Kunjungan Kenegaraan Presiden Prabowo ke Beijing: Kebijakan Luar Negeri & Implikasi Strategis

Diplomasi Prabowo ke Beijing dalam Perspektif Khittah NU 1926 dan Implikasi Strategis Hubungan Indonesia–Tiongkok

Berita10 Views

[Cirebonrayajeh.com – Presiden Prabowo Subianto] Kunjungan kenegaraan Presiden Prabowo Subianto ke Beijing pada 2 September 2025 untuk menghadiri peringatan 80 tahun Republik Rakyat Tiongkok sekaligus parade militer mencuri perhatian politik luar negeri Indonesia. Artikel ini menulis ulang berita resmi, mempertahankan pernyataan penting persis, dan kemudian menanggapi dengan lensa Khittah NU 1926—yakni posisi NU sebagai organisasi sosial-keagamaan yang tidak terikat politik praktis. Dengan mengacu pada literatur diplomasi Indonesia-China, teori diplomasi ekonomi, serta doktrin Khittah NU, tulisan ini mengurai peluang, tantangan, dan kritik atas kebijakan luar negeri tersebut. Diharapkan, pembaca dapat menangkap bahwa dari perspektif ahlussunnah wal-jamā‘ah tradisional yang menjunjung moderasi, perlu ada kehati-hatian strategis dalam diplomasi negara besar tanpa mengorbankan kedaulatan, identitas keagamaan, dan kepentingan nasional.

Dalam konteks Indonesia, hubungan dengan China selalu sarat dimensi ekonomi, keamanan, dan geopolitik. Kunjungan kenegaraan semacam ini bukan sekadar seremoni, melainkan kesempatan politik strategis. Namun, di sisi lain, bagi organisasi Islam besar seperti Nahdlatul Ulama (NU), penting untuk memastikan bahwa dukungan atau kecenderungan ke arah geopolitik tertentu tidak melampaui batas netralitas ideologisnya sesuai Khittah 1926 — yang menetapkan bahwa NU adalah organisasi sosial-keagamaan dan tidak terikat organisasi politik praktis.

Fakta Kunjungan Presiden Prabowo ke Beijing

Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, bertolak menuju Beijing, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), pada Selasa malam, 2 September 2025, dalam rangka memenuhi undangan resmi dari Presiden Tiongkok, Xi Jinping. Pesawat yang membawa Presiden Prabowo dan rombongan terbatas lepas landas dari Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, sekitar pukul 20.00 WIB. Turut mendampingi Presiden Prabowo dalam penerbangan tersebut ialah Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya.

Dalam keterangannya, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menjelaskan bahwa undangan Presiden Xi sejatinya telah dijadwalkan sejak 31 Agustus 2025 lalu. Namun, Presiden Prabowo sempat menunda keberangkatan karena mempertimbangkan dinamika situasi di dalam negeri. Lebih lanjut, Menteri Pras mengungkapkan adanya permintaan khusus dari pemerintah Tiongkok agar Presiden Prabowo dapat hadir dalam acara peringatan 80 tahun sekaligus parade militer yang digelar di Beijing:

“Dalam beberapa hari belakangan ini, ada permohonan yang sangat dari pemerintah Tiongkok untuk dapatnya Bapak Presiden Prabowo Subianto menghadiri, paling tidak di satu hari di acara peringatan 80 tahun dan di acara parade militer pemerintah Tiongkok,” ujar Menteri Pras.

Menteri Pras menegaskan bahwa dalam setiap pengambilan keputusan, Presiden Prabowo selalu mempertimbangkan secara matang dinamika yang tengah berlangsung di dalam negeri. Namun demikian, lanjutnya, Kepala Negara juga memandang penting untuk tetap menjaga hubungan baik dengan Tiongkok. “Oleh karena itulah, demi menjaga hubungan baik dengan pemerintah Tiongkok, Bapak Presiden memutuskan untuk beliau berangkat malam ini dan keesokan malam beliau sudah akan kembali ke Tanah Air,” ungkapnya.

Selain menghadiri acara tersebut, Presiden Prabowo juga diharapkan dapat bertemu dan berinteraksi dengan sejumlah pemimpin dunia yang hadir. “Tentu saja beliau akan berjumpa dengan para tokoh-tokoh pemimpin dunia, terutama Presiden Xi. Kami berharap, kita semua berharap mungkin di sela-sela waktu kunjungan beliau tentu ada pembicaraan-pembicaraan yang tentu kita berharap membawa kebaikan bagi hubungan Indonesia dan pemerintah Tiongkok,” tutur Menteri Pras.

Kunjungan Beijing dalam Lintasan Strategi Diplomasi Indonesia–China

Sekarang kita berjalan dari fakta ke makro: mengapa kunjungan ini penting, apa dinamika strategis yang melingkupinya, dan tantangan diplomasi Indonesia dalam menghadapi negara besar seperti Tiongkok.

Evolusi Hubungan Indonesia–China: Sejarah & Titik Balik

Relasi diplomatik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok telah mengalami pasang surut sejak awal pengakuan diplomatik pada tahun 1950. Namun, faktor ketegangan geopolitik dan pertikaian politik domestik membuat hubungan sempat terputus (pada 1967) dan baru dipulihkan pada era 1990-an. Selama dekade terakhir, Indonesia semakin menjalin kerja sama ekonomi, investasi, dan pembangunan infrastruktur yang signifikan melalui skema Belt and Road Initiative (BRI).

Baca Juga  Presiden Prabowo: Menimbang Bansos Tepat Sasaran dan Pemberdayaan Ekonomi Umat

Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo, diplomasi ekonomi menjadi tajuk utama dalam hubungan kedua negara. Konsep “economic salesmanship”, “networking and advocacy”, hingga “resource mobilization” digunakan Indonesia untuk menjalin kerja sama proyek infrastruktur Tiongkok di dalam negeri. Namun, literatur juga mencatat bahwa hubungan ekonomi yang intens itu harus dikelola tanpa mengorbankan kedaulatan—terutama dalam sengketa perairan Natuna dan klaim di Laut China Selatan.

Artikel “Analisis Politik Luar Negeri Indonesia-China di Era Presiden …” berargumen bahwa meskipun komitmen ekonomi Indonesia kepada China cukup besar, kepentingan kedaulatan nasional tetap menjadi benteng yang tidak boleh dilewati.

Dengan demikian, kunjungan kenegaraan Presiden Prabowo mungkin menjadi momentum untuk memperkuat elemen diplomatik dan memberikan sinyal posisi Indonesia di panggung global.

Dimensi Geopolitik & Tantangan Non-Ekonomi

Kunjungan ke Beijing dalam rangka acara peringatan dan parade militer membawa implikasi simbolik: Indonesia sebagai negara berdaulat diharapkan tidak kehilangan kewibawaannya dalam menghadapi tekanan diplomatik atau permintaan eksplisit dari negara besar. Dalam konteks persaingan Amerika Serikat–China dan skema AUKUS di kawasan Asia Pasifik, Indonesia berada dalam posisi “dilema strategis” antara menjaga hubungan bilateral dengan China dan mempertahankan jalan bebas-aktif.

Di samping itu, diplomasi triangular China juga sedang berkembang: Tiongkok menggunakan pendekatan negara, korporasi, dan institusi bisnis untuk memperkuat pengaruhnya (termasuk melalui proyek BRI, transfer teknologi, dan kerja sama militer) di Indonesia. Kunjungan kenegaraan seperti ini termasuk unsur soft power untuk meneguhkan citra Tiongkok sebagai negara influencer global di Asia Tenggara.

Namun, Indonesia juga menghadapi risiko: ketergantungan finansial, pinjaman berbunga tinggi (debt trap diplomacy), serta tekanan politik terhadap elite lokal demi kepentingan investasi asing. Artikel “Analisis Kerjasama Bilateral Sosial Politik China dan …” menyebut bahwa meskipun kerja sama bilateral memberikan manfaat ekonomi, pendekatan pragmatis ini bisa mengaburkan aspek politik dan ideologi.

Hubungan Ekonomi vs Kedaulatan: Apa yang Bisa Terganggu?

Salah satu tantangan terbesar dalam diplomasi Indonesia–China adalah keseimbangan antara komitmen ekonomi dan tekad mempertahankan kedaulatan laut. Sebagaimana digarisbawahi dalam literatur, investasi China ke Indonesia—termasuk di sektor infrastruktur—tidak secara otomatis meruntuhkan ketegasan Indonesia dalam mempertahankan Natuna. Namun, ketegangan dapat muncul jika negosiasi investasi tidak disertai pengaturan transparan, kontrak yang adil, dan kontrol negara terhadap akses strategis.

Dalam konteks kunjungan kenegaraan, pertemuan bilateral antara Presiden Prabowo dengan Presiden Xi membuka peluang diplomatik untuk membahas proyek strategis, keamanan laut, kerja sama militer, dan isu regional. Tetapi tekanan terhadap agenda militer Tiongkok (seperti parade militer) bisa memunculkan persepsi negatif domestik bahwa Indonesia “berpihak”.

Perspektif Khittah NU 1926: Batas, Peluang, dan Risiko

Di bagian ini, kita mengaitkan tindakan kenegaraan Presiden dengan prinsip Khittah NU 1926 — sebagai standar moral dan ideologis bagi warga NU dalam menilai kebijakan publik, terutama hubungan internasional.

Apa Itu Khittah NU 1926?

Khittah NU 1926 adalah garis perjuangan dasar yang ditetapkan dalam pendirian NU—yakni menjadi organisasi Muslim sosial-keagamaan (jamā‘iyyah diniyah mahdlah), dan tidak terikat secara organisatoris dengan partai politik atau organisasi politik praktis. Keputusan Muktamar ke-27 NU (Situbondo, 1984) menyatakan bahwa NU kembali ke khittah ini dengan melepas keterikatan politik praktis.

Menurut penelitian Harahap (2023), terdapat dua pemahaman tentang khittah: (1) “khas” — sebagai naskah konkrit hasil Muktamar Situbondo, dan (2) “am-kulli” — sebagai himmah, cita-cita, dan pedoman ideal NU bagi agama dan bangsa. Dari perspektif “am-kulli”, aktivitas warga NU atau tokoh NU dalam kerangka publik dan sosial-budaya bukanlah pelanggaran, asalkan tidak menjadi instrumen politik praktis.

Baca Juga  Presiden Prabowo Gelar Silaturahmi dengan Tokoh Lintas Agama, Pimpinan Parpol, dan Serikat Buruh di Istana Negara

Penelitian UGM menyebut bahwa meskipun NU secara formal tidak boleh terlibat dalam politik praktis, dalam praktik elite NU sering kali menjadikan organisasi ini sebagai alat legitimasi politik. Semangat khittah terkadang mengabur di era reformasi.

Dengan demikian, dalam menanggapi kebijakan luar negeri seperti kunjungan kenegaraan, warga NU perlu mengimbangi loyalitas ideologis dengan sikap kritis yang menjaga identitas organisasi.

Batas Keterlibatan NU dalam Politik Luar Negeri

Netralitas Organisasional
Dari sudut Khittah NU 1926, NU sebagai organisasi tidak boleh berpihak atau tambil dalam politik praktis (termasuk kebijakan luar negeri yang terkesan memihak suatu negara). Kunjungan kenegaraan itu adalah domain negara (pemerintah), bukan organisasi NU. Jika warga NU atau tokoh NU memberi komentar atau dukungan, itu harus jelas sebagai kapasitas individu, bukan representasi jamā‘iyyah.

Peran Moral dan Dakwah
Khittah menempatkan NU sebagai pembimbing moral dan penyampai nilai-nilai Islam moderat. Dalam konteks hubungan luar negeri, NU dapat memberikan kritik atau pandangan moral (misalnya keadilan, kemaslahatan, kemanusiaan) terhadap kebijakan negara yang melibatkan umat. Namun, kritik itu tetap harus independen dan berbasis nilai, bukan partisan.

Integritas Islam Nusantara & Moderasi
Arah NU dalam memperjuangkan Islam Ahlussunnah wal-jamā‘ah dan Islam Nusantara menuntut agar diplomasi Indonesia juga mencerminkan nilai moderasi, toleransi, kedaulatan, dan penghormatan terhadap pluralisme. Kunjungan ke negara dengan profil berbeda ideologi harus disikapi dengan keseimbangan: membangun kerja sama tanpa mengorbankan identitas keagamaan atau etika bangsa.

Peluang dan Risiko dari Lensa Khittah NU

Peluang:

Penguatan Posisi Islam Moderat di Diplomasi
Jika tokoh NU (individu) turut menjadi mediator atau jembatan dialog antara Muslim Indonesia dan dunia Tiongkok, hal itu bisa memperkuat citra Islam Nusantara di level diplomatik.

Pengawasan Moral atas Kebijakan Luar Negeri
NU sebagai organisasi sosial-keagamaan bisa menguji aspek keadilannya (fairness), mempertanyakan syarat kontrak proyek, dampak lingkungan, serta konsekuensi sosial bagi rakyat—terutama daerah NU berada.

Simbol Islam dalam Diplomasi Global
Kehadiran wakil negara yang mayoritas Muslim dapat menjadi panggung diplomasi moral, menyuarakan perdamaian, keadaban, dan kemanusiaan — bukan sekadar kepentingan ekonomi atau militer.

Risiko:

Politik Praktis Terselubung dalam Liputan NU
Jika orang NU terlalu terbuka mendukung atau mengkritik secara partisan kunjungan, bisa muncul persepsi NU “berpihak”—melanggar spirit netralitas.

Ketergantungan Diplomatik & Perdagangan
Jika kerja sama dengan China menjerat kontrak yang berat bagi rakyat (korporatis, proyek investasi eksploitatif), maka NU sebagai organisasi umat mungkin kehilangan legitimasi moral bagi masyarakat akar rumput.

Dualisme Kewajiban Moral–Politik
Tokoh NU yang memegang posisi politik negara (misalnya pejabat pemerintahan) berada pada dilema: menjalankan fungsi negara atau mempertahankan identitas keagamaan yang tidak konsumtif.

Kritik Konstruktif & Rekomendasi Kebijakan Selaras Moderasi NU

Berdasarkan fakta dan perspektif ideologis di atas, bagian ini mengajukan kritik konstruktif dan rekomendasi kebijakan praktis agar diplomasi negara sejalan dengan roh Khittah NU.

Kritik Konstruktif

Kurangnya Transparansi Kontrak & Dampak Sosial
Seringkali proyek kerja sama internasional dijalankan di balik layar tanpa partisipasi publik atau kajian mendalam tentang dampak sosial, lingkungan, dan keuangan jangka panjang. Jika rakyat tidak dilibatkan atau diberi pemahaman, potensi resistensi muncul. NU sebagai ormas keagamaan harus mendorong agar proyek bilateral semacam itu diuji dari perspektif keadilan sosial.

Risiko Fragmentasi Kebijakan Strategis
Kunjungan kenegaraan yang cepat (direncanakan pada 31 Agustus, diputuskan malam itu juga) — seperti dikemukakan Menteri Pras — menunjukkan keputusan bisa dipengaruhi oleh tekanan diplomatik lebih dari perencanaan strategis. Ini rentan menghasilkan kebijakan setengah matang atau pengorbanan kepentingan nasional kecil.

Kecenderungan Politik Realisme Ekonomi tanpa Kedaulatan
Indonesia cenderung pragmatis dalam kerjasama ekonomi. Namun, analisis politik luar negeri menunjukkan bahwa kedekatan ekonomi tidak selalu memengaruhi kedaulatan laut, tetapi ada potensi sublimasi kepentingan militer atau strategis Tiongkok terhadap wilayah kedaulatan Indonesia.

Baca Juga  Sinergi Global: Pertemuan Bilateral Presiden Prabowo dan Sekjen PBB

Sulitnya Mempertahankan Netralitas NU dalam Publik
Jika tokoh NU memuji kunjungan sebagai “prestasi diplomat” tanpa kritik, bisa timbul persepsi bahwa NU mendukung kebijakan pemerintah tertentu. Sebaliknya, kritik yang berlebihan bisa dianggap politis. Ini adalah tantangan bagi warga NU: bagaimana menyampaikan opini tanpa terseret ke politik praktis.

Rekomendasi Kebijakan

Mewajibkan Uji Tuntas (Due Diligence) Sosial-Keagamaan
Setiap proyek bilateral yang melibatkan negara (seperti kerjasama infrastruktur, militer, budaya) harus melewati uji tuntas dampak sosial, lingkungan, dan implikasi keagamaan (cocokkah dengan prinsip Islam Nusantara). NU dapat berperan sebagai mitra pemantau independen sebagai entitas moral.

Forum Konsultasi Umat Islam terhadap Diplomasi
Pemerintah bisa membentuk forum konsultasi lintas ormas Islam (termasuk NU) sebelum kunjungan diplomatik yang signifikan. Ini akan menghasilkan legitimasi moral dan masukan nilai Islam moderat agar diplomasi tak hanya pragmatis ekonomi.

Menguatkan Lembaga Riset Strategis Islam
NU disarankan memperkuat lembaga kajian Islam internasional yang mempelajari diplomasi, hubungan Islam–non-Islam, keamanan, dan ekonomi. Dengan demikian NU bisa menghasilkan analisis independen yang menjaga keseimbangan etika dan nasionalisme.

Publikasi Kritik & Edukasi Moderasi
NU dapat menerbitkan kajian kritis moderat atas kunjungan kenegaraan (bukan resepsi politik), dengan bahasa intelektual yang menjelaskan aspek moral, nasional, dan keagamaan. Ini mempertegas bahwa NU bukan sekadar pengikut kebijakan, tapi entitas moral yang berpihak kepada kepentingan umat dan bangsa.

Menjaga Kedaulatan dalam Diplomasi Militer
Jika ikut dalam acara parade militer, Indonesia harus meneguhkan kerangka bilateral yang jelas: bahwa keikutsertaan bersifat simbolik, tanpa mengorbankan pemahaman strategis. Diskusi kontrak militer harus transparan dan tunduk pada kontrol parlemen dan institusi pertahanan.

Jalan Diplomasi Multilateralisme & ASEAN
Indonesia juga bisa memposisikan diri sebagai mediator di ASEAN dalam isu-isu Tiongkok dan negara tetangga, agar hubungan tidak berkesan sebagai “dua kaki” terlalu dekat ke China. Ini memperkuat posisi free-active dan moderasi.

Penutup

Kunjungan kenegaraan Presiden Prabowo ke Beijing pada 2 September 2025, meskipun tampak sebagai momentum diplomasi yang wajar, sejatinya menyimpan kerumitan strategis dan risiko internal. Dari sisi negara, ini adalah upaya memperkuat hubungan dengan kekuatan global dan meraih keuntungan ekonomi-diplomatik. Namun dari sisi ideologis NU, terutama Khittah NU 1926, tindakan seperti ini harus dikawal oleh prinsip netralitas organisasi, pengawasan moral, dan kepentingan umat.

Bagi warga NU, peran tidaklah salah kalau memberi pandangan kritis, selama jelas sebagai kapasitas individu dengan landasan nilai Islam moderat, bukan sebagai instrumen politik praktis. Organisasinya sendiri harus terus memperkuat kapasitas kajian dan advokasi kebijakan luar negeri yang sesuai dengan semangat Islam Nusantara.

Semoga tulisan ini menjadi kontribusi pemikiran agar diplomasi Indonesia ke depan tidak hanya pragmatis ekonomi, tetapi juga adil, bermartabat, dan selaras dengan spiritual bangsa.

Referensi

  • “Sejarah dan Tujuan Khittah Nahdlatul Ulama 1926,” Tirto, diakses pada tirto.
  • Harahap, EW., “Understanding Its Meaning, Political Integration, and …,” Jurnal IAIN Gorontalo, 2023. Jurnal IAIN Sultan Amai Gorontalo
  • “Khittah 1926 dan problematika politik NU dalam era reformasi,” UGM Repository. Repository UGM
  • “Naskah Khittah Nahdlatul Ulama (NU) 1926: Keputusan Muktamar XXVII NU No. 02/MNU-27/1984,” CirebonRayaJeh. Cirebon Raya Jeh
  • Andika, M. T., “Analisis Politik Luar Negeri Indonesia-China di Era …,” Indonesian Perspective, Vol.2 No.2, pdf di ejournal UNDIP. E-Journal Undip
  • “Analisis Kerjasama Bilateral Sosial Politik China dan …,” Triwikrama Jurnal. Jurnal Universitas Galuh
  • “KERJASAMA BILATERAL SOSIAL POLITIK CHINA DAN …” (pdf) Warunayama e-journal. Warunayama
  • “DIPLOMASI EKONOMI INDONESIA TERHADAP TIONGKOK PADA MASA KABINET KERJA 2014-2019,” Jurnal UNPAD.Jurnal Universitas Padjadjaran
  • “Analisis Diplomasi Triangular China terhadap Indonesia dalam Mengantisipasi Dilema Malaka melalui Belt Road Initiative,” ResearchGate.
  • Walesasi, Y., “Tantangan Strategis Indonesia ditengah Rivalitas Tiongkok …,” Jurnal Hubungan Internasional UNAIR. E-Journal Universitas Airlangga
  • “Diplomasi Tiongkok Dalam Meraih Pengaruh Di Kawasan Asia Tenggara,” Jurnal GIJ UTA45 Jakarta. Journal UTA 45 Jakarta

Leave a Reply