihak kepada ekstremisme dalam memahami konsep keimanan, sifat-sifat Allah, dan hubungan antara akal dan wahyu.

Ciri-ciri Tawassuth dalam Aqidah Aswaja:

✅ Menjaga keseimbangan antara akal dan wahyu
✅ Menolak tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk) tanpa menolak sifat-Nya
✅ Menerima dalil tekstual dengan pemahaman yang kontekstual
✅ Menghormati perbedaan pendapat dalam masalah teologis selama tidak keluar dari prinsip dasar Islam

2. Tawassuth dalam Menafsirkan Sifat-sifat Allah

Salah satu perdebatan besar dalam sejarah teologi Islam adalah bagaimana memahami sifat-sifat Allah. Ada yang memahami secara tekstual (harfiah), ada yang menolak sifat-sifat Allah karena dianggap menyerupai makhluk, dan ada yang memilih jalan tengah.

Pendekatan dalam Menafsirkan Sifat Allah

Pendekatan Ciri-ciri Contoh Mazhab/Pemikir
Mu’tazilah (Rasional Ekstrem) Menolak sebagian sifat Allah karena dianggap menyerupai makhluk (tasybih) Wasil bin ‘Atha, Amr bin Ubaid
Asy’ariyah & Maturidiyah (Tawassuth – Moderat) Mengakui sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan makhluk (tanzih) Imam Abul Hasan al-Asy’ari, Imam Abu Manshur al-Maturidi
Salafi-Wahabi (Tekstual Ekstrem) Memahami sifat Allah secara literal (misalnya, tangan Allah dianggap sebagai tangan fisik) Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin Abdul Wahhab

Dalam pendekatan tawassuth, sifat Allah diterima sebagaimana adanya tanpa membayangkan bentuknya. Ini sesuai dengan kaidah:

“Laisa kamitslihi syai’un wa huwa as-sami’ul basir” (Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat) – QS Asy-Syura: 11.

3. Tawassuth dalam Hubungan Akal dan Wahyu

Dalam sejarah Islam, terjadi perdebatan antara kelompok yang terlalu mengandalkan akal (Mu’tazilah) dan kelompok yang hanya berpegang pada teks secara literal (Salafi-Wahabi ekstrem). Aswaja, dengan pendekatan tawassuth, mengajarkan bahwa akal dan wahyu tidak boleh dipisahkan.

Perbandingan Pendekatan dalam Menggunakan Akal

Pendekatan Peran Akal dalam Memahami Agama Kelebihan Kelemahan
Mu’tazilah (Rasional Ekstrem) Akal lebih tinggi dari wahyu, jika dalil bertentangan dengan logika, maka ditakwil atau ditolak Kritis terhadap teks, memajukan filsafat Islam Bisa menolak hadis atau ayat Al-Qur’an yang dianggap tidak logis
Asy’ariyah & Maturidiyah (Tawassuth – Moderat) Akal dan wahyu saling melengkapi, akal bisa digunakan untuk memahami wahyu Seimbang, tidak menolak wahyu maupun akal Membutuhkan pengetahuan mendalam untuk menghindari kesalahan tafsir
Salafi-Wahabi (Tekstual Ekstrem) Akal dianggap lemah, cukup memahami agama dengan teks secara literal Menghindari spekulasi berlebihan dalam agama Bisa menghasilkan pemahaman agama yang kaku dan tidak relevan dengan zaman

Dalam konsep Aswaja, akal digunakan untuk memahami agama tanpa menolak wahyu. Sebab, Islam bukan hanya agama yang berbasis keimanan, tetapi juga keilmuan dan kebijaksanaan.

4. Tawassuth dalam Merespons Isu Keagamaan Modern

Dalam era modern, banyak isu keagamaan yang membutuhkan pemahaman yang bijak dan tidak ekstrem. Beberapa contoh isu yang memerlukan sikap tawassuth dalam Islam antara lain:

Pendekatan Tawassuth dalam Isu Keagamaan Kontemporer

Isu Keagamaan Pendekatan Ekstrem 1 Pendekatan Tawassuth (Aswaja NU) Pendekatan Ekstrem 2
Hukum Musik Haram mutlak karena dianggap melalaikan Boleh jika tidak mengandung maksiat Halal mutlak tanpa batasan
Jihad Agresif, menghalalkan kekerasan Hanya dalam konteks pertahanan dan maslahat umat Menolak jihad sepenuhnya
Pendidikan Agama Hanya fokus pada ilmu agama tanpa sains Menggabungkan ilmu agama dan sains dalam pendidikan Mengabaikan ilmu agama, hanya fokus pada sains

Sikap tawassuth memungkinkan umat Islam untuk menghadapi perubahan zaman tanpa kehilangan akar keislaman mereka.

5. Kekuatan dan Kelemahan Tawassuth dalam Aqidah

Setiap pendekatan memiliki kelebihan dan tantangan tersendiri. Tawassuth, meskipun diakui sebagai pendekatan terbaik, tetap menghadapi berbagai tantangan di tengah ekstremisme pemikiran.

Aspek Kekuatan Kelemahan
Fleksibilitas Pemikiran Bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu dan zaman Sering dianggap “abu-abu” oleh kelompok ekstrem
Relevansi dengan Syariat Seimbang antara wahyu dan akal, tetap mengikuti prinsip Islam Membutuhkan pemahaman mendalam agar tidak disalahpahami
Ketahanan terhadap Ekstremisme Tidak mudah terjebak dalam radikalisme atau liberalisme Sering diserang oleh kelompok ekstrem sebagai kurang tegas

Tawassuth Adalah Solusi bagi Keutuhan Umat

Tawassuth dalam aqidah bukan hanya sekadar sikap moderat, tetapi juga strategi keilmuan yang menjaga keseimbangan Islam di tengah perubahan zaman. Dengan tidak terjebak pada rasionalisme ekstrem maupun tekstualisme kaku, Aswaja tetap teguh dalam prinsip Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

💡 Jalan tengah bukan berarti lemah, tetapi justru kekuatan dalam menjaga persatuan umat! 🚀

Penutup

Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) yang dianut oleh Nahdlatul Ulama bukan sekadar tradisi teologis, tetapi juga manhaj pemikiran yang relevan sepanjang zaman. Berlandaskan pemikiran Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi, Aswaja menawarkan jalan tengah yang menyeimbangkan akal dan wahyu, menghindari ekstremitas pemikiran yang bisa menyesatkan umat.

Dalam era modern, ketika pemahaman agama sering kali ditarik ke kutub radikalisme atau liberalisme yang berlebihan, Aswaja tetap tegak sebagai pilar moderasi Islam. Keberadaannya tidak hanya menjaga kemurnian akidah, tetapi juga memberikan solusi bagi umat dalam menghadapi tantangan intelektual dan sosial yang terus berkembang.

Maka, memahami dan mengamalkan aqidah Aswaja bukan hanya soal mengenal sejarah, tetapi juga mempertahankan identitas Islam yang inklusif, toleran, dan tetap teguh dalam prinsip-prinsip syariat. Ini bukan sekadar warisan keilmuan, tetapi juga kompas kehidupan bagi setiap Muslim yang ingin menjalani Islam secara rahmatan lil ‘alamin.

➡ Saatnya kita menggali lebih dalam, mengokohkan akidah, dan menjadi bagian dari generasi yang meneruskan warisan keilmuan Aswaja dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab! 🚀.

Leave a Reply